Pertama, melalui jalan nash. Contoh dalam hal ini seperti ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: ((Khalifah itu dari Quraisy)). Dan ulama berselisih pendapat seputar penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah setelah Nabi. Apakah melalui jalan nash atau melalui penunjukan ahlul hal wal ‘aqd.
Kedua, melalui pemilihan yang dilakukan oleh ahlul hal wal ‘aqd. Seperti yang terjadi pada pengangkatan Abu Bakar Rhadiyallahu ‘Anhu menurut pendapat yang paling kuat.
Ketiga, melalui cara penunjukan langsung. Dimana khalifah berkuasa berkata; “Khalifah yang kelak menggantikanku adalah fulan”. Hal ini seperti yang terjadi pada penunjukan Utsman bin Affan oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma.
Dan diantara cara-cara tersebut ada yang melalui jalan kudeta/perebutan kekuasaan. Meskipun jalan ini tidak dibenarkan kecuali pada situasi tertentu, seperti yang dijelaskan ulama, para Imam seperti Asy-Syafi’i, Ahmad dan selainnya telah menukil konsensus ulama adanya cara ini dalam suksesi kepemimpinan. Hal ini seperti yang pernah terjadi pada kekuasaan Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘Anhu yang dirampas oleh Abdul Malik bin Marwan.
Dan hal ini sekaligus menunjukkan bahwa siapa saja yang berhasil berkuasa dengan cara apa pun, adalah wajib bagi rakyat untuk mendengar dan taat. Sebagaimana hal ini merupakan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Faidah Dars Kitab Imarah dari Shahih Muslim oleh Asy-Syaikh Khalid Dhafiri