Masyarakat sepertinya belum banyak menyadari besarnya bahaya kesyirikan, terbukti dari membludaknya penonton film “13 Cara…” di atas. Seperti yang diberitakan beberapa media, film yang diproduseri Ki Kusumo ini ternyata mendapat atensi yang luar biasa dari masyarakat, melebihi film lokal lainnya yang dirilis bersamaan. Sebenarnya tanpa harus ikut menyaksikan harusnya seorang yang beriman sadar, dari judulnya saja sudah menegaskan akan muatan kesyirikan di dalamnya.
“Memanggil setan” di dalam Islam adalah kesyirikan dan membatalkan keimanan (kufur), karena cara-caranya yang tidak lepas dari peribadatan kepada selain Allah Ta’aala. Padahal Allah Ta’aala telah menegaskan di dalam Kitab-Nya:
وَمَن يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa menyeru (menyembah) sesembahan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (QS. Al Mu’minun:117)
Kata “menyeru” pada ayat di atas yang dalam teks Qur’annya “yad’u” berarti juga doa. Dan doa di dalam Islam ada dua pengertian: meminta dan beribadah, dan kedua-duanya apabila dialamatkan kepada selain Allah Ta’aala merupakan kesyirikan. Apakah memanggil jin (setan) atau orang mati dengan keyakinan mereka bisa membantunya dalam urusan yang tidak disanggupi kecuali oleh Allah atau sekedar menjadikan mereka sebagai perantara antara dia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, seperti dalam menurunkan hujan, memberi rezeki, dlsbnya atau memberikan kepada jin-jin atau orang-orang mati tersebut salah satu dari macam-macam bentuk peribadatan, seperti meyembelih untuk selain Allah, sujud kepada selain Allah dlsbnya dari macam-macam ibadah. Dan pada akhir ayat di atas Allah Ta’aala menyebutkan bahwa orang yang “menyeru” selain Allah dengan sebutan orang kafir pada firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Dalam salah satu rilisnya Ki Kusumo mengklaim bahwa cara-cara memanggil setannya asli dan bisa dilakoni siapa saja tanpa harus berpuasa. Kendati demikian, klaim “bisa dilakukan siapa saja tanpa harus puasa” tidak serta merta menjadikannya halal dilakukan, bukan semata-mata karena cara-caranya yang bisa menjadikan seseorang kesurupan, tapi lebih dari sekedar itu seseorang yang melakukannya meski hanya dalam adegan film, bisa menjadi kafir atau batal islamnya, terlebih lagi apabila dipraktekkan di alam sungguhan, sebagaimana yang diterangkan pada ayat di atas.
Terlebih lagi apabila kita perhatikan firman Allah Ta’aala berikut:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ
“Inginkah Aku beritakan kepadamu, tentang orang-orang yang setan-setan itu turun kepadanya? Mereka (setan-setan itu) turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.” (QS. Asy-Syu’aara: 221-223)
Al Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan tentang firman Allah Ta’aala: ((Mereka (setan-setan itu) turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa)). Beliau berkata: yaitu orang-orang yang gemar bicara dusta, membuat-buat kebohongan dan banyak mengerjakan dosa. Merekalah orang-orang yang setan-setan turun kepadanya seperti dukun-dukun (paranormal) dan orang-orang yang semisal dengan mereka dari para pendusta lagi gemar melakukan kefasikan.
Dan seorang yang beriman adalah orang yang berusaha menjauh dari segala macam dosa dan kefasikan, apalagi yang berupa kesyirikan atau kekufuran. Dari ayat 221-223 dari surat Asy-Syu’aara’ di atas kita memahami bahwa tidak sepatutnya seorang muslim “memanggil setan” karena setan-setan itu hanya turun kepada seseorang yang gemar melakukan kemaksiatan dan dosa. Sebagaimana tidak perlu seseorang menyaksikan film ini dengan maksud untuk menambah wawasan tentang alam gaib atau untuk mengetahui bahwa setan itu ada dan bisa dipanggil, seperti yang dikatakan sang produser. Karena di dalam Al Qur’an dan Al Hadits terdapat bukti-bukti yang otentik tentang hal itu. Artinya seseorang bisa mengetahui hal-hal itu tanpa harus menjadi konsumen dari produk kesyirikan. Wallahua’lam.
Jafar Salih