Teks-teks ucapan para Ulama Ad-Dakwah bahwa paham hujjah bukan syarat dalam takfir mu’ayyan dan pemahaman mereka terhadap teks-teks ucapan Syaikhul Islam.
1- Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab berkata saat berbicara tentang orang yang keliru memahami perkataan Syaikhul Islam dalam persoalan tegak hujjah; “Barangsiapa sampai kepadanya Al Qur’an berarti telah sampai kepadanya hujjah. Tapi pokok persoalannya kamu tidak membedakan antara tegak hujjah dengan paham hujjah. Padahal mayoritas orang-orang kafir dan munafik tidak memahami hujjah Allah disamping tegaknya hujjah atas mereka, sebagaimana firman Allah Ta’aala;
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu).” (Qs. Al Furqan: 44)
Lihat Majmu’ Mu’allafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (3/159-160) dan Fatawa Al A’immah An-Najdiyyah (3/238)
2- Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab berkata; “Tegaknya hujjah satu persoalan, dan sampainya hujjah persoalan lain. Dan hujjah tegah tegak atas mereka (orang-orang kafir) dan Allah mengkafirkan mereka dengan sampainya hujjah kepada mereka meskipun mereka tidak memahaminya. Apabila hal ini sulit kamu pahami, lihatlah kepada sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang kaum Khawarij; “Dimana pun kamu dapati mereka bunuhlah mereka” dan sabdanya, “(Mereka) seburuk-buruk yang terbunuh di kolong langit” padahal mereka hidup pada zaman shahabat dan orang-orang merasa ibadah para shahabat tidak ada apa-apanya disamping ibadah mereka. Hujjah telah sampai kepada mereka tapi mereka tidak memahaminya. Begitu pula ijma’ salaf tentang pengkafiran kaum Qadariyah dan selain mereka disamping keilmuan mereka dan gigihnya ibadah mereka dan mereka menyangka bahwa mereka melakukan kebaikan. Tidak ada seorang pun salaf abstain dari mengkafirkan dengan alasan mereka tidak paham. Maka apabila kamu telah ketahui ini, sesungguhnya apa yang kalian lakukan ini adalah kekufuran.”
Lihat Ad-Durar As-Sanniyyah (10/93-95) dengan sedikit ringkasan. Fatawa Al A’immah An-Najdiyyah (3/238)
3- Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab berkata saat menyanggah orang yang mengatakan bahwa seorang mu’ayyan tidak menjadi kafir kecuali setelah tegaknya hujjah sesuai pemahamannya yang keliru terhadap perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau menerangkan makna tegak hujjah menurut Ibnu Taimiyah dan bahwa paham hujjah bukan syarat; “Adapun redaksi Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) yang dengannya mereka menipu kamu sebenarnya lebih berat dari ini semua. Jikalau kami berpegang dengannya tentu kami sudah kafirkan banyak dari ulama-ulama terkenal person per person. Karena sesungguhnya beliau disana menegaskan bahwa person tertentu tidak kafir kecuali apabila hujjah telah tegak atasnya. Dan telah dimaklumi bahwa tegaknya hujjah bukan berarti seseorang memahami perkataan Allah dan rasul-Nya seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq. Melainkan apabila sampai kepadanya ucapan Allah dan rasul-Nya, dan tidak terdapat padanya suatu alasan yang menjadikannya bisa diudzur maka dia kafir, sebagaimana dahulu semua orang kafir tegak atas mereka hujjah dengan Al Qur’an.” Risalah Takfir Al Mu’ayyan (11-12) cetakan Thaibah dan Fatawa Al ‘Aimmah An-Najdiyyah (3/122)
4- Asy-Syaikh Hamad bin Nashir Mu’ammar, salah seorang ulama dakwah dan termasuk murid Al Imam Al Mujaddid berkata; “Siapa saja yang telah sampai kepadanya Al Qur’an dan dakwah Rasulullah berarti telah tegak atasnya hujjah sebagaimana firman Allah Ta’aala “…supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya).” (Qs. Al An’am; 19) Dan ulama telah sepakat bahwa barangsiapa sampai kepadanya dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berarti hujjah Allah telah tegak atasnya.” Fatawa Al ‘Aimmah An-Najdiyyah (3/240) dan lihat Ad-Durar As-Sanniyyah (11/71-75)
5- Beliau rahimahullah juga berkata saat menerangkan bahwa hujjah tegak pada masa’il dhahirah dengan sampainya Al Qur’an, dan bahwa paham hujjah bukan syarat; “Semua yang telah sampai kepadanya AL Qur’an tidak diudzur, karena pokok-pokok besar yang merupakan pokok agama Islam telah Allah terangkan di dalam kitab-Nya dan telah dijelaskan. Dengannya Allah telah tegakkan hujjah atas segenap hamba-Nya. Dan bukan yang dimaksud dengan tegak hujjah seseorang memahaminya dengan seterang-terangnya, sebagaimana dugaan orang –semoga Allah tunjuki dan beri kepadanya taufik untuk tunduk kepada perintah-Nya-. Karena orang-orang kafir (dahulu) hujjah Allah telah tegak atas mereka disamping keterangan-Nya bahwa Dia menjadikan diatas hati-hati mereka penutupuntuk bisa memahami perkataan-Nya. Allah Ta’aala berfirman;
وَجَعَلْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا ۚ
“Padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya..” (Qs. Al An’am: 25)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ ۖ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى
“Katakanlah:”al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka.” (Qs. Fushshilat; 44)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُم مُّهْتَدُونَ
“Sesungguhnya mereka menjadikan syitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Qs. Al A’raf; 30)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah:”Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. Al Kahfi: 103-104)
Ayat-ayat yang semakna dengan ini ada banyak, Allah mengabarkan bahwa mereka belum memahami Al Qur’an dan bahwa Allah menghukum mereka dengan penutup dan sumbatan pada telinga-telinga mereka. Dan bahwa Allah telah menutup hati-hati mereka dan pendengaran mereka serta pengelihatan mereka, dan bersamaan dengan keadaan mereka yang seperti ini, Allah tidak mengudzur mereka, bahkan menghukumi mereka sebagai orang-orang kafir yang Allah perintahkan untuk diperangi sehingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerangi mereka dan menghukumi mereka kafir. Maka ini menerangkan bagimu bahwa sampainya hujjah adalah persoalan yang berbeda dengan paham hujjah.” Fatawa Al ‘Aimmah An-Najdiyyah (3/240). Lihat juga Ad-Durar As-Sanniyyah (11/71-75)
6- Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi rahimahullah berkata menerangkan perbedaan antara tegak hujjah dengan paham hujjah, dan bahwa tegak hujjah tercapai dengan sampainya hujjah. Yaitu saat beliau menceritakan tentang orang-orang yang memahami perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang tegak hujjah dengan pemahaman yang keliru. Beliau berkata;
“Guru kami Asy-Syaikh Abdul Lathif rahimahullah berkata; Dan perlu diketahui perbedaan antara tegak hujjah dengan paham hujjah. Karena barangsiapa sampai kepadanya dakwah Rasulullah berarti hujjah telah tegak atasnya, apabila sampainya dalam bentuk yang memungkinkan untuk dipahami. Dan bukan syarat dalam persoalan tegak hujjah seseorang memahami tentang Allah dan rasul-Nya seperti yang dipahami oleh orang-orang yang beriman dan menerima serta tunduk terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah. Maka pahamilah ini agar tersingkap darimu syubhat dan kerancuan yang banyak pada persoalan tegak hujjah. Allah Ta’aala berfirman;
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu).” (Qs. Al Furqan: 44)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.” (Qs. Al Baqarah: 7)
Saya (Sulaiman bin Sahman) berkata; “Maksud perkataan beliau “apabila sampainya dalam bentuk yang memungkinkan untuk dipahami” yakni dia bukan orang gila, belum mumayyiz seperti anak kecil dan orang gila. Atau (bukan) orang yang tidak memahami bahasa dan tidak ada yang menterjemahkan untuknya.” Fatawa Al A’immah An-Najdiyyah (3/243-244). Lihat juga Kasyf Syubhatain (91-92)
7- Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullah berkata saat menerangkan persoalan takfir mu’ayyan meskipun belum paham hujjah, dan membantah orang yang memahami perkataan Syaikhul Islam dalam persoalan tegak hujjah dengan pemahaman yang keliru;
“Dan tidak ada udzur atas orang yang keadaannya seperti ini, karena dia belum memahami hujjah-hujjah Allah dan keterangan-keterangannya. Karena tidak ada udzur atasnya setelah hujjah sampai kepadanya dan walaupun dia belum memahaminya. Dan Allah Ta’aala telah menceritakan tentang orang-orang kafir bahwa mereka tidak memahami. Allah berfirman;
وَجَعَلْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْرًا ۚ
“Padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya..” (Qs. Al An’am: 25)
Maka Allah Subhanahu wa Ta’aala telah menerangkan bahwa mereka belum paham, dan Dia tidak mengudzur mereka disebabkan mereka belum paham. Bahkan Al Qur’an menegaskan akan kafirnya orang-orang kafir jenis ini. Maka apabila telah jelas dan terang olehmu hal ini maka ketahuilah bahwa orang-orang yang membuat-buat syubhat dengan ucapan Syaikhul Islam dan mengglobalkannya dan tidak merincinya mereka telah mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.” Fatawa Al ‘Aimmah An-Najdiyyah (3/245). Dan lihat secara lengkap dalam kitab Kasyf Syubhatain (91-96)
8- Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Aba Buthain An-Najdi, Mufti negeri Nejed berkata menerangkan bahwa paham hujjah bukan syarat dalam persoalan tegak hujjah. Bahkan tegak hujjah tercapai dengan sekedar sampainya hujjah;
“Barangsiapa sampai kepadanya risalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sampai kepadanya Al Qur’an maka hujjah telah tegak atasnya. Sehingga seseorang tidak diberi udzur apabila tidak beriman kepada Allah, malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya dan hari akhir. Dan tidak ada udzur karena kejahilan baginya setelah itu semua.”
Dan beliau berkata saat menjelaskan perkataan-perkataan Ibnu Taimiyah tentang tegak hujjah; “Ucapan Asy-Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah “Sesungguhnya takfir dan hukum bunuh tergantung kepada sampainya hujjah” akhir perkataan beliau menunjukkan bahwa dua perkara ini yaitu takfir dan hukum bunuh tidak tergantung kepada paham hujjah secara mutlak, melainkan kepada sampainya hujjah. Maka antara paham hujjah dan sampainya hujjah dua persoalan yang berbeda. Karena apabila hukum ini tergantung kepada paham hujjah, kita tidak mengkafirkan kecuali orang yang kita ketahui membangkang / mu’anid saja. Dan hal ini kebatilannya jelas sekali. Bahkan perkataan terakhir beliau menunjukkan kepada paham hujjah menjadi syarat dalam perkara-perkara yang samar menurut kebanyakan orang, dan tidak bersebrangan dengan tauhid dan risalah seperti kejahilan terhadap sebagian sifat-sifat.” Fatawa Al ‘Aimmah An-Najdiyyah (3/311). Lihat juga Ad-Durar As-Sanniyyah (10/360-375)
9- Asy-Syaikh Ishaq bin Abdurrahman An-Najdi rahimahullah berkata; “Dan yang dimaukan adalah, bahwa hujjah tegak dengan Rasul dan Al Qur’an. Maka siapa saja yang mendengar Rasul (diutus) dan sampai kepadanya Al Qur’an berarti telah tegak atasnya hujjah. Dan hal ini jelas pada perkataan Syaikhul Islam.” Fatawa Al ‘Aimman An-Najdiyyah (3/124). Lihat juga Aqidah Al Muwahhidin (138-140) cetakan Maktabah Ath-Tharafain dengan mukaddimah dari Samahatus-Syaikh Ibn Baz rahimahullah.
10- Dan berkenaan dengan sifat hujjah bahwa ia tegak dengan sampainya, Al Lajnad Ad-Da’imah lil Ifta’ berkata; “Barangsiapa tinggal di satu negeri disana dia mendengar dakwah kepada Islam dan selainnya kemudian dia tidak beriman dan tidak mencari kebenaran dari para pembelanya maka dia dihukumi dengan hukum orang yang telah sampai kepadanya dakwah Islam dan tetap bertahan di atas kekufuran. Adapun orang yang tinggal di selain negeri Islam dan tidak mendengar ada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau tentang Al Qur’an, maka orang ini kalau dianggap ada, hukumnya mengikuti hukum ahli fatrah.” Fatawa Al Lajnah Ad-Da’iman (2/96-99) cetakan Uli An-Nuha.
11- Al Lajnah Ad-Da’imah berkata; “Barangsiapa sampai kepadanya dakwah (Islam) di zaman ini berarti hujjah telah tegak atasnya. Dan barangsiapa dakwah belum sampai kepadanya, maka hujjah belum tegak atasnya seperti zaman-zaman lainnya. Dan kewajiban para ulama adalah menyampaikan dan menerangkan sesuai kemampuannya.” Fatawa Al Lajnah Ad-Da’imah (2/30-31) cetakan Uli An-Nuha.
12- Samahatus-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata; “Adapun orang yang telah sampai kepadanya Al Qur’an, atau (berita) diutusnya Rasulullah tapi tidak menyambut, berarti hujjah telah tegak atasnya, sebagaimana yang Allah Ta’aala firmankan;
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ ۚ
“Dan al-Qur’an ini dwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya).” (Qs. Al An’am; 19)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
وَلِيُنذَرُوا بِهِ
“…dan agar supaya mereka diperingatkan dengannya (Al Qur’an).” (Qs. Ibrahim; 52)
Maka barangsiapa telah sampai kepadanya Al Qur’an dan Islam kemudian dia tidak masuk Islam berlaku atasnya hukum orang-orang kafir. Dan telah benar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda;
وَالَّذِي نَفْسُي بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidak seorang pun dari ummat ini Yahudi atau Nashrani mendengar aku (diutus) kemudian dia mati dan belum beriman kepada apa yang aku bawa kecuali dia termasuk penghuni neraka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam Ash-Shahih.
Nabi menjadikan perihal mendengarnya dia akan diutusnya sebagai rasul sebagai hujjah atas orang ini.” Fatawa wa Tanbihat Syaikh Ibn Baz (211-213) cetakan Maktabah As-Sunnah. Dan Fatawa Ibn Baz (2/282-284) cetakan Daar Al Wathan.
13- Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia berkata; “Sesungguhnya orang-orang yang abstain dari takfir mu’ayyan dalam perkara-perkara yang dalilnya mungkin tersamarkan tidak kafir sampai hujjah risaliyah menjadi tegak atasnya dari sisi keberadaan dan pendalilannya. Dan apabila hujjah telah dijelaskan kepadanya dengan keterangan yang cukup dia kafir, apakah dia paham atau mengatakan; saya tidak paham, atau dia paham kemudian mengingkari. Karena kekufuran orang-orang kafir semuanya karena pembangangan / (inaad). Adapun perkara yang sudah populer dikenal bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membawanya kemudian dian menyelisihi maka orang ini menjadi kafir dengan sekedar itu. Dan tidak butuh kepada dijelaskan, apakah dalam persoalan pokok atau cabang, selagi dia bukan orang yng baru masuk Islam.” Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, cetakan Al Hukumah As-Su’udiyyah (1/74)
14- As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata menerangkan tidak disyaratkannya paham hujjah, “Tidak ada beda antara orang yang kekufurannya karena pembangkangan dengan orang yang kekufurannya karena jahil. Kekufuran ada yang disebabkan karena pembangkangan dan ada yang disebabkan karena kejahilan. Dan bukan termasuk syarat tegaknya hujjah atas orang kafir dia paham hujjah. Bahkan barangsiapa ditegakkan atasnya hujjah dimana orang semisal dia paham, maka dia kafir apakah dia memahaminya atau tidak memahaminya. Kalau pemahaman sebagai syarat berarti kekufuran hanya satu saja yaitu kufur juhud (penolakan). Tapi kekufuran beragam, ada kufur jahl dan selainnya.” Syarah Kasyf Syubuhat (halaman 101)
15- Al Hafidz Ibnul Qayyim rahimahulah berkata menerangkan persoalan bahwa penegakan hujjah tercapai dengan sampainya Al Qur’an,
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’aala telah menegakkan hujjah atas makhluk-makhluk Nya dengan (diturunkannya) Al Kitab dan (diutusnya) para rasul. Allah Ta’aala berfirman;
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (yaitu al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Qs. Al Furqan: 1)
Dan Allah Ta’aala berfirman;
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ
“Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya).” (Qs. Al An’am; 19)
Maka siapa saja yang telah sampai kepadanya Al Qur’an berarti telah diperingatkan dengannya dan telah tegak hujjah atasnya.” Mukhtashar Ash-Shawa’iq (2/725)
16- Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata membantah Daud bin Jirjis yang berdalil dengan perkataan Ibnu Taimiyah dalam mensyaratkan paham hujjah,
“Adapun ucapan orang yang jahil berlapis ini (maksudnya Al ‘Iraqi) “bukankah dia tidak mampu mengenali dan memahaminya?!” adalah berasal dari ketidaktahuannya akan perbedaan antara tegak hujjah dengan paham hujjah. Karena barangsiapa sampai kepadanya dakwah Rasul berarti hujjah telah tegak atasnya, apabila sampainya hujjah itu dalam bentuk yang mungkin dimengerti. Dan bukan syarat dalam tegak hujjah seseorang memahami dari Allah dan rasul-Nya seperti pemahaman ahli iman dan orang yang tunduk terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasul, karena paham hujjah berbeda dengan tegak hujjah.” Ad-Dhiya’ Asy-Syariq fi Radd ‘Alal Maziq Al Mariq (290-291)
17- Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab berkata menjelaskan sikap Ibnu Taimiyah dalam permasalahan tegak hujjah dan bahwa yang dimaksud dengannya adalah sampainya hujjah,
“Dan inilah redaksi ucapannya (maksudnya Ibnu Taimiyah) pada semua tempat yang kami dapati. Beliau tidak menyebutkan abstain dari takfir mu’ayyan kecuali memberikan keterangan yang tidak menyisakan pertanyaan, bahwa yang dimaksud dengan abstain dari mengkafirkannya adalah sebelum sampainya hujjah. Sedangkan apabila hujjah telah sampai kepadanya dia dinilai sesuai kasusnya apakah dengan pengkafiran atau dicap fasik atau ahli maksiat.” Silahkan lihat Ad-Durar As-Sanniyyah (9/405-406) dan Al ‘Aqidah Al Muwahhidin (halaman 54)
Disalin ulang dari terjemahan kitab Dhawabith Takfir, karya Asy-Syaikh Abul Ula Ar-Rasyid