Sebagian orang yang abstain dari mengkafirkan penyembah kubur berdalil dengan nash dari Imam Muhammad bin Abdul Wahhab yang mendukung pendapatnya. Diantara yang paling populer adalah ucapan beliau:
وإذا كنا لا نكفر من عبد الصنم الذي على قبر عبد القادر والصنم الذي على قبر أحمد البدوي وأمثالهما لأجل جهلهم وعدم من ينبههم، فكيف نكفر من لم يشرك بالله إذا لم يهاجر إلينا ولم يكفر ويقاتل
((Dan jika kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kubur Abdul Qadir dan berhala yang berada diatas kubur Ahmad Al Badawi dan yang semisal dengan mereka karena kejahilan mereka dan tidak ada yang memperingatkan mereka, maka bagaimana kami mengkafirkan orang yang tidak menyekutukan Allah jika ia tidak hijrah kepada kami dan tidak (ikut) mengkafirkan dan berperang?!))
Ini adalah nash yang jelas dari beliau bahwa beliau tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala. Dan disana ada nash lain yang serupa dan mungkin dijadikan pegangan dalam perkara ini oleh orang yang abstain, yaitu ucapan beliau:
ثم لا يخفى عليكم أنه بلغني أن رسالة سليمان بن سحيم قد وصلت إليكم وأنه قبلها وصدقها بعض المنتمين للعلم في جهتكم والله يعلم أن الرجل افترى علي أمورا لم أقلها ولم يأت أكثرها على بالي. فمنها: إني مبطل كتب المذهب الأربعة وإني أقول،،،وإني أكفر من حلف بغير الله، وإني أكفر ابن الفارض وابن عربي، وإني،،،وإني،،،،جوابي عن هذه المسائل أن أقول سبحانك هذا بهتان عظيم!
((Kemudian tidak luput dari kalian bahwasanya telah sampai kepadaku, bahwa risalah Sulaiman bin Suhaim telah sampai kepada kalian, dan surat ini diterima dan dibenarkan oleh sebagian orang yang mengaku berilmu disisi kalian. Padahal Allah Maha Mengetahui bahwa orang ini membuat-buat kedustaan atas namaku dari perkara-perkara yang tidak pernah aku katakan dan mayoritasnya tidak pernah terlintas dibenakku. Diantaranya: Bahwa aku menghapus kitab-kitab mazhab yang empat, dan bahwa aku mengatakan,,,,dan bahwa aku mengatakan,,,dan bahwa aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, dan bahwa aku mengkafirkan Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi, dan bahwa aku,,,dan bahwa aku,,,. Jawabanku tentang tuduhan-tuduhan ini, aku katakan: Maha Suci Engkau (Ya Allah) sesungguhnya ini merupakan kedustaan yang besar!
Disini beliau membela diri dari tuduhan mengkafirkan Ibnul Farid dan Ibnu Arabi, padahal keduanya lebih kafir daripada Yahudi dan Kristen!Beliau berkata: Maha Suci Engkau sesungguhnya ini merupakan kedustaan yang besar!
Dari dua nash diatas sangat mudah bagi siapa saja untuk menarik kesimpulan -tanpa harus capek menuntut ilmu- bahwa Asy-Syaikh Muhammad tidak mengkafirkan penyembah kubur dan orang yang berat kekufurannya dengan ta’yin (tunjuk hidung).
Tapi ketahuilah! Pertama, bahwa dalam mencari suatu hukum syar’i bukan dengan melihat kepada perkataan manusia meskipun ia seorang imam sekalipun. Kemudian membangun diatasnya pendapat dan keyakinan. Apabila imamnya berpendapat dengan suatu pendapat maka ia ikut berpendapat seperti pendapat imamnya dan meninggalkan dalil-dalil ayat dan hadits yang bersebrangan dengan pendapat imamnya. Karena sesungguhnya ini metode yang terbalik, yaitu menjadikan pendapat seorang imam sebagai pokok dan ayat serta hadits sebagai cabang yang harus ditakwil menyesuaikan pendapat manusia.
Melainkan yang wajib adalah berdalil dengan ayat, hadits dan ijma’. Kemudian menjadikan ucapan alim sebagai penguat dan pendukung. Adapun menjadikan ucapan manusia sebagai dalil yang diikuti, apabila ia berpendapat A kita ikut mengatakan A, dan apabila ia berpendapat B maka kita ikut mengatakan B, hal ini tidak dikenal pada generasi salaf terdahulu.
Kedua: Bahwa ucapan manusia bisa saja bertabrakan, karena tidak ada yang ma’shum kecuali Allah. Dan apabila Allah saja mengatakan tentang ayat-ayat-Nya sebagian muhkam (jelas/pokok) dan sebagian lainnya mutasyabih (samar/cabang) sebagai cobaan bagi manusia, maka apa menurut kita semua ucapan manusia adalah muhkam dan tidak ada yang mutasyabih?!
Allah berfirman;
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ أَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
((Dialah yang telah menurunkan kepadamu Al Kitab, diantaranya (ada) ayat-ayat yang muhkamat (jelas) dan yang lainnya mutasyabihat (samar). Adapun orang-orang yang dihati-hati mereka terdapat penyimpangan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih darinya dalam rangka mencari fitnah dan mencari-cari tafsirannya.))
Maka jika jelas oleh kita perkara ini, ketahuilah sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki ucapan lain yang bersebrangan dengan apa yang saya nukil diatas.
Beliau berkata dalam Rasail Syakhshiyyah (risalah ke 8):
((Apa yang disebutkan musyrikin bahwa aku melarang dari bershalawat kepada Nabi, atau aku mengatakan kalau aku mampu aku akan hancurkan kubah Nabi, atau aku,,,atau aku,,,ini adalah dusta dan kebohongan yang dibuat-buat oleh syaithan-syathan yang ingin memakan harta manusia dengan cara-cara batil seperti anak-anak Syimsan,,,begitu pula syaithan-syaithan yang miskin yang menisbatkan diri-diri mereka kepada Abdul Qadir Rahimahullah, padahal ia berlepas diri dari mereka seperti berlepas dirinya Ali bin Abi Thalib dari Rafidhah. Maka ketika mereka melihatku mengajak orang-orang kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahwa tidak ada yang diibadahi kecuali Allah, dan bahwa barangsiapa beribadah kepada Abdul Qadir maka dia kafir dan Abdul Qadir berlepas diri darinya dan begitu pula orang-orang yang menyeru orang-orang shalih atau para wali atau memanggil mereka atau sujud kepada mereka atau bernazar untuk mereka atau memberikan kepada mereka salah satu dari macam-macam ibadah yang merupakan hak Allah semata atas segenap hamba-Nya,,,dstnya))
Maksud dari nukilan ini adalah ucapannya: ((dan bahwa barangsiapa beribadah kepada Abdul Qadir maka dia kafir dan Abdul Qadir berlepas diri darinya…))disini beliau menetapkan bahwa orang ini kafir, sedangkan sebelumnya beliau menafikan ((Dan jika kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kubur Abdul Qadir…))
Berarti disatu tempat beliau mengkafirkan dan ditempat lain beliau tidak mengkafirkan. Dan menisbatkan salah satu ucapan tersebut kepada beliau tanpa dalil yang menguatkan adalah tahakkum (pemerkosaan) terhadap nash-nash beliau.
Dan serupa dengan ini nash perkataan beliau ditempat lain tentang penafiannya dari mengkafirkan Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi, beliau berkata dalam Rasail Syakhshiyyah (risalah ke 28):
((Dan tuduhanmu bahwa kami mengkafirkan muslimin, “bagaimana kamu lakukan itu”, “bagaimana kamu lakukan ini”, sesungguhnya kami tidak mengkafirkan muslimin, tidak ada yang kami kafirkan kecuali musyrikin. Dan begitu pula diantara orang yang paling sesat para sufi di Ma’kal dan selainnya seperti anak Musa bin Jau’an dan Salamah bin Mani’ dan selain mereka berdua. Mereka mengikuti madzhab Ibnu Arabi dan Ibnul Faridh. Padahal ulama telah menyebutkan bahwa Ibnu Arabi diantara imamnya madzhab Al Ittihadiyah dan mereka lebih kafir dari Yahudi dan Kristen. Maka siapa saja yang tidak masuk kepada agama Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berlepas diri dari agama Al Ittihadiyah, maka ia kafir berlepasdiri dari Islam dan tidak sah shalat dibelakangnya dan tidak diterima kesaksiannya…))
Maksud dari nukilan ini adalah ucapannya: ((Padahal ulama telah menyebutkan bahwa Ibnu Arabi diantara imamnya madzhab Al Ittihadiyah dan mereka lebih kafir dari Yahudi dan Kristen…))
Berarti nash ini serupa dengan nash sebelumnya, dimana disatu tempat beliau menafikan dari mengkafirkan Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi dan ditempat lainnya menetapkan bahwa ia mengkafirkan mereka.
Pertanyaannya apakah ucapan-ucapan ini kontradiktif atau sebenarnya ucapan-ucapan ini yang satunya muhkam dan lainnya mutasyabih sehingga yang mutasyabih wajib dikembalikan kepada yang muhkam? Dan maklum diketahui oleh penuntut ilmu bahwa menjadikan ucapan alim bertemu semuanya dan tidak bertabrakan lebih baik dan lebih beradab daripada menggugurkan salah satunya.
Dan dalam perkara ini yaitu persoalan seorang muslim yang shalih yang melakukan kesyirikan yang besar lagi jelas kerena jahil. Apakah ia kafir atau diberi udzur karena kejahilannya sehingga dikatakan muslim? Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menulis sebuah tulisan yang menjadi mazhab dan pandangannya yang diberi judul Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid. Di dalamnya beliau membawakan dalil-dalil dari kitab dan sunnah dan menukil ijma’ ulama bahwa muslim ini kafir secara personal. Selain itu dikitab ini beliau juga membantah orang-orang yang menyelisihinya, sehingga jadilah pendapat ini pendapat beliau yang muhkam yang tidak mungkin lagi ditakwil, karena kapan seorang alim menuangkan pandangannya dalam sebuah tulisan, jadilah apa yang ia tulis itu sebagai madzhabnya selagi tidak ada yang menghapusnya, bukan ucapannya yang musykil yang bersebrangan. Dan dalam perkara ini tidak ada ucapan beliau lainnya yang menghapus apa yang ditulisnya dalam kitab tersebut.
Ditambah lagi ucapan-ucapan beliau yang bersebrangan sifatnya mutlak tanpa dalil, berbeda dengan ucapan beliau di kitab ini yang beliau kuatkan dengan dalil-dalil dari Al Kitab dan As-Sunnah serta ijma’.
Maka apabila jelas perkara ini, harus ada taujih (pengkompromian)terkait ucapan-ucapannya yang sepertinya bersebrangan. Dan dalam hal ini ada tiga kemungkinan yang bisa kita berikan beserta dalilnya dari ucapan-ucapan beliau sendiri.
1. Maksud ucapan “…kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kubur Abdul Qadir…”adalah tidak terang-terangan mengkafirkan. Dan tidak terang-terangan mengkafirkan tidak berarti menafikan keyakinan hati. Karena beliau meyakini kafirnya para penyembah berhala, sebagaimana terdapat pada semua ucapannya.
Dan kondisi beliau tidak terang-terangan dalam mengkafirkan mereka disini, adalah sebagai bentuk tadarruj (bertahap) dalam dakwah karena pada awal kemunculannya orang-orang banyak yang mengingkarinya. Sehingga bukan merupakan hikmah bagi beliau ketika itu terang-terangan dalam kondisi ini.
Pada Risalah Syakhshiyyah (risalah ke 49) yaitu surat yang beliau kirim kepada Abdullah bin Isa dan anaknya Abdul Wahhab, beliau berkata;
ولولا أن الناس إلى الآن ما عرفوا دين الرسول وأنهم يستنكرون الأمر الذي لم يألفوه لكان شيئ آخر. بل والله الذي لا إله إلا هو لو يعرف الناس الأمر على وجهه لأفتيت بحل دم ابن سحيم وأمثاله ووجوب قتله، كما أجمع على ذلك أهل العلم كلهم
((Kalaulah manusia sampai sekarang tidak mengetahui agama rasul dan bahwa mereka mengingkari perkara yang mereka tidak mengenali, tentu keadaannya akan berbeda. Bahkan demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, kalau manusia mengetahui perkara ini sebagaimana seharusnya, tentu aku sudah fatwakan halalnya darah Ibnu Suhaim dan orang-orang semisalnya dan wajibnya membunuh dia, sebagaimana ulama seluruhnya sepakat akan hal ini.))
Maksud dari nukilan ini adalah bahwa Syaikh Muhammad terkadang menyembunyikan sebagian keyakinannya demi maslahat dakwah.
Artinya jika masyarakat ketika itu hidup diatas ajaran kesyirikan dan kekufuran dan semisalnya, bukan jalan yang bijak bagi seorang da’i untuk langsung mengkafirkan mereka. Tapi cukup ia meyakini murtadnya mereka, adapun terang-terangan seorang da’i harus menempuhnya secara bertahap sampai manusia terbiasa dengan dakwah ini.
2. Kemungkinan lainnya, beliau tidak mengkafirkan mereka dalam rangka mudaarah (mengalah dalam urusan dunia) demi maslahat dakwah.
Pada Risalah Syakhshiyyah (risalah ke 34) beliau mengirim surat kepada Sulaiman bin Suhaim, ia berkata:
وقبل الجواب نذكر لك أنك أنت وأباك مصرحون بالكفر والشرك والنفاق، ولكن صائر لكم عند جماعة في معكال قصاصيب وأشباههم يعتقدون أنكم علماء، ونداريكم ودنا أن الله يهديكم ويهديهم. وأنت إلى الآن وأبوك لا تفهمون شهادة أن لا إله إلا الله، أنا أشهد بهذا شهادة يسألني الله عنها يوم القيامة، أنك لا تعرفها إلى الآن ولا أبوك. ونكشف لك هذا كشفا بينا تتوب إلى الله وتدخل في دين الإسلام!
((Dan sebelum menjawab, kami sebut dihadapanmu bahwa kamu dan bapakmu terang-terangan melakukan kekufuran dan kesyirikan dan kemunafikan. Akan tetapi kamu dimata orang-orang di Ma’kal Qashashib dan orang-orang semisal mereka, kamu diyakini sebagai ulama. Dan kami bermudaarah dengan kalian, semoga Allah menunjuki kalian dan mereka. Dan kamu sampai sekarang dan bapakmu tidak memahami syahadat Laa ilaaha Illallah. Aku bersaksi dengan kesaksian yang Allah tanya kepadaku tentangnya di hari kiamat, yaitu bahwa kamu tidak mengetahuinya sampai saat ini, kamu dan bapakmu. Dan kami akan singkap hal ini dengan jelas, (darinya) kamu bertaubat kepada Allah dan masuk ke dalam agama Islam!))
Maksud dari nukilan ini adalah bahwa Asy-Syaikh Muhammad dalam dakwahnya terkadang perlu bermudaarah (mengalah demi maslahat dakwah) meskipun lawannya telah terjatuh kepada kekufuran, kesyirikan dan nifak. Tapi ketika tampak olehnya bahwa lawannya membangkang, beliau pun menjelaskan dengan lisannya.
3. Kemungkinan lainnya adalah bahwa ucapan itu beliau ucapkan di awal dakwah apakah karena waktu itu dakwah yang masih lemah seperti yang saya sebutkan di point pertama, atau karena perkara ini belum begitu jelas bagi Asy-Syaikh Muhammad, atau ketika itu ia menyangka bahwa dalam perkara ini ada khilaf. Bukti akan hal ini adalah ucapannya sendiri bahwa sebelumnya beliau tidak berada diatas akidah tauhid.
Beliau berkata pada risalah ke 28 dari Rasail Syakhshiyyah : ((…dan aku ceritakan tentang diriku, demi Allah Dzat Yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, aku telah menuntut ilmu dan orang yang mengenalku menyangka bahwa aku memiliki ilmu, padahal aku waktu itu tidak mengenal makna Laa ilaaha Illallah dan aku tidak mengenal agama Islam sebelum anugrah yang Allah curahkan padaku ini. Begitu pula guru-guruku, tidak seorang pun dari mereka yang mengetahui ini. Dan barangsiapa menyangka bahwa dari ulama alam bahwa ia mengetahui makna Laa ilaaha Illallah atau makna Islam sebelum ini atau menyangka dari guru-guruku bahwa ada seorang dari mereka yang mengetahui ini, maka ia telah berdusta dan berbuat kebohongan dan menipu manusia dan memuji dirinya dengan yang tidak pantas))
Semoga dengan penjelasan ini tidak ada lagi yang berpegang dengan ucapan Asy-Syaikh Muhammad yang musytabah (samar) dan menjadikannya sebagai pokok dan landasan dalam memahami ucapan-ucapannnya yang lain. Apalagi jika ia mengetahui bahwa diantara ulama panutan ada yang telah mentaujih (mengkompromikan) ucapan beliau tersebut seperti yang telah saya sebutkan diatas dan tidak menjadikannya pokok dan landasan, seperti Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi dan serupa dengan ini juga ucapan Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan. Jika ada kesempatan saya akan terjemahkan dan angkat ke publik agar diketahui bahwa dalam perkara ini saya hanyalah pengikut para ulama dan bukan orang yang mengada-ngada.
Wabillahit-Taufiq.