Benarkah barangsiapa mengkafirkan seorang muslim maka dia kafir?
Adapun ucapan: “Barangsiapa mengkafirkan seorang muslim maka dia kafir.”
Jawabannya: Tidak seorang pun melainkan mengaku muslim, dan setiap ucapan memiliki hakikatnya sendiri-sendiri. Dan guru kami rahimahullah telah menerangkan pengertian pokok ajaran Islam yang menyeluruh. Beliau berkata:
Pokok dan kaidah ajaran Islam ada dua:Beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya dan mengobarkan semangat kepadanya. Memberikan loyalitas (wala’) kepadanya dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya.Kedua; berhati-hati dari kesyirikan dalam beribadah kepada Allah dan bersikap tegas diatasnya dan membangun permusuhan padanya serta mengkafirkan orang yang melakukannya.
Dan orang-orang yang menyelisihi prinsip ini bermacam-macam. Yang paling berbahaya adalah orang yang menyelisihi (prinsip ini) seluruhnya. Dan diantara mereka ada yang beribadah kepada Allah semata (tapi) tidak mengingkari kesyirikan. Dan diantara mereka ada yang melakukan kesyirikan dan tidak mengingkari tauhid.Dan diantara mereka ada yang mengingkari kesyirikan tapi tidak memusuhi pelakunya. Dan diantara mereka ada yang memusuhi pelaku kesyirikan tapi tidak mengkafirkan mereka.Dan diantara mereka ada yang tidak mencintai tauhid dan tidak membencinya. Dan diantara mereka ada yang mengingkari kesyirikan tapi tidak memusuhi pelakunya. Dan diantara mereka ada yang memusuhi mereka tapi tidak mengkafirkan mereka.Dan diantara mereka ada yang mengkafirkan mereka tapi menganggapnya sebagai celaan kepada orang-orang shalih.
Dan diantara mereka ada yang tidak membenci kesyirikan dan tidak juga mencintainya. Dan diantara mereka ada yang tidak mengenal kesyirikan dan tidak mengingkarinya. Dan yang paling berbahaya diantara mereka adalah yang mengamalkan tauhid tapi tidak mengerti kadarnya sehingga dia tidak membenci orang-orang yang meninggalkannya, dan tidak mengkafirkan mereka. Dan diantara mereka ada yang telah meninggalkan kesyirikan dan membencinya serta mengingkarinya tapi tidak mengenal kadarnya sehingga tidak memusuhi pelakunya dan tidak mengkafirkan mereka. Dan semua mereka telah menyelisihi ajaran yang dibawa oleh para nabi dari berupa agama Allah. Selesai perkataan beliau rahimahullah.
Maka kita katakan kepadanya; Perhatikanlah dirimu! Apakah kamu termasuk ke dalam jenis-jenis manusia ini?! Apabila kamu termasuk di dalamnya maka kamu tidak selamat sampai kamu sah sebagai muslim. Dan kita katakan juga: Siapa yang telah mengkafirkanmu? Dan mencapmu telah kafir? Apabila yang melakukannya seseorang yang dikenal, maka periksalah: Apakah hukumnya sesuai dengan realita atau tidak. Apabila sesuai maka tidak ada cela pada orang yang menilai dengan dalil. Tapi apabila tidak sesuai, kami sampaikan jawaban kedua atas ucapanmu; “Barangsiapa mengkafirkan seorang muslim maka dia kafir.”
Pastikan dulu kebenaran ucapanmu ini kepada orang yang ucapannya adalah hujjah. Kami akan terima apabila ada sumbernya di dalam manuskript Islam yang disusun oleh para hafidz ahli hadits. Apabila kamu tidak mendapati sumber bagi redaksimu ini, kenapa kamu begitu yakin menyampaikannya? Ucapan apa pun yang tidak memiliki sumber yang jelas tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Benar telah ada di dalam Ash-Shahih dari Abu Dzar “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kata kafir” atau “musuh Allah, sedangkan dia tidak demikian, kecuali ucapan itu akan kembali kepadanya.” Perhatikan ucapan “sedangkan dia tidak demikian” dan maksud dari ucapan “haara ‘alaihi” yaitu: kembali kepadanya. Allah Ta’aala berfirman: “Sesungguhnya dia yakin bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Rabbnya).” (QS. 84: 14)
Para ulama mengatakan: hadits ini adalah ancaman keras apabila kondisi musuhnya tidak demikian. Sedangkan pembahasan disini adalah atas perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan yang membatalkan keislaman. Karena Islam memiliki pembatal-pembatal seperti yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab fikih empat mazhab dan selainnya. Maka barangsapa terjatuh ke dalam salah satu darinya maka dinilai murtad, kecuali apabila dia bertaubat dan kembali kepada kebenaran. Apabila dia bertaubat dengan taubat nashuha yaitu taubat yang terpenuhi syarat-syaratnya, sesungguhnya Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat apabila benar taubatnya. Dan tampak ucapan-ucapan yang baik dan perbuatan-perbuatan serta keadaan yang menjadi petunjuk akan hal itu, sebagaimana yang Allah firmankan; “Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mrngerjakan) agama mereka karena Allah.” Apabila terdapat padanya empat sifat ini lahir dan batin, “Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. 4:146)
Ayat ini menunjukkan bahwa dia tidak didahulukan atas seorang pun dari ummat Islam dan tidak memegang kendali apapun atas amalan mereka walau pun sah taubatnya dengan memenuhi syarat-syarat yang terdapat pada ayat.
Adapun orang yang tidak diketahui telah bertaubat dengan taubat yang benar, yang wajib adalah diperlakukan seperti orang-orang yang semisal dengannya dari para munafikin; berpaling darinya, berjihad melawannya atas perbuatan yang dia telah lakukan. Karena Allah telah memisahkan hamba-hamba Nya dengan ujian, sebagaimana yang Allah firmankan: “Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. 29:3)
Dan Allah juga berfirman; “Apakah kamu akan mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyatan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 9:16)
Dan Dia juga berfirman; “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. 22:11)
Manusia dari golongan ini harus diperlakukan sebagaimana perlakuan Allah atas mereka, sebagaimana firman-Nya; “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)” (QS. 68:35)
Maka apabila mereka telah mengerjakan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, ucapan atau perbuatan, atau melakukan kebid’ahan dan tidak bertaubat darinya dengan taubat yang benar maka wajib atas setiap muslim membencinya atas perbuatannya tersebut, sebagaimana yang terdapat di dalam hadits, “Tali keimanan yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” Barangsiapa tidak mencintai ahli tauhid dan iman dan membenci ahlul bid’ah dan kesesatan, berarti telah membatalkan tali Islam yang paling kuat.
Dan telah datang hadits-hadits dan atsar yang memperingatkan dari ahlulbid’ah, dan ajakan untuk memboikot mereka serta menjauh dari mereka. Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Laalika’i di dalam kitab As-Sunnah dari Fudhail bin Iyadh; “Barangsiapa datang kepadanya seseorang dan menunjuki kepada seorang mubtadi, dia telah memalsukan Islam. Berhati-hatilah dari menemui pelaku bid’ah, karena mereka menghalangi orang dari kebenaran.” Beliau juga berkata: “Jangan duduk-duduk bersama ahli bid’ah karena aku khawatir turun kepada kalian laknat”, “Barangsiapa mencintai pelaku bid’ah gugur amalannya dan cahaya Islam keluar dari hatinya”, “Pelaku bid’ah jangan titipkan agama kalian kepadanya, jangan bermusyawarah dengannya dalam urusanmu dan jangan duduk dihadapannya, barangsiapa duduk dihadapan pelaku bid’ah Allah jadikan dia buta.” Dan Al Laa lika’i meriwayatkan dari ‘Atha Al Khurasani: Hampir Allah tidak menerima taubat pelaku bid’ah.” Dan ucapan-ucapan yang seperti ini ada banyak sekali dari salaful ummat. Apabila kita sebutkan satu persatu akan menjadi panjanglah jawaban ini.
Apabila telah diketahui hal ini, jika dianggap ada seseorang dari muslimin mencap orang lain yang jatuh kepada perkara-perkara yang dinilai oleh ulama bahwa itu adalah kekufuran dengan dasar Al Kitab dan As-Sunnah, dia mencapnya karena kecemburuan kepada agama Allah dan karena benci terhadap yang Allah benci dari perbuatan tersebut, maka tidak boleh bagi siapa pun berbicara tentangnya dengan ucapan “Barangsiapa mengkafirkan seorang muslim maka dia kafir”. Ditambah lagi kami tidak mengetahui ada seseorang dari muslimin mengkafirkan seseorang secara personal kecuali menceritakan perbuatan-perbuatan mereka lalu orang yang mendengarnya mengira bahwa orang itu telah mengkafirkan mereka.
Adapun hadits yang telah kami sebutkan, para ulama telah menjelaskan maksud darinya dengan penjelasan yang dikenal, sebagaimana yang semisal dengannya dari hadits-hadits yang sama, seperti hadits “Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran” pemahaman hadits ini terikat dengan ucapan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam “Sedangkan dia tidak demikian”. Dan tidak luput apa yang terjadi pada para shahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Dan seperti ucapannya kepada Malik bin Ad-Dakhsyam: Sesungguhnya dia munafik! Tidak mencintai Allah dan rasul-Nya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mencela mereka, melainkan mengatakan: “Bukankah dia mengucapkan Laa ilaaha Illallah.” Lalu shahabat berkata: Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui, sesungguhnya kami melihat wajahnya dan nasihatnya untuk kepentingan orang-orang munafik. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang-orang yang mengucapkan Laa ilaaha Illallah, dengannya dia mencari wajah Allah.” Sebagian ulama berkata: Orang itu dahulu termasuk ahli badr.
Dan diketahui juga bahwa Khawarij telah mencela waliyul amr, mengkafirkan Ali dan para shahabat yang berperang membelanya serta selain mereka. Dan telah benar riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam perintah memerangi Khawarij dan kabar gembira untuk orang-orang yang memerangi mereka sebagaimana ha ini dikenal dan benar di dalam Shahihain, kitab-kitab sunnah dan musnad. Dan ketika ditanyakan kepada Ali, “Apakah mereka kafir? Beliau menjawab: Mereka lari dari kekafiran. Apabila kita sebutkan hadits-hadits yang datang berkenaan kaum Khawarij akan menjadi panjang jawaban ini.
Adapun ucapan ulama tentang hadits yang telah disebutkan, An-Nawawi berkata dalam Shahih Muslim ; “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekufuran atau dia berkata: Wahai musuh Allah, sedangkan dia tidak demikian kecuali akan kembali kepadanya” ini diantara hadits-hadits yang dinilai oleh ulama termasuk yang sulit, karena mazhab ahlul haq adalah tidak mengkafirkan seorang muslim dengans sebab maksiat seperti membunuh dan zina. Dan dalam memahami hadits ini ada beberapa sisi: yang pertama, bahwa hadits ini maksudnya adalah orang yang menghalalkan. Kedua, maksudnya yang kembali kepadanya adalah maksiatnya. Ketiga, bahwa hadits ini tentang kaum Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang beriman, dan yang terakhir ini lemah. Karena yang benar dan yang menjadi pilihan yang dipegang oleh mayoritas ahli tahqiq: Bahwa Khawarij tidak kafir. Keempat, bahwa perbuatan ini menyeret kepada kekafiran, karena kemaksiatan pendahuluan dari kekafiran. Selesai dengan ringkasan.
Maka perhatikanlah apa yang dihikayatkan oleh Nawawi rahimahullah, bahwa yang benar yang dipegang oleh mayoritas ahli tahqiq bahwa Khawarij tidak menjadi kafir disebabkan karena kebid’ahan mereka. Dan cukup bagimu imam ini. Dan barangsiapa memperhatikan keadaan para shahabat Radhiyallahu ‘Anhum dia akan tahu salah dan benar. Tapi diantara penghalang terbesar adalah kosongnya ilmu dan rusaknya niat dan kedua hal ini merupakan penghalang bagi banyak orang, ditambah lagi rusaknya agama. Kita mohon kepada Allah keselamatan di dunia dan akhirat. Maka apa yang menjadikan orang ini menipu dan melakukan pemalsuan (agama di hadapan) orang-orang jahil dan menjadikan mereka ragu terhadap agama mereka?!
Durarus Sanniyah (8/264-270)