Kebiasaan sebagian orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi yang menjadikan ceramah sebagai panggung kultus pribadi adalah tragedi dakwah yang terus berulang. Untuk yang kesekian kalinya, masyarakat selalu disuguhi tontonan di mana sang penceramah tidak mengajak umat kepada Allah dengan sebenarnya, tetapi mengarahkan hati manusia untuk terpaut kepada sosok dirinya dengan membungkusnya memakai kedudukan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
.
Dalam berbagai kesempatan, mereka menghadirkan cerita-cerita fantastis: pengalaman spiritual yang luar biasa, kemampuan bertemu Nabi setiap malam, keistimewaan gaib, dan klaim-klaim lain yang tak memiliki dasar syar’i sehingga lahirlah sikap ghuluw (pengagungan berlebihan) yang jauh dari spirit tauhid, bahkan mirip praktik pengultusan manusia yang pernah diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri.


Ketika Panggung Ceramah Menjadi Arena Kultus Pribadi

Alih-alih menyampaikan ilmu dan hikmah, Orang-orang ini selalu menjadikan ceramahnya sebagai sarana membangun narasi keistimewaan diri. Setiap kisah diarahkan untuk menimbulkan rasa kagum, takjub, bahkan takut kepada dirinya, mengabaikan ilmu dan membiarkan ummat yang awam tetap berkubang kebodohan demi melestarikan hegemoni dia dan kelompoknya selama ini.
.
Ceramah yang seharusnya menambah iman, justru mengaburkan tauhid. Banyak jamaah, terutama masyarakat awam terjebak dalam jaring halusinasi yang diproduksi dengan rapi oleh orang-orang ini. Mereka menelan mentah dongeng-dongeng spiritual tanpa tabayyun dan tanpa kritis, karena mengira semua yang dibalut klaim “keturunan Rasul” pasti benar dan wajib diterima tanpa boleh mempertanyakannya!

Nabi shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan orang-orang seperti ini:
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Betapa berbahayanya orang yang ringan mengklaim perjumpaan, pesan, atau ilham dari Nabi demi memoles agenda pribadi.

Penyakit Ghuluw: Akar Kerusakan Umat Sepanjang Sejarah

Ghuluw bukan sekadar kesalahan teologis, tapi ia merupakan penyakit jiwa. Ia merusak akal sehat, menumpulkan hati, dan mematikan kemampuan menimbang kebenaran. Para ulama telah mengingatkan bahaya ghuluw sejak masa sahabat. Ibnul Qayyim mengatakan:
“Tidak ada satu pun kerusakan di muka bumi melainkan sebabnya adalah ghuluw, baik dalam cinta, pujian, atau klaim spiritual.”

Saat oknum pengaku habib -berlepas benar tidaknya pengakuan itu- terus-menerus mengangkat dirinya dengan kedudukan-kedudukan khusus, seolah ia memiliki hubungan eksklusif dengan alam malakut, itu adalah bentuk ghuluw yang merusak. Namun yang lebih berbahaya adalah kondisi sebagian masyarakat yang malas belajar, malas menguji informasi, dan menerima semua seolah itu kebenaran suci. Di situlah dongeng khurafat mendapatkan panggungnya.

Sakit Jiwa Dakwah: Ketika Fantasi Dijual Sebagai Kebenaran

Bukan berlebihan jika dikatakan: ada cacat serius dalam kepribadian orang-orang ini. Ketika seseorang terus-menerus membangun dunia fantasi, menghadirkan halusinasi sebagai fakta, dan menjual cerita gaib sebagai komoditas dakwah, itu bukanlah ciri orang yang sehat jiwanya. indikasi adanya: kebutuhan untuk dipuja, obsesi untuk dianggap istimewa, ketergantungan terhadap sorotan, ketertarikan pada otoritas spiritual palsu. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, manusia termulia, bersabda:
“Janganlah kalian memujiku berlebihan sebagaimana orang Nasrani memuji Isa putra Maryam.” (HR. Bukhari)

Jika Rasul saja melarang pujian berlebihan, bagaimana mungkin seorang dai atau oknum pengaku habib justru secara aktif mendorong publik untuk memujanya?


Menjual Kedudukan Nabi untuk Kepentingan Diri.
Inilah puncak kerusakan: menjadikan kehormatan Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai alat pemasaran spiritual untuk keuntungan pribadi. Kedudukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dijadikan tameng, dijadikan stempel, dijadikan pelengkap kisah-kisah karangan.

Mereka berkata:
“Aku diberi pesan oleh Rasulullah…”
“Aku bertemu Nabi semalam…”
“Aku diberi firasat oleh baginda…”
Mereka jadikan ini konsumsi publik, diproduksi terus menerus seperti episode film.

Para ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa menolak klaim-klaim seperti ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Klaim bertemu Nabi setelah wafatnya secara sadar dan membawa syariat baru adalah kedustaan. Itu adalah pintu kesesatan dan khurafat.”

Klaim yang berulang-ulang, apalagi di setiap momen ceramah, bukan tanda kemuliaan, melainkan tanda rekayasa. Halu

Tanggung Jawab Umat: Bangkit dari Kejahilan.

Masalah ini bukan hanya karena oknum yang menyimpang, tapi juga karena umat yang jahil. Masyarakat yang tak dibekali ilmu mudah sekali terpesona oleh: gelar palsu, nasab yang tak jelas, cerita karomah palsu, pakaian serban dan jubah, atau suara ceramah yang dibuat megah.

Ulama salaf memperingatkan:
“Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”

Masyarakat harus bangkit dari kejahilan ini.
Tidak semua yang mengaku keturunan Nabi itu benar pengakuannya. Dan tidak semua yang benar bernasab kepada Nabi otomatis terjaga dari kesalahan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang amalnya lambat, nasabnya tidak akan menyusulnya.”
(HR. Muslim)

Dakwah Bukan Panggung Halusinas

Dakwah adalah amanah. Ia bukan tempat melariskan kisah-kisah bohong. Ia bukan arena untuk membangun pengaruh pribadi. Ia bukan ruang untuk menakut-nakuti jamaah agar tunduk kepada dai.
.
Dakwah adalah seruan kepada Allah, bukan kepada manusia. Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah: Inilah jalanku; aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru kepada Allah berdasarkan ilmu.” (QS. Yusuf: 108)

Sebuah garis tegas:
Mengajak manusia kepada Allah berarti menjauhi segala bentuk pemuliaan berlebihan terhadap diri sendiri.

Penutup: Saatnya Mengembalikan Kejernihan Dakwah.

Umat butuh dakwah yang jernih, ilmiah, penuh tawadhu’, dan menuntun kepada tauhid. Umat tidak butuh dongeng-dongeng gaib yang memupuk ghuluw. Jika ulah sebagian oknum pengaku habib ini terus dibiarkan, umat akan semakin jauh dari ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang asli dan larut dalam dunia khurafat.

Kini saatnya masyarakat membuka mata, memurnikan aqidah, dan kembali memuliakan Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan cara yang benar, bukan lewat klaim-klaim ajaib dari orang-orang yang menjadikan agama sebagai panggung narasi halusinatif.

Penulis adalah admin group telegram Suara Tauhid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *