MENINGGALKAN SHALAT DI MASJID DENGAN ALASAN MAYORITAS PENDUDUK NEGERI BERADA DI ATAS KEKUFURAN

Pertanyaan: Wahai Syaikh, sebagian Ikhwan ada yang berpandangan untuk tidak mengerjakan shalat berjamaah di masjid secara mutlak dan menggantinya dengan shalat berjamaah di rumah. Bukan karena imam masjidnya kafir, tapi sebagai sikap kehati-hatian saja. Ia beralasan karena akidah mayoritas penduduk negeri kekufuran.

Jawab: Mereka -sangat disayangkan- telah menjadi permainan setan. Apa yang mereka lakukan persis perbuatan Khawarij. Pandangan mereka bahwa yang dominan pada penduduk negeri adalah kesyirikan, ini adalah klaim. Kami katakan bahwa kesyirikan telah tersebar. Tapi apakah kesyirikan yang dominan? Yang dikatakan dominan adalah yang persentasenya lebih tinggi dan sebaliknya disebut sedikit. Lawannya yang merupakan islam itulah yang sedikit. Sedangkan yang sedikit tidak jadi objek penilaian. Berdasarkan kaidah ini iya, suatu negeri penduduknya dinilai dengan penilaian global dan person per personnya bahwa mereka diatas kekufuran. Tapi kaidah ini tidak terpenuhi di negeri kalian. Yang benar adalah menilai masing-masing sesuai keadaannya. Karena ini negeri yang terjadi percampuran, tidak bisa dikatakan bahwa mayoritasnya, yang mendominasinya adalah kekufuran dan syirik, tidak. Ini kekeliruan. Barangsiapa mengatakan demikian kondisinya bisa jadi dia jahil maka diajari, atau dia telah terjatuh ke dalam mazhab Khawarij -wal Iyadzu billah. Karena kondisinya tidak seperti yang mereka tuduhkan. Maka boleh shalat di belakang almastur (yang tidak diketahui kesalehannya) ini mazhab salaf. Dan tidak perlu mengulang shalat, barangsiapa mengulangnya maka dia telah membuat-buat kebid’ahan. Barangsiapa shalat di belakang mastur kemudian mengulanginya (sendiri) maka dia telah membuat-buat kebid’ahan, hal ini telah ditegaskan oleh para imam salaf, sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah.

Shalat wajib yang lima waktu, utamanya dilakukan dibelakang imam Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka ada dan ada masjid milik Ahlussunnah silahkan shalat dibelakang mereka. Jika tidak didapati shalat di belakang mastur tanpa harus mengulangi. Ini terkait dengan shalat wajib yang lima waktu.

Adapun shalat Jum’at dan 2 hari raya. Shalat-shalat ini dilakukan walaupun tidak didapati selain imam yang diketahui kafir. Lakukan shalat dibelakangnya dan tinggal ulangi. Inilah yang dahulu dilakukan oleh Al Imam Ahmad di zaman fitnah. Mereka shalat dibelakang Jahmiyah dan mengulanginya, tidak meninggalkan shalat Jum’at. Karena shalat Jum’at syiar ummat Islam. Sekalipun shalat di belakang Jahmi, musyrik, quburi dan para pelaku bid’ah kufur adalah batil dan tidak sah tanpa keraguan. Tapi apabila ia melakukan shalat di belakang mereka, tinggal diulangi dengan mengerjakan shalat dhuhur sebanyak 4 rakaat di rumah. Tapi jangan meninggalkan shalat Jum’at yang merupakan syi’ar ummat Islam dan berkumpul dengan mereka. Ini terkait shalat Jum’at.

Kesimpulannya, klaim yang ia katakan tidak terpenuhi di negeri ini, bahwa negeri ini dominannya adalah kekufuran dan kesyirikan, tidak. Kita katakan; ini negeri yang campur aduk, masing-masing dinilai sesuai kondisinya. Apabila diketahui kekufuran imam, maka tidak boleh shalat di belakangnya shalat 5 waktu. Dan dia bisa mencari masjid lain. Jika tidak di dapati masjid lain, apabila dia punya alat transportasi dan masjid tidak jauh sekali dan disitu ada mastur atau Ahlussunnah dia bisa pergi kesana. Tapi misalnya tidak ada sama sekali, dalam kondisi seperti ini baru dikatakan shalat di rumah. Yaitu apabila tidak didapati sama sekali, tidak imam Ahlussunnah atau mastur baru boleh dia lakukan itu (shalat di rumah). Adapun mengatakan saya shalat di rumah karena negeri ini mayoritas yang dominan adalah kekufuran maka kami kafirkan semua personnya, ini tidak boleh. Tapi boleh baginya mengatakan aku shalat di rumah karena aku tidak dapati satu pun masjid imamnya muslim mastur hal (kesalehannya tidak diketahui -pentj) atau satu pun imam Ahlussunnah. Inilah uraian dalam persoalan ini. Wallahua’lam.

Pertanyaan dijawab Syaikh Abdul Latif Ar-Rawi hafizahullah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *