Tulisan ini menganalisis konflik antara kelompok PWI-LS dan komunitas habaib dalam konteks sosial-keagamaan Indonesia. Perseteruan tersebut bukanlah sebagai benturan antara tauhid dan syirik, atau antara penegak sunnah dan ahli bid‘ah. Namun, analisis mendalam menunjukkan bahwa akar permasalahan bukanlah perbedaan aqidah substantif, melainkan fanatisme kelompok (ashabiyah), identitas sosial keagamaan, dan perebutan pengaruh di tengah masyarakat Muslim. Melalui pendekatan teologis dan sosiologis, tulisan ini menegaskan bahwa konflik semacam ini merupakan bentuk penyimpangan dari kemurnian tauhid dan cerminan krisis keikhlasan dalam perjuangan agama.
.

  1. Pendahuluan

Perseteruan antar kelompok keagamaan di Indonesia kerap muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari polemik wacana, perebutan legitimasi keagamaan, hingga benturan sosial di lapangan. Salah satu yang mencuri perhatian adalah konflik antara PWI-LS dan sebagian komunitas habaib, dua entitas yang sama-sama membawa simbol Islam namun berbeda dalam ekspresi sosial dan garis genealogis.

Secara kasat mata, konflik tersebut tampak seperti pertarungan antara pembela kemurnian kultural Pribumi dan pengusung tradisi sufi-bid‘ah warga keturunan. Namun dalam analisis mendalam, keduanya tidak berada pada dua kutub teologis yang berbeda secara prinsip, melainkan dalam arena sosial yang sama: perebutan otoritas keagamaan dan pengaruh massa.
.

  1. Dimensi Ashabiyah dalam Perseteruan

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara eksplisit mengharamkan fanatisme berbasis keturunan dan golongan (ashabiyah). Dalam hadits riwayat Abu Dawud, beliau bersabda:

“Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyah, bukan dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati di atas ashabiyah.”[^1]

Fenomena perseteruan antara kelompok PWI-LS dan komunitas habaib menunjukkan gejala ashabiyah yang kuat. Masing-masing kelompok cenderung membangun identitas berdasarkan nasab dan simbol sosial, bukan atas dasar ittiba‘ terhadap dalil yang shahih.

Dalam kerangka sosiologi agama, ini termasuk kategori symbolic struggle, pertarungan simbolik antara dua kelompok sosial yang berkompetisi memperebutkan kapital simbolik keagamaan (Bourdieu, 1977). Kelompok habaib mengandalkan simbol nasab dan keturunan Rasulullah sebagai legitimasi spiritual, sementara kelompok PWI-LS menampilkan diri sebagai penjaga “kemurnian kultur Pribumi”.

Padahal, kedua entitas tersebut pada hakikatnya sama-sama terjebak dalam praktik keberagamaan yang tidak sepenuhnya bersih dari pengaruh tradisi lokal dan keyakinan non-syar‘i.
.

  1. Kesamaan Orientasi Teologis dan Praktik Keagamaan

Secara teologis, baik sebagian anggota PWI-LS maupun komunitas habaib masih mempertahankan praktik yang tidak sejalan dengan prinsip tauhid uluhiyyah. Beberapa praktik seperti tawassul dengan orang mati, tabarruk terhadap benda peninggalan tokoh, serta ziarah kubur yang disertai permohonan berkah merupakan bentuk ghuluw (berlebihan) terhadap orang shalih yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

“Janganlah kalian berlebihan memuji aku sebagaimana orang Nasrani memuji Isa putra Maryam, karena aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.’”[^2]

Dalam banyak kasus, baik di kubu habaib maupun sebagian kelompok yang mengaku “Pribumi”, masih ditemukan praktik sakralisasi tempat dan figur yang melanggar prinsip tanzih (penyucian Allah dari perantara). Dengan demikian, perbedaan di antara mereka bukanlah perbedaan aqidah substantif, tetapi kompetisi simbolik atas klaim keagamaan.
.

  1. Perebutan Legitimasi Sosial dan Kekuasaan Simbolik

Menurut teori otoritas Max Weber, kekuasaan religius terbagi menjadi tiga bentuk: otoritas tradisional, rasional-legal, dan karismatik. Dalam konteks ini, komunitas habaib memperoleh legitimasi melalui otoritas tradisional-karismatik, sedangkan kelompok PWI-LS berusaha membangun otoritas rasional-doktrinal melalui wacana kemurnian kultural.

Keduanya berkompetisi dalam ruang sosial umat yang sama, yakni masyarakat Muslim yang mudah terpengaruh oleh simbol-simbol religius. Hasilnya adalah pertarungan hegemoni spiritual, bukan perjuangan aqidah.

Allah Ta‘ala berfirman:

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan menjadi beberapa golongan; tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
(QS. Ar-Rum: 31–32)

Ayat ini mencerminkan bahaya fragmentasi keagamaan ketika agama dijadikan identitas kelompok untuk kepentingan kesukuan, bukan sarana menuju kebenaran.
.

  1. Dampak terhadap Umat dan Urgensi Literasi Aqidah

Perseteruan ini menimbulkan dampak serius terhadap pembentukan kesadaran keagamaan umat. Umat awam sering kali terjebak dalam loyalitas buta kepada figur, bukan kepada dalil. Mereka memandang kebenaran berdasarkan siapa yang berbicara, bukan berdasarkan hujjah yang dikemukakan.

Dalam konteks ini, urgensi literasi aqidah dan manhaj ilmiah menjadi sangat penting. Al-Qur’an menegaskan:

“Maka hendaklah kamu berhati-hati terhadap mereka yang menyimpang dari perintah Rasul, karena dikhawatirkan akan ditimpa fitnah atau azab yang pedih.”
(QS. An-Nur: 63)

Umat harus disadarkan bahwa kemuliaan tidak ditentukan oleh nasab atau popularitas, melainkan oleh ketakwaan dan ittiba‘ kepada Rasulullah.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
.

  1. Kesimpulan

Perseteruan antara PWI-LS dan komunitas habaib bukanlah konflik aqidah, melainkan fenomena sosial yang dibungkus dengan simbol keagamaan. Akar masalahnya adalah ashabiyah, perebutan pengaruh, dan krisis keikhlasan dalam dakwah. Dalam hal praktik keagamaan, keduanya masih memiliki kesamaan dalam bentuk-bentuk bid‘ah dan khurafat yang harus diluruskan melalui pendekatan ilmiah, bukan emosional.

Oleh karena itu, umat Islam perlu mengembalikan orientasi dakwah kepada kemurnian tauhid, menjauhi fanatisme kelompok, dan menimbang setiap klaim keagamaan dengan standar nash yang shahih, bukan dengan loyalitas sosial.

Barakallahu fikum.


Daftar Pustaka (Catatan Kaki)

[^1]: Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 5121. Silsilah Ahadits Shahihah, jilid 1, hlm. 299.
[^2]: HR. Bukhari no. 3445, Kitab Ahadits al-Anbiya’.

Referensi tambahan:
Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press, 1977.
Weber, Max. Economy and Society. University of California Press, 1978.
Ibn Taimiyyah, Iqtidhā’ al-Shirāṭ al-Mustaqīm li Mukhālafah Ashhāb al-Jahīm. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.
Asy-Syathibi, Al-I‘tisam. Kairo: Dar al-Turats, 1985.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ighāthat al-Lahfān min Maṣāyid al-Syaithān. Riyadh: Dar ‘Alam al-Fawaid, 1998.

Penulis admin group telegram Suara Tauhid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *