Ulama Rabbani Pelita Ummat
(pedoman dalam berinteraksi dengan ulama)
Anugrah Allah Swt kepada ummat
Diantara nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepada ummat ini adalah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (kepada mereka). Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (Qs. Aali ‘Imraan 3: 164)
Maka diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah diantara nikmat yang terbesar bagi ummat ini.
Dan dari kesempurnaan nikmat tersebut, Allah Ta’ala jadikan para ulama mewarisi ilmu-ilmu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sehingga merekalah sang pewaris Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berperan dalam menyampaikan (risalah) kepada ummat, mengajarkan, mengarahkan, dan menjelaskan kepada mereka batasan-batasan yang halal dari yang haram.
Apabila ulama adalah pewaris ilmu para nabi, mereka pun mewarisi kemuliaan yang selayaknya, dan kedudukan dalam syariat, sehingga sudah menjadi kewajiban bagi ummat untuk mentaati mereka dalam hal ketaatan kepada Allah, dan bersikap loyal, menghormati, tunduk, dan mengambil ilmu dari mereka. Seperti inilah dahulu para salaful ummat (generasi pertama ummat ini).
Dahulu ulama adalah pemimpin mereka, pengasuh majlis-majlis, rujukan ummat dalam segala hal, dan sandaran dalam masalah-masalah yang besar. Manusia seluruhnya mengakui kedudukan dan kehormatan ulamanya.
Kondisi ummat di akhir zaman
Kemudian datanglah generasi yang sedikit ilmunya dan sedikit pula ulamanya. Dan sangat jarang terdapat pada mereka imam-imam yang besar. Dan sedikit dari manusia yang mengakui kedudukan sisa-sisa kaum salaf (ulama). Mereka tidak mendudukkan ulama pada tempat yang semestinya, akan tetapi bersikap dengan sikap berbeda-beda:
1- Sekelompok orang melihat ulama seperti halnya manusia biasa. Ulama dimata mereka tidak memiliki kedudukan dalam syariat, sehingga mereka tidak menghormati ulama. Kelompok ini memiliki kesamaan dengan kaum Khawarij yang tidak mengakui hak para pemimpin ulama dari kalangan shahabat Radhiyallahu ‘Anhu. Hal ini berakibat kepada kerugian mereka, mereka sesat dan menyesatkan. Mereka memecah belah agamanya menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok merasa bangga dengan kelompoknya.
2- Kelompok yang lain memuliakan ulama, akan tetapi mereka mengangkat para ulama diatas kedudukan yang semestinya diberikan kepada mereka. Kelompok ini bersikap taklid buta kepada ulama dalam perkara agama mereka. Dalil bukan ukuran mereka, yang menjadi ukuran adalah perkataan Syaikh (guru/ustadz). Dari sini mereka memiliki kesamaan dengan Rafidhah yang menganggap imam-imam mereka ma’shum, dan memberikan kepada imam-imam mereka kedudukan yang tidak dapat dicapai walau oleh nabi yang diutus, dan tidak pula oleh malaikat yang dekat kedudukannya dengan Allah Ta’ala. Mereka pun terpecah menjadi beberapa golongan sesuai jumlah syaikh yang ada. Setiap kelompok bersikap fanatik dengan pendapat syaikh-nya dan mencampakkan perkataan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
3- Kelompok yang mengakui kedudukan ulama, akan tetapi mereka tidak menyikapi para ulama tersebut sebagaimana layaknya manusia yang bisa salah dan memiliki hawa nafsu, bahkan kebalikannya. Kapan kelompok ini mendapati kesalahan pada seorang ulama mereka langsung membesar-besarkan kesalahan tersebut dan menyebarluaskannya dikalangan manusia.
Pada kelompok ini terdapat dua hal yang saling bertolak belakang: Mengagungkan ulama dengan menempatkan mereka pada posisi orang yang tidak mungkin melakukan kesalahan dan menginjak kehormatan ulama dengan membicarakan mereka apabila mereka keliru, menyebarkan kesalahan mereka dan melukai mereka.
Hal ini mereka lakukan apabila kesalahan tersebut tidak disengaja, adapun apabila kesalahan tersebut disengaja maka keadaannya tentu lebih buruk lagi.
Maka wajib menghormati para ulama tanpa ifrath dan tafrith, tanpa berlebih-lebihanserta mendudukkan mereka pada posisi yang selayaknya.
Bagaimana Seseorang Mengenali Ulama?
1. Ulama adalah: orang-orang yang Allah Ta’alajadikan sebagai sandaran manusia dalam perkara fikih, ilmu dan urusan-urusan dunia dan agama.[1]
2. Ulama adalah: fuqaha’ul islam (ahli fikih islam), lisan-lisan mereka adalah tempat kembalinya fatwa, mereka adalah orang-orang pilihan yang berhak untuk meng-istimbath hukum-hukum, dan menetapkan batasan-batasan halal dan haram[2]
3. Ulama adalah: para pemimpin agama mereka mendapatkan kedudukan mulia ini dengan kesungguhan, kesabarandan keyakinan yang sempurna,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs. As-Sajdah (32): 24)
Dan dahulu dikatakan,
بالعلم واليقين تنال إمامة في الدين
“Dengan ilmu dan keyakinan diraih kepemimpinan di dalam agama”.
4. Ulama adalah: pewaris para nabi, yang mewarisi dari mereka ilmu, membawanya didada-dada mereka, dan ilmu-ilmu tersebut pada umumnya terlihat dalam kesehari-harian mereka. Dan kepada ilmu itulah mereka menyeru sekalian manusia.
وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر
“Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Dan para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu, barangsiapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang besar”. HR Abu Daud dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين
“Yang mengemban ilmu ini dari setiap generasinya, orang-orang yang adil. Mereka menepis dari agama ini penyimpangan orang-orang yang kelewat batas dan penyelewengan orang-orang yang batil dan ta’wilan orang-orang jahil”. HR Al Baihaqi.
5. Ulama adalah: segolongan dari ummat ini yang pergi demi agama Allah Ta’ala,kemudian mereka menunaikan kewajiban berdakwah, dan memberikan peringatan,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qs. At-Taubah (9): 122)
6. Ulama adalah: pemberi petunjuk kepada manusia, yang tidaklah berlalu suatu zaman kecuali mereka ada diantara manusia sampai datangnya hari kiamat. Mereka adalah pemimpin At-Thaifah Al Manshurah (golongan yang menang) sampai hari kiamat, Rasulullah SAW bersabda,
لا تزال طائفة من أمتي قائمة بأمر الله لا يضرهم من خذلهم أو خالفهم حتى يأتي أمر الله وهم ظاهرون على الناس
“Akan senantiasa ada segolongan dari ummatku yang menegakkan ajaran Allah tidak mencelakakan mereka orang-orang yang mencelakakan mereka, atau menyelisihi mereka sampai datangnya keputusan Allah, dan mereka menang diantara manusia”[3]
Al Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Al Imam Al Bukhari berkomentar tentang thaifah (golongan) yang dimaksud,
هم أهل العلم
“Mereka adalah para ulama”.
Beberapa Pedoman Dalam Mengenali Ulama
1. Ulama dikenali dengan ilmunya. Ilmulah yang membedakan mereka dari selain mereka. Apabila manusia tidak mengetahui (hukum suatu perkara), para ulama menyampaikan dengan ilmu yang diwarisi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
2. Ulama diketahui dengan kekokohan pijakan mereka ketika merebak syubhat, ketika banyak pemahaman-pemahaman yang tergelincir dan tidak selamat kecuali orang-orang yang Allah Ta’alaanugrahkan kepada mereka ilmu, atau orang-orang yang mengikuti ahli ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”. (Qs. An-Nisaa’: 83)
Al Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata,
إن هذه الفتنة إذا أقبلت عرفها كل عالم ، وإذا أدبرت عرفها كل جاهل
“Sesungguhnya fitnah apabila menghampiri diketahui oleh setiap orang yang berilmu dan apabila telah pergi diketahui oleh semua orang jahil”. Dinukil dari Wujubul Irtibath
3. Ulama juga dapat dikenal dengan jihad mereka, dan dakwah mereka kepada jalan Allah Ta’ala, mereka mengorbankan waktunya (karena Allah Ta’ala), dan mereka bersungguh-sungguh dijalan Allah Ta’ala.
Al Imam Ahmad berkata,
بقايا من أهل العلم يدعون من ضل إلى الهدى ويصبرون منهم على الأذى يحيون بكتاب الله الموتى ويبصّرون بنور الله أهل العمى فكم من قتيل لإبليس قد أحيوه وكم من ضال تائه قد هدوه فما أحسن أثرهم على الناس وأقبح أثر الناس عليهم ينفون عن كتاب الله تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين
“Yang tersisa dari para ulama, mereka menyeru orang-orang sesat kepada petunjuk dan bersabar dari gangguan mereka. Dengan Kitabullah mereka menghidupkan (hati-hati) yang telah mati dan membuka orang-orang yang buta dengan cahaya Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Berapa banyak pembunuh-pembunuh Iblis yang sudah mereka hidupkan dan berapa banyak orang-orang sesat mereka tunjuki. Alangkah besar jasa mereka kepada manusia dan alangkah buruk balasan orang-orang kepada para ulama. Mereka menepis dari Kitabullah penyimpangan orang-orang yang kelewat batas dan penyelewengan orang-orang yang batil dan ta’wilan orang-orang jahil”. Dinukil dari Wujubul Irtibath dan lihat Ar-Radd ‘Ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyah hal 6.
4. Ulama juga dikenal dengan ibadah dan rasa takut mereka kepada Allah Ta’ala,karena mereka orang yang paling tahu tentang Allah Ta’ala,Allah Ta’alaberfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Qs. Faathir (35): 28)
Dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
ليس العلم عن كثرة الحديث إنما العلم خشية الله
“Ilmu tidak dinilai dengan banyaknya hadits seseorang, karena ilmu adalah rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala”. Lihat Wujubul Irtibath
5. Ulama dikenal dengan jauhnya mereka dari dunia dan kesenangannya. Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah,
قال الحسن : إنما الفقيه الزاهد في الدنيا الراغب في الآخرة البصير بدينه المواظب على عبادة ربه ،وفي رواية عنه قال : الذي لا يحسد من فوقه ولا يسخر ممن دونه ولا يأخذ على علم الله أجرا
“Al Hasan mengatakan: sesungguhnya faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, cinta kepada akhirat, mengerti akan agamanya dan selalu beribadah kepada Rabb-nya”. Dinukil dari Wujubul Irtibath
6. Diantara tanda-tanda seseorang dikatakan alim (berilmu) adalah adanya kesaksian dari guru-gurunya bahwa ia seorang yang alim.
Al Imam Malik Rahimahullahberkata,
لا ينبغي لرجل يرى نفسه أهلا لشيء حتى يسأل من كان أعلم منه، وما أفتيت حتى سألت ربيعة ويحي بن سعيد فأمراني بذالك، ولو نهياني لانتهيت
“Tidak boleh seseorang menganggap dirinya pantas memegang suatu urusan sebelum bertanya kepada orang yang lebih alim darinya, dan saya tidak berfatwa sampai saya bertanya kepada Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id lalu keduanya memerintahkanku demikian, dan seandainya keduanya melarangku pasti tidak aku lakukan”[4]
Dan beliau juga berkata,
ليس كل من أحب أن يجلس في المسجد للتحديث والفتيا جلس، حتى يشاور فيه أهل الصلاح والفضل، وأهل الجهة من المسجد فإن رأوه أهلا لذالك جلس، وما جلست حتى شهد لي سبعون شيخا من أهل العلم أني موضع لذالك
“…tidak setiap orang yang ingin duduk dimasjid menyampaikan hadist dan berfatwa dibolehkan duduk sebelum ia bertanya kepada orang-orang shalih dan mereka yang memiliki keutamaan dan pandangan dimasjid (ulama). Apabila mereka menganggap orang tersebut ahli dalam hal itu, maka boleh baginya untuk duduk, dan saya tidak duduk sampai tujuh puluh orang ulama bersaksi bahwa saya layak untuk itu”[5]
Membedakan Antara Ulama Dengan Yang Bukan Ulama
Demi tercapainya gambaran yang sempurna akan hakikat ulama, perlu dijelaskan perbedaan-perbedaan antara ulama dengan orang-orang yang disangka ulama dan sebenarnya mereka bukan ulama.
- Perbedaan antara ulama dengan qurra’ (kutu buku).[6]
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
سيأتي على الناس زمان يكثر فيه القراء ويقل فيه الفقهاء ويقبض العلم ويكثر الهرج
“Akan datang kepada manusia suatu zaman yang banyak qurra’ nya dan sedikit fuqaha’ nya dan ilmu pun diangkat dan banyak terjadi pembunuhan”. HR At-Thabrani di dalam Al Awsath dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
Dan yang dimaksud dengan qurra’ adalah:
فئة من طلبة العلم أو المثقفين قرؤوا نتفا من العلم وهم غير فقهاء بذالك العلم
Kaum terpelajar yang membaca beberapa macam ilmu tanpa pemahaman terhadap ilmu tersebut.
2. Perbedaan antara ulama dengan pemikir dan cendikiawan.
Munculnya para pemikir dan cendikiawan merupakan akibat dari pertemuan dua peradaban; Islam dan barat, serta perseteruan antara keduanya. Mereka ini bukan termasuk dari kalangan ulama syariat, akan tetapi mereka hanya mufakkirun (para pemikir).
Tampilnya mereka sebagai pemikir hendaknya tidak dianggap sebagai ulama. Para pemikir ini memiliki kedudukannya tersendiri, dan di antara mereka ada yang Allah Ta’alatakdirkan bermanfaat dengan manfaat yang besar. Akan tetapi bagaimanapun (besarnya manfaat yang diberikan sebagian mereka) mereka tetap tidak bisa berpisah dari ulama sedikit pun kecuali dalam hal yang mereka adalah ahlinya.
Sebagaimana ada pula sekelompok orang-orang cerdas dan mereka terdiri dari orang baik-baik yang shalih yang memiliki keahlian-keahlian ilmiah yang khusus dan mereka tampak menonjol dalam bidangnya, apakah yang berkaitan dengan ilmu praktis seperti: kedokteran, tehnik dan kimia atau yang berkaitan dengan ilmu yang diistilahkan dengan ilmu kemanusiaan seperti ilmu kejiwaan, pendidikan, dan ilmu kemasyarakatan.
Meskipun mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidangnya sehingga menjadi rujukan, mereka bukan orang yang ahli dalam ilmu-ilmu syariat, mereka menurut istilah ilmiah dan syar’i dalam hal ini seperti kaum muslimin pada umumnya, dan digolongkan ke dalam barisan awam yang harus berada di belakang para ulama.
Wajib bagi mereka merujuk kepada ulama dalam perkara-perkara syar’i, dan mengambil posisi sebagai orang yang membantu pekerjaan ulama dalam menjelaskan perkembangan sesuai dengan ilmu yang dibidanginya. Seorang dokter tugasnya menjabarkan hal-hal yang berkenaan dengan kedokteran dan seorang ekonom tugasnya menjabarkan perkembangan ekonomi dan seterusnya.
Sesungguhnya perkataan-perkataan kaum cendikia harus dibangun diatas syari’at. Adapun apabila para pemikir dan kaum cendikia berbicara tentang perkara syari’at, dan keadaan ummat pada umumnya diatas asas akal dan hawa nafsu, dan berdalih demi kemaslahatan tanpa merujuk kepada dalil-dalil (yang ada), maka mereka serupa dengan ahli kalam.
وقد أجمع أهل الفقه والأثر من جميع الأمصار أن أهل الكلام أهل بدع وزيغ وال يعدون عند الجميع في جميع الأمصار في طبقات العلماء، وإنما العلماء أهل الأثر والفقه ويتفاضلون فيه بالإتقان والميز والفهم
Ahli fikih dan atsar diseluruh negeri telah sepakat bahwa ahli kalam adalah ahli bid’ah dan orang-orang yang menyimpang. Mereka di mata semua orang di seluruh negeri tidak digolongkan ke dalam barisan ulama. Ulama adalah ahli atsar dan fikih, dan mereka berbeda-beda tingkat keutamaan dan pemahamannya)[7]
Dan banyak manusia terfitnah dengan ahli kalam pada masa yang lampau dan sekarang mereka terfitnah dengan para pemikir, mereka tertipu dengan kedudukan dan sepak terjangnya menyangka bahwa seseorang yang paling banyak debatnya adalah bukti akan keilmuannya.
Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullahberkata, “Kebanyakan dari manusia di zaman ini telah terfitnah dengan mereka. Mereka menyangka bahwa orang yang paling banyak bicaranya dan banyak debat dan perseteruannya dalam perkara agama adalah orang lebih memiliki ilmu daripada selain mereka. Anggapan seperti ini merupakan kejahilan yang murni. Lihatlah para pembesar shahabat dan ulama dikalangan mereka seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Muadz, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit seperti apa keadaan mereka? Ucapan-ucapan mereka lebih sedikit dari pada ucapan Ibnu Abbas, padahal mereka lebih memiliki ilmu dari Ibnu Abbas.
Begitu pula perkataan para tabi’in lebih banyak dari perkataan shahabat, sedangkan shahabat lebih memiliki ilmu ketimbang mereka.
Dan tabi’ut tabi’in, perkataan mereka lebih banyak dari perkataan tabi’in, dan tabi’in lebih memiliki ilmu dari mereka.
Maka ilmu tidak diukur dengan banyaknya riwayat, dan banyaknya perkataan, melainkan ilmu adalah cahaya yang diletakkan didalam hati sehingga seorang hamba dapat memahami kebenaran, dengannya ia dapat membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, dan ia menyampaikannya dengan ungkapan yang ringkas dan sampai kepada maksud”[8]
3. Perbedaan antara ulama dengan juru ceramah (al khutaba’) dan juru nasihat (al wu’aadz).
Telah muncul fenomena baru sejak generasi pertama sejarah islam sebuah kelompok yang dinamakan dengan al wu’aadz (juru nasihat) atau al qusshash (pembawa hikayat). Sebelumnya posisi ini dipegang oleh ulama dan fuqaha’, kemudian berkembanglah keadaan sehingga jadilah yang menasihati manusia adalah orang-orang yang bukan alim dan bukan orang yang fakih.
Dan tidak mesti seseorang sebagai ahli hikayat atau juru nasihat dan ceramah berarti ia alim, berapa banyak juru nasihat yang mencuri hati manusia dengan kepandaiannya berbicara dan keindahan retorikanya padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Hal demikian seperti yang telah disinggung di depan bahwa ilmu tidak dapat diukur dengan kepandaian berbicara dan tidak dengan kemampuan mempengaruhi manusia.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
إنكم في زمان كير علماؤه قليل خطباؤه، وإن بعدكم زمانا كثير خطباؤه والعلماء فيه قليل
“Sesungguhnya kalian berada pada suatu zaman yang banyak ulama dan sedikit juru ceramahnya. Dan dihadapan kalian ada zaman yang banyak juru ceramahnya sedangkan para ulama sedikit”[9]
Seorang alim terkadang memiliki lisan yang kelu tidak pandai bicara. Atau memang sudah karakternya sedikit bicara tidak memiliki kemampuan berkhutbah. Dan (kebalikannya) terkadang terdapat dari kalangan awam orang yang cakap dalam berbicara, pandai membolak-balik perkataan sesukanya. Jumlah ulama sedikit, sedangkan orang yang pandai bicara banyak. Mujahid rahimahullahberkata,
ذهب العلماء فلم يبق إلا المتكلمون وما المجتهد فيكم إلا كاللاعب فيمن كان قبلك
“Telah pergi para ulama dan tidak tersisa kecuali orang-orang yang banyak bicara. Tidaklah seorang mujtahid diantara kalian kecuali bagaikan orang yang lalai di masa sebelum kalian”[10]
Catatan:
Akan tetapi ini semua bukan berarti semua juru nasihat dan juru ceramah bukan ulama. Karena ada segelintir diantara para juru ceramah juga ulama, bahkan terkadang seseorang dari mereka adalah pembesar ulama yang dijadikan sebagai panutan.
Diantara juru ceramah yang populer dalam sejarah islam adalah: Al Imam Abul Faraj Abdurrahman bin Jauzi. Beliau juga tergolong ulama muslimin yang memiliki tulisan dalam banyak macam disiplin ilmu, dan diakui oleh ummat Islam memiliki pijakan kokoh dalam keilmuan.
Akan tetapi (yang kami maksudkan di sini adalah) orang-orang yang tertipu dengan kemampuan dalam ceramah dan menyangka bahwa itu adalah bukti akan keilmuannya. Karena itulah kalangan awam lebih banyak gandrung kepada juru nasihat daripada kepada ulama.
Dan telah jelas dari uraian yang lalu bahwa ukuran untuk mengetahui seseorang berilmu adalah ma’rifat yang terdapat dalam hatinya tentang Allah Ta’ala, dan ketakwaan serta kekhusyuannya.
[1] Jaami’ Al Bayan (3/327) karya Imam At-Thabari.
[2] I’lamu Al Muwaqqi’in (1/7) karya Ibnul Qayyim.
[3] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya (8/149), Kitab Al-I’tisham, Bab: Qaulin Nabi SAW: “laa tazalu thaifatun…”, dan Muslim dalam Shahih-nya (3/1524/ no: 1920), Kitab Al-Imarah, Bab: Qaulun Nabi SAW: “laa tazalu thaifatun…”. Dan lafal diatas adalah lafal Muslim dari shahabat Muawiyah RA.
[4] Dinukil dari Ibnu Hamdan dalam Sifat Al Fatwa wa Al Mustafti (7).
[5] Dinukilkan dari Ibnu Farhun dalam Ad-Diibaaj (21), dan lihat perkataan Ibnu Hamdan dalam Sifat Al Fatwa wa Al Mustafti (7)
[6]Sekelompok penuntut ilmu atau orang yang berpendidikan yang membaca sedikit ilmu tanpa pemahaman. (akan dijelaskan didepan)
[7] Jaami’ Bayaanil Ilmi wa Fadhlih (2/96) karya Ibnu Abdil Bar.
[8] Bayanu Fadhli Ilmis Salaf ‘Ala Ilmil Khalaf (57-58)
[9] HR Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (hal 346, no 789) bab; Al Hadyu wa As-Samtul Hasan. Dan At-Thabrani dalam Al Kabiir (9/108, no 18566). Dan Abu Khaitsamah dalam Kitabul Ilmi (hal 109). Berkata Al Haitsami dalam Al Majma’ (10/249), “At-Thabrani meriwayatkannya dengan dua buah sanad, dan rijal salah satunya adalah rijal as-shahih”. Al Hafidz menshahihkannya dalam Al Fath (10/510). Berkata Al Albani dalam takhrij Kitaabul Ilmi, “(Hadist) ini mauquf shahih al isnaad”.
[10] Diriwayatkan oleh Al Hafidz Abu Khaitsamah dalam Kitabul Ilmi (hal 69)