Asy-Syaikh Al ‘Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Diantara persoalan ‘inah atau termasuk bentuk menyiasati riba adalah apa yang banyak dilakukan sebagian orang sekarang. Dia perlu sebuah mobil kemudian dia pergi kepada seorang hartawan dan berkata, “Saya perlu mobil itu di showroom itu.” Kemudian hartawan ini pergi dan membelinya dari showroom dengan cash kemudian menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi kepada orang pertama secara kredit. Ini jelas menyiasati riba! Karena pada hakikatnya si hartawan ini meminjamkan uang seharga mobil dengan penambahan nilai. Karena kalau bukan ada permintaan, hartawan ini tidak akan membeli mobil itu. Ini jelas menyiasati, meskipun disayangkan banyak orang terlibat cara-cara seperti ini. Tapi perbuatan orang bukan ukuran kebenaran. Ukurannya adalah kesesuaian dengan hukum-hukum syariat.
Beliau juga berkata pada halaman 213, “Ketahuilah semakin seseorang menyiasari yang haram, hanya akan menambah keburukannya. Karena yang haram itu buruk, dan apabila kamu menyiasatinya ia jadi lebih buruk lagi. Karena berarti kamu menggabungkan antara keharaman yang hakiki dengan menipu Rabbul ‘Aalamin. Padahal tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan Allah, “Sesungguhnya amalan itu tergantung kepada niat.” Dan kalau bukan karena riba berupa penambahan nilai kamu tidak kenal orang ini. Dan yang mengherankan lagi syaithan menipu anak Adam dengan mengatakan; Kami melakukan ini karena sayang kepada fakir miskin, agar mereka bisa bangkit. Dan kalau bukan karena sistem ini keadaannya sulit membaik. Tapi aku sanggah, “Semakin miskin seseorang semakin besar penambahan nilainya. Ini bencana bukan bentuk kasih sayang!”
Dan beliau berkata, “Sarana-sarana kepada yang haram adalah haram. Lihatlah bagaimana syariat islam menutup pintu rapat-rapat dari masuknya riba. Karena jiwa tercipta cinta kepada harta. Maka ia mencari jalan guna meraihnya dengan semua cara. Dan perlindungan syariat dari pintu riba dan menjauhkan manusia darinya amat jelas sekali dalam syariat ini sebagaimana syariat ini menjaga pagar tauhid dan membatalkan semua yang dikira bisa menjadi sarana kesyirikan. Dan begitu pula riba, dimana jiwa manusia menuntut dan mencintainya, syariat menutup semua pintu yang mengantarkan kepada riba.”
Sumber: Asy-Syarh Al Mumti’, kitab Al Buyu’ (8/211)