Yang Utama dalam Berinteraksi dengan Al Qur’an

Pertanyaan seputar interaksi dengan Al Qur’an yang diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari Majmū’ Fatāwā Ibn Taimiyah, Vol. 23, Hlm. 54-63

Beliau ditanya tentang mengulang-ulang hapalan al-Qur’ān dan fikih, mana yang lebih utama dan lebih banyak pahalanya.

Jawaban beliau:

Alhamdulillāh. Sebaik-baik ucapan adalah kalam Allah. Sebaik-baik  jalan adalah jalannya (petunjuk) Muhammad allallahu ‘alaihi wasallam. Dan kalam Allah tidak dapat dianalogi dengan kalam makhluk, karena keutamaan al-Qur’ān dari seluruh ucapan adalah seperti keutamaan Allah Sang Pencipta atas semua makhluk-Nya.

Adapun yang lebih utama dilakukan oleh seseorang, hal tersebut ditinjau dari segi kebutuhan dan manfaat. Apabila ia telah menghapal al-Qur’ān, sedangkan ia butuh untuk mempelajari ilmu lainnya, maka mempelajari apa yang ia butuhkan lebih utama dari mengulang-ulang bacaaan yang tidak ia butuhkan untuk diulang-ulang. Begitu pula jika ia telah menghapal kadar yang mencukupi dari al-Qur’ān dan ia butuh untuk mempelajari ilmu lainnya.

Juga jika ia telah menghapal seluruh al-Qur’ān atau sebagian darinya, sedang ia tidak memahami maknanya, maka mempelajari makna al-Qur’ān lebih afdal dari membaca bagian baru yang tidak difahami maknanya.

Adapun seorang yang beribadah dengan membaca fikih, maka sebenarnya ibadah dengan membaca al-Qur’ān lebih utama, dan mentadaburi makna-makna al-Qur’ān lebih afdal ketimbang mentadaburi diktum yang tidak urgen untuk ditadaburi.

 

Beliau juga ditanya:

Siapa yang lebih baik: ahli (pembaca) al-Qur’ān yang tidak mengamalkannya, atau seorang ahli ibadah?

Dijawab:

Seandainya si ahli ibadah beribadah tanpa ilmu, bisa jadi ia lebih buruk dari seorang alim yang fasik atau boleh jadi sebaliknya (si alim fasik lebih buruk darinya). Sedangkan jika ia beribadah dengan ilmu; menunaikan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh larangan, maka tentu ia lebih baik dari orang fasik, kecuali jika si alim fasik memiliki kebaikan-kebaikan yang lebih banyak dari keburukannya, di mana jumlah kebaikannya melebihi kebaikan si ahli ibadah. Wallāhu a’lam.

 

 

Pertanyaan lain:

Apa pendapat Tuan kami tentang seorang yang membaca al-Qur’ān dengan jahar, sementara orang-orang lain sedang salat sunah atau tahiyyatul masjid di dalam mesjid, sehingga bacaannya yang keras menimbulkan gangguan bagi mereka yang sedang menunaikan salat? Apakah perbuatannya mengeraskan bacaan al-Qur’ān makruh atau tidak?

Beliau menjawab:

Tidak seorang pun berhak untuk menjaharkan bacaan al-Qur’ān, dalam salat atau di luar salat selama ada orang lain yang salat di dalam mesjid dan bacaannya yang keras akan mendatangkan gangguan baginya. Suatu ketika Nabi allallahu ‘alaihi wasallam menemui orang-orang ketika mereka sedang salat di bulan Ramadan dan masing-masing mengeraskan bacaannya. Maka kemudian Beliau berkata, “Wahai Manusia! Setiap orang dari kalian sedang bermunajat dengan Rabbnya, maka janganlah sebagian dari kalian menjaharkan bacaan atas sebagian lainnya!”

Beliau juga menjawab rahimahullāhu Ta’ālā:

Tidak dibenarkan bagi seorang pun untuk mengeraskan bacaan di mana ia mengganggu orang lain semisal orang-orang yang sedang salat (dengan bacaannya tersebut).

Mana yang lebih baik: mendengarkan bacaan al-Qur’ān atau salat nāfilah (sunah)? Dan apakah membaca al-Qur’ān makruh saat selain salat wajib atau tidak?

Beliau menjawab:

Siapa saja yang membaca al-Qur’ān, di waktu orang-orang lain melakukan salat sunah, tidak diperkenankan baginya untuk mengeraskan bacaan yang akan mendistraksi perhatian orang lain. Karena Nabi allallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui para sahabat saat mereka sedang salat di waktu menjelang Subuh, kemudian beliau bersabda, “Wahai Manusia! Setiap Setiap orang dari kalian sedang bermunajat dengan Rabbnya, maka janganlah sebagian dari kalian menjaharkan bacaan atas sebagian lainnya!”

Membaca dalam salat sunah lebih afdal secara umum. Namun, membaca dan menyimak bacaan (di luar salat) lebih utama bagi sebagian orang. Wallāhu a’lam.

Beliau ditanya:

Mana lebih utama dilakukan pada saat bangun malam (iżā qāma min al-lail): salat atau membaca al-Qur’ān?

Beliau menjawab:

Salat malam lebih utama dari membaca al-Qur’ān, sebagaimana dijelaskan secara eksplisit oleh para imam dari kalangan ulama. Nabi ṣallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Konsistenlah (istaqīmū), dan kamu tentu tidak akan sanggup (mempertahankan konsistensi secara total dan ideal setiap saat)! Ketahuilah bahwa sebaik-baik amalan adalah salat! Tidak ada yang selalu menjaga wudu melainkan seorang mukmin sejati.”

Tapi untuk seorang yang memiliki aktivitas rutin, tadabur, dan potensi untuk memahami bacaan al-Qur’ān, bukan salat (sunah), yang lebih utama baginya adalah yang lebih bermanfaat baginya.

 

Beliau juga ditanya:

Tentang seorang yang ingin mendapatkan pahala, apakah lebih baik baginya membaca al-Qur’ān atau berzikir dan bertasbih (membaca subhānallāh)?

Beliau menjawab:

Membaca al-Qur’ān lebih afdal dari berzikir, sedang, secara umum, berzikir lebih utama dari berdoa. Namun, terkadang, dalam kondisi tertentu,  yang berstrata lebih rendah (al-mafūl) lebih utama dilakukan dari yang stratanya lebih tinggi (al-fāil). Sebagaimana salat (sunah) adalah lebih utama dari semua hal tadi. Meski begitu, membaca al-Qur’ān,  berzikir dan berdoa di waktu-waktu terlarang untuk salat dan waktu khutbah lebih utama dari salat. Dan bertasbih pada saat ruku dan sujud lebih utama dari membaca al-Qur’ān. Dan bacaan dalam tasyahud akhir lebih utama dari berzikir.

Sebagian orang lebih banyak mendapat manfaat dari al-mafḍūl sesuai dengan kondisinya. Boleh jadi karena keterfokusan dan ketenangan hatinya dan pada hal itu, atau optimalnya kekuatan untuk melakukan hal itu. Contohnya adalah seorang yang mendapatkan semua itu di saat berzikir – bukan membaca al-Qur’ān – pada waktu-waktu tertentu.  Maka amalan yang ia lakukan dengan sempurna lebih baik baginya dari amalan yang ia lakukan tidak dengan sempurna. Sekalipun jenis amalan (al-fāil) tadi lebih baik (afal). Terkadang seorang tidak memiliki kesanggupan untuk memperoleh yang lebih afdal dalam kondisi normal, maka dalam kondisi ketidaksanggupan, apa yang sanggup ia lakukan itulah yang lebih afdal baginya. Wallāhu a’lam.

Alee Masaid

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *