Assalamualaikum wa Rahmatullahi wabarakatuh
Bagaimana kabar anda wahai syaikh?
Saya memiliki sejumlah pertanyaan,
Dalam sebagian atsar Salaf, terdapat keterangan mengenai definisi Irja adalah “agama yang sesuai dengan penguasa” karena dari sini muncul anggapan bahwa semua yang mencocoki para penguasa dianggap sebagai irja tanpa rincian. Kemudian kami mendapati sebagian penafsiran mengenai arti “jamaah” yang wajib dipegang adalah Jamaah kaum Muslimin dan imam mereka. Maka bagimana cara menggabungkan dan memahami antara atsar-atsar ini? Semoga Allah memberi pahala untuk Syaikh..
Syaikh menjawab:
Wa’alaikumus salam warahmatullah wabarakatuh
Mendengar dan taat kepada para penguasa muslimin selama bukan dalam kemaksiatan kepada Allah, berpegang dengan jamaah mereka serta tidak memberontak kepada mereka dan tidak mengganggu kepemipinan mereka adalah termasuk prinsip Salaf, bukan keyakinan Irja. Adapun ucapan yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari An-Nadhr bin Syumail bahwa ketika ia ditanya oleh Al Makmun tentang Irja Nadhr menjawab, “Agama yang mencocoki dengan para penguasa, mereka mengambil bagian dunia mereka dan mengurangi agama mereka.”, konteksnya tentang ketaatan (kepada penguasa) dalam kemaksiatan, atau membiarkan kemungkaran yang mereka lakukan, atau berkompromi dengan mereka untuk mendapatkan dunia yang mana ini semua berakibat kebenaran ditinggalkan karena berbasa-basi di hadapan mereka. Ini adalah cara-cara irja’
Manhaj Salaf dalam bermuamalah dengan para penguasa adalah dengar dan taat kepada Ulil Amri selama bukan bermaksiat kepada Allah. Dalil akan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An-Nisa: 59]
Dalam Shahih Muslim, dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat dalam hal yang dia sukai atau dia tidak sukai kecuali jika diperintah untuk bermaksiat. Jika diperintah untuk bermaksiat, maka tidak boleh dengar dan taat”
Adanya kemungkaran selama pemimpin masih muslim bukan alasan melakukan pemberontakan terhadapnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam shahih Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
من رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر عليه، فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات عليه إلا مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya, maka hendaknya dia bersabar diatasnya. Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari Jama’ah sejengkal lalu mati dalam keadaan seperti itu, maka dia mati jahiliyah”
Adanya pemimpin yang mendahulukan kepentingan dirinya di dunia bukan alasan yang cukup untuk melakukan pemberontakan terhadapnya selama dia masih muslim. Sebagaimana yang ada dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
عليك السمع والطاعة في عسرك ويسرك ومنشطك ومكرهك وأثرة عليك
“Wajib atasmu untuk mendengar dan taat dalam masa susah dan mudahmu, baik sedang bersemangat atau tidak bersemangat, dan ketika mereka mengutamakan diri mereka”
Dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah memanggil kami. Kemudian diantara hal yang harus kami pegang ketika membaiat beliau, agar kami mendengar dan taat suka atau tidak, dalam kondisi susah maupun lapang, dan saat mereka mengutamakan diri-diri mereka sendiri dan tidak merebut kekuasaan dari yang memilikinya kecuali jika kami melihat adanya kekafiran jelas yang kalian memiliki bukti dari Allah tentang kekafiran tersebut.”
Prinsip ini semua wajib dilaksanakan sambil tetap menasehati penguasa jika dia melakukan kemungkaran atau terjatuh ke dalamnya. Sebagaimana yang ada di Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Tamim bin Aus Ad-Dari bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Agama adalah Nasehat.” Kami (shahabat) berkata: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Untuk Allah, rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin secara umum.”
Dan hendaknya nasihat itu disampaikan secara rahasia bukan terang-terangan sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abi Wail ia berkata ditanyakan kepada Usamah bin Zaid, “Andai kamu mendatangi fulan dan menasihatinya.” Usamah menjawab, “Kalian menyangka bahwa aku tidak menasihatinya, hanya saja aku tidak menceritakan kepada kalian bahwa aku menasihatinya dengan sembunyi-sembunyi tanpa membeberkannya. Aku tidak akan menjadi orang yang pertama kali membukanya.”
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al-Musnad dan ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah dan dihasankan Al-Albani dalam Zhilalul Jannah dari ‘Iyadh bin Ghanam Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa maka janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Tetapi ambillah tangannya dan berdualah dengannya. Jika ia menerima, maka itulah yang diinginkan namun jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.”
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa, beliau menjawab, “Kalau kamu hendak melakukannya, maka harus antara dirimu dengannya saja.” [Jami’ul Ulum wal Hikam 1/82]
Ini semua bukan berarti pengingkaran terhadap kemungkaran ditinggalkan jika telah tersebar. Tidak mengapa mengingkarinya terang-terangan walaupun di atas mimbar. Tapi hendaknya dia tidak berbicara tentang para penguasa, negara, dan pemerintahan karena hal tersebut dapat memicu pemberontakan dan penggulingan masyarakat terhadap penguasa. Dan ini merupakan hal yang sangat berbahaya. Terkadang tampak dimata sebagian orang shalih dan orang-orang yang menginginkan kebaikan bahwa jika hal tersebut dilakukan, maka akan menghasilkan tekanan kepada pemerintah untuk beristiqamah diatas agama Allah, tapi kenyataannnya tidak seperti itu. Manhaj yang selamat adalah hendaknya para penguasa dinasehati dengan berbicara langsung dengan mereka bila mungkin atau menulis surat kepada mereka. Jika mereka mendapat hidayah, maka itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka memanasi orang-orang untuk melawan pemerintah bukanlah termasuk manhaj salaf karena hal tersebut justru menimbulkan keburukan dan kerusakan yang lebih besar dari pada keburukan sebelumnya. Hal tersebut juga mengakibatkan perpecahan, pertengkaran, dan hilangnya keamanan serta terkoyaknya kehormatan dan datangnya berkuasanya musuh.
Maka inilah manhaj yang dijalani oleh Salaf. Kami mempelajarinya dari masyayikh kami, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Al Utsaimin, Syaikh Sholih Al-Fauzan, dan ulama lainnya. Ini bukanlah Irja’, inilah agama (yang benar).
Adapun jalan irja’ yang sudah disebut diawal adalah memerintahkan untuk mentaati para penguasa secara mutlak atau mengindahkan kemaksiatan, kezhaliman, dan kemungkaran mereka atau berbasa-basi dengan mereka karena dunia atau memuji penguasa tanpa ada tujuan berupa mashlahat yang syar’i yang dominan seperti memuji untuk mendapat dunia, atau memuji para penguasa yang zhalim dan keji serta menganggap mereka layaknya Khulafa’ Rasyidin yang adil serta cara-cara irja lainnya.
Semua cara-cara ini menyelisihi Mazhab Salaf yang kami pelajari dari masyaikh dan ulama kami. Ibnu Taimiyah berkata mengenai hal ini: “Banyak dari pengikut Bani Umayyah (atau bahkan mayoritasnya) bahwa imam itu tidak ada hisab dan adzab untuknya dan bahwa Allah tidak akan mengazab mereka atas ketaatan mereka kepada imam mereka. Bahkan wajib mentaati mereka dalam segala hal dan (mereka menganggap) Allah memerintahkan mereka seperti itu. Perkataan mereka dalam hal ini terkenal dan banyak. Yazid bin Abdul Malik ingin menjalankan pemerintahan layaknya Umar bin Abdul Aziz lalu datanglah sekelompok orang-orang tua dari kalangan mereka bersumpah dengan nama Allah yang tiada sesembahan selainnya bahwa jika Allah sudah memberi kekuasaan kepada seorang imam atas manusia, maka Allah sudah menerima segala kebaikannya dan mengampuni segala dosanya. Karena itu kamu akan mendapati dalam ucapan-ucapan banyak pembesar mereka ada perintah untuk taat kepada penguasa secara mutlak dan barangsiapa yang mentaatinya maka ia telah mentaati Allah. Karena itu mereka dijadikan perumpamaan yang disebut dengan “ketaatan Syamiyah” (ketaatan penduduk Syam)” [Minhajus Sunnah 6/430]
Wallahu a’lam
Semoga Allah memberi taufik dan mejagamu
Pertanyaan diajukan dan dijawab oleh Syaikh Shalih bin Muhammad AS-Suwayyih pada tanggal 11 Januari 2025
السؤال : السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
كيف حالكم شيخنا،
عندي بعض الإشكالية
ورد في بعض الأثار قوله في تعريف الإرجاء بأنه “دين يوافق الملوك” حيث إنه ينتج من هذا زعم أن كل موافقة للحكام يعتبر إرجاءا هكذا من غير تفصيل.
ثم إنه وجدنا بعض تفاسير عن الجماعة التي يجب علينا اللزوم معها بأنها جماعة المسلمين مع إمامهم. فكيف التوفيق بين هذه الأثار وكيف فهمها، أثابكم الله.
الجواب : وعليكم السلام ورحمة’الله وبركاته.
السمع والطاعة لولاة امر المسلمين في غير معصية الله ولزوم جماعتهم وترك الخروج عليهم ومنازعتهم في امرهم من أصول اعتقاد السلف وليس من الارجاء.
واما ما رواه ابن عساكر عن المأمون النضر بن شميل انه سئل عن الإرجاء فقال: ((دين يوافق الملوك، يصيبون به من دنياهم، وينقص من دينهم)).
فهذا في الطاعة بالمعصية او تبريك المنكر الذي يفعلونه، او المداهنة لهم لطلب دنياهم بما يفضي إلى ترك الحق مجاملة لهم، فهذا مسلك ارجائي.
فالمنهج السلفي في معاملة ولاة الأمور هو السمع والطاعة لولاة الأمر في غير معصية الله، دل على ذلك قوله تعالى : { يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم}[النساء : 59].
وفي صحيح مسلم عن ابن مسعود رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة)).
وأن وجود المنكر مع بقاء إسلامه لا يوجب الخروج عليه كما في البخاري ومسلم عن ابن عباس رضي الله عنهما ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ((من رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر عليه، فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات عليه إلا مات ميتة جاهلية)) .
وان وجود الأثرة في الدنيا لا يوجب الخروج عليه مع بقاء إسلامه، كما في صحيح مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (( عليك السمع والطاعة في عسرك ويسرك ومنشطك ومكرهك وأثرة عليك )).
وفي البخاري ومسلم عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال: دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على : ((السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان)).
مع النصح له فيما يوجب ذلك إذا وقع في منكر او فعله كما في البخاري ومسلم عن تميم بن أوس الداري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (( الدين النصيحة ثلاثا قلنا لمن يا رسول الله قال لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم )).
وان تكون النصيحة سرا غير علانية كما في البخاري ومسلم عن أبي وائل قال : قيل لأسامة بن زيد : لو أتيت فلانا فكلمته قال: ((إنكم لترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم إني أكلمه في السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه))
وأخرج أحمد في المسند، وابن أبي عاصم في السنة وحسنه الألباني في ظلال الجنة عن عياض بن غنم الأشعري رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (( من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية، ولكن يأخذ بيده فيخلو به، فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه)).
وعن بن عباس – رضي الله عنهما – أنه سئل عن أمر السلطان بالمعروف ونهيه عن المنكر . فقال : “إن كنت فاعلاً ولابد ففيما بينك وبينه”ا.هـ[جامع العلوم والحكم (1/82)].
ولا يلزم من ذلك ترك انكار المنكرات إذا شاعت فلا مانع من إنكارها علانية، ولو على المنابر، لكن لا يتكلم بالحكام والدولة والحكومة لان فعل ذلك يوجب أن يثور الناس على ولاة الأمور وأن ينبذوهم؛ وهذا خطر عظيم، وقد يتراءى لبعض المصلحين او الصالحين أنه إذا فعل ذلك كان فيه ضغط على الولاة بأن يستقيموا على دين الله، ولكن الأمر ليس كذلك، لكن المنهج السليم أن يُناصح ولاة الأمور بمشافهتهم إن أمكن، بالكتابة إليهم، أو مشافهمتهم، فإن اهتدوا فهذا المطلوب، وإلا فليس من منهج السلف أن نثير الناس على الحكام؛ لأنه ينتج من الشر والفساد اعظم مما هو حاصل، ويحصل بذلك التفرق والنزاع وانعدام الامن وهدر الحرمات وتسلط الاعداء.
فهذا المنهج الذي عليه السلف، وتعلمناه من مشايخنا، كالشيخ عبدالعزيز بن باز والشيخ محمد العثمين والشيخ صالح االفوزان وغيرهم.
فهذا ليس ارجاء، هذا هو الدين.
أما المسلك الإرجائي الذي تقدم الإشارة عليه، وهو الامر بطاعة الحكام مطلقاً، أو تبربر معاصيهم وظلمهم ومنكراتهم، أو مداهنتهم لأجل الدنيا، او مدح الحاكم لغير مصلحة شرعية غالبة، كمن يمدح للدنيا، او يمدح الظلمة والفجرة من الحكام ويجعلهم كالخلفاء الراشدين العدول.
وغير ذلك من المسالك الإرجائية، كل ذلك خلاف مذهب السلف، الذي تعلمناه من مشايخنا وعلمائنا، وفيه يقول شيخ الإسلام بن تيمية رحمه الله: “كثير من أتباع بني أميّة -أوْ أكْثرهمْ- كانوا يعتقدون أنّ الإمام لاحساب عليه ولا عذاب، وأنّ الله لا يؤاخذهم على ما يطيعون فيه الإمام، بل تجب عليهم طاعة الإمام في كلّ شيء، والله أمرهم بذلك. وكلامهم في ذلك معروف كثير وقد أراد يزيد بن عبدالملك أن يسير بسيرة عمربن عبدالعزيز، فجاء إليْه جماعة من شيوخهم، فحلفوا له بالله الذي لاإله إلاهو، أنه إذا ولى الله على الناس إماما تقبل الله منه الحسنات وتجاوز عنه السيئات، ولهذا تجد في كلام كثير من كبارهم الأمر بطاعة ولي الأمر مطلقا ولهذا تجد في كلام الكثير من كبارهم الأمر بطاعة ولي الأمر مطلقا وأن من أطاعه فقد أطاع الله. ولهذا كان يضرب بهم المثل، يقال: “طاعة شاميّة””ا.ه[منهاج السنة (٦/٤٣٠)].
والله اعلم. وفقكم الله وحفظكم