Cukup Satu Kekafiran!

Sebagian orang menyangka bahwa muslim tidak menjadi kafir karena melakukan satu pembatal selagi masih mengucapkan syahadatain dan mengerjakan amalan-amalan dhahirah lainnya. Mereka meyakini bahwa orang kafir hanyalah orang yang terkumpul padanya sekian banyak unsur kekafiran seperti mendustakan Allah dan Rasul-Nya, menolak Al Qur’an, tidak percaya kepada hari kebangkitan dan kewajiban-kewajiban dhahirah lainnya sebagaimana kondisi musyrikin pertama.

Sehingga apabila ada seorang muslim jatuh kepada satu pembatal keislaman seperti beribadah kepada kuburan, kemudian orang yang batal Islamnya ini diyakini telah keluar dari Islam dan kondisinya menyerupai musyrikin pertama, sebagian orang tadi buru-buru memberikan pembelaan dengan mengatakan; “Dia orang Islam, dia saudara kita. Dia masih percaya kepada Allah, rasul-Nya dan membaca Al Qur’an…dan seterusnya dari ucapan-ucapan yang hanya bersandar kepada perasaan. Seolah-olah orang kafir dimatanya hanyalah orang yang terkumpul padanya semua pembatal, adapun jika hanya satu pembatal menurutnya belum  cukup!

Pembaca terhormat, ketahuilah bahwa apa yang diucapkan pembela musyrikin ini pada dasarnya merupakan syubhat para penyembah kubur yang mengaku sebagai muslim. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah telah membantah syubhat ini dengan tuntas dalam Kasyf Syubuhat. Namun yang ajaib, di zaman ini syubhat tersebut justru diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai pembela tauhid, ikut memerangi kesyirikan dan turut mengajarkan kitab-kitab para imam dakwah. Bahkan disamping itu mereka juga mengajarkan kitab Kasyf Syubuhat. Pertanyaannya, kenapa setelah itu yang bersarang di kepala mereka hanya syubhat tanpa bantahannya, sehingga syubhat mereka jadikan tameng yang membela saudara mereka orang-orang musyrikin.

Dalam Kasyf Syubuhat Syaikh Muhammad telah menyebutkan bahwa syubhat ini diantara syubhat terbesar mereka. Beliau telah menyanggahnya dengan mengemukakan dalil-dalil Al Qur’an dan bukti sejarah yang menerangkan bahwa muslim menjadi kafir dengan hanya melakukan satu kekafiran meskipun disamping itu dia masih berpegang dengan nilai-nilai keimanan lainnya dan mengerjakan berbagai amalan lahir lainnya.

Beliau berkata menyanggah syubhat ini:

“Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama seluruhnya (ijma’) bahwa kapan seseorang membenarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada satu ajarannya kemudian mendustakan ajarannya yang lain bahwa orang itu kafir dan belum masuk ke dalam Islam. Begitu pula apabila dia beriman dengan sebagian Al Qur’an dan mengingkari sebagian lainnya. Seperti orang yang menerima tauhid, namun mengingkari wajibnya shalat. Atau menerima tauhid dan shalat, namun mengingkari wajibnya zakat. Atau menerima ini semua, namun mengingkari haji (bahwa orang ini kafir berdasarkan ijma’ -red).

Kemudian beliau berdalil dengan firman Allah dalam Al Qur’an pada ayat ke 150 dan 151 dari surat An-Nisaa’

إن الذين يكفرون بالله ورسله ويريدون أن يفرقوا بين الله ورسله ويقولون نؤمن ببعض ونكفر ببعض ويريدون أن يتخذوا بين ذلك سبيلا أولئك هم الكافرون حقا وأعتدنا للكافرين عذابا مهينا

“Sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan mereka ingin membedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya dan mereka berkata: Kami beriman kepada sebagian dan kufur kepada sebagian. Dan mereka ingin mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian. Merekalah orang-orang kafir yang sesungguhnya. Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.” (Qs. An-Nisaa’: 150-151)

Disini beliau menegaskan: “Apabila Allah telah secara terang menjelaskan dalam kitab-Nya bahwa orang yang beriman kepada sebagian dan kufur kepada sebagian lainnya bahwa dia adalah orang kafir yang sesungguhnya, runtuhlah syubhat ini.”

Selain itu penulis juga mengajak kita sedikit menggunakan akal sehat, katanya:

“Maka apabila orang yang mengingkari wajibnya shalat kafir, halal darah dan hartanya berdasarkan ijma’ meskipun disamping itu dia masih beriman kepada syariat seluruhnya. Begitu pula orang yang mengingkari hari kebangkitan atau wajibnya puasa Ramadhan bahwa mereka sama hukumnya (kafir) walaupun disamping itu mereka masih beriman kepada syariat seluruhnya.

Kenapa kalau yang diingkari adalah perkara-perkara tersebut seseorang menjadi kafir, kemudian kalau tauhid yang diingkari tidak menjadi kafir?! Padahal tauhid merupakan syariat yang paling agung melebihi keagungan shalat, puasa, zakat dan haji?!

[Syarah Kasyf Syubuhat hal 104-110. Cet. Ke 3 Dar Ats-Tsurayya Lin-Nasyr]

Iya, cukup dengan argument diatas syubhat ini sudah runtuh dari akarnya. Sebagaimana runtuhnya pula ambigu (kebingungan) sebagian orang yang tegas terhadap pengingkaran perkara dhahirah; shalat, puasa, zakat dstnya, namun linglung saat dia melihat dihadapannya seseorang mengingkari tauhid; beribadah kepada selain Allah seperti sujud kepada kubur atau menyembelih untuknya dan lain sebagainya dari kekafiran-kekafiran yang nyata dan terang.

Wallahua’lam

Jafar Salih

Tajurhalang, 25 Juni 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *