Hendaknya celaan yang Allah tujukan kepada Ahlul Kitab diperhatikan: kerasnya hati setelah mereka diberikan kitab suci dan menyaksikan bermacam āyāt al-anbiyā (tanda kenabian, mukjizat)[1] yang dipertontonkan oleh nabi-nabi mereka, semisal dihidupkannya kembali orang yang telah terbunuh dengan cara dipukul dengan bagian tertentu dari sapi, kemudian Allah melarang kita meniru mereka dalam firmanNya:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. al-Hadīd 11)
Dalam diktum lain dari KitabNya, Allah menjelaskan sebab kerasnya hati mereka:
“Karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu.” (Q.S. al-Mā`idah 13)
Allah menjelaskan bahwa kerasnya hati mereka adalah merupakan sanksi atas pelanggaran janji mereka kepada Allah, yaitu mereka menyelisihi perintah dan melakukan hal-hal terlarang dari mereka diambil sumpah dan janji setia kepada Allah.
Kemudian Allah berfirman:
“Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (Q.S. al-Mā`idah 13)
Dalam penggalan tersebut, Allah menyebutkan bahwa kerasnya hati mereka meniscayakan lahirnya dua perkara tercela:
Pertama, Merobah-robah perkataan Allah dari tempat-tempatnya (tahrīf al-kalim min ba’di mawāḍi’ih). Kedua, mereka meninggalkan dan menelantarkan sebagian dari apa yang mereka diperingatkan dengannya, yakni hikmah dan pelajaran yang baik. Mereka melupakan, tidak mengamalkan dan menelantarkan kedua hal tersebut. Kedua item ini juga ada pada para ulama Muslim yang korup akibat mengimitasi karakter Ahlul Kitab.
– Pertama: Tahrīf al-kalim. Setiap orang yang belajar agama bukan untuk diamalkan, hatinya akan menjadi keras, hingga ia tidak menyibukkan dirinya dengan amal salih, melainkan asyik merobah-robah perkataan Allah dan memutar-balik lafal-lafal teks al-Qur`an dan Sunnah dari interpretasi sebenarnya, serta sangat lihai memainkan permainan seperti itu dengan memakai bermacam trik yang sangat halus: berupaya membuat reinterpretasi (takwil) alegoris, atau lain-lainnya.
Menujukan beragam kritikan terhadap lafal-lafal sunan (hadis) dimana mereka tidak sanggup untuk melakukan hal itu terhadap al-Qur`an, dan mengecam orang-orang yang konsisten mengikuti arahan dari teks Sunnah dan menafsirkannya dengan tepat, dan menyematkan bagi mereka gelar: bodoh, hasywi[2].
Hal seperti ini didapati pada kalangan mutakallimīn dalam kajian teologi (uṣūl al-dīn), di kalangan fuqahā al-ra`yi (ahli fikih rasionalis), dan di kalangan tokoh-tokoh sufisme-teologis.
– Kedua: Melupakan (meninggalkan) sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, berupa ilmu yang bermanfaat. Tidaklah hati mereka mengambil iktibar, malah mencerca orang yang mempelajari materi-materi kajian yang akan menjadikannya menangisi dosa dan kesalahan, dan melembutkan hatinya, justru menamakan orang itu qāṣṣ (tukang ceramah).
Ada sebagian kalangan rasionalis yang mengutip dari beberapa tokoh keguruan mereka, bahwa buah dari ilmu merupakan indikator dari kemuliaan ilmu tersebut. Siapa saja yang mempelajari ilmu tafsir, puncaknya adalah mampu menghadirkan ceramah di hadapan audiensi. Siapa yang menyibukkan dengan pendapat rasionalistik (al-ra`yu) dan ilmu-ilmu penopangnya, niscaya akan mampu berfatwa, memutuskan perkara, menjadi hakim, dan mengampu kajian-kajian ilmiah. Mereka semua dapat bagian dari orang-orang yang “Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Q.S al-Rūm 7)
Dorongan utama untuk melakukan itu semua adalah kecintaan mereka yang berlebihan kepada dunia dan kegemerlapannya. Sekiranya mereka berzuhud, mengharap dan ambisius akan kehidupan akhirat, dan selalu menasihati diri mereka serta hamba-hamba Allah, tentu mereka akan selalu berkomitmen dengan apa yang telah Allah turunkan kepada RasulNya ṣallallahu ‘alaihi wasallam, serta senantiasa mengajak manusia ke jalan itu. Kalau itu terwujud, tentu mayoritas manusia tidak akan keluar dari koridor takwa. Sehingga cukuplah bagi mereka sebagai pedoman, apa-apa yang instrinsik ada dalam teks al-Qur`an dan Sunnah. Yang keluar dari koridor keduanya dari mereka hanyalah sedikit.
Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa menetapkan para ulama yang memahami dari kandungan teks syarak, apa-apa yang dapat didayagunakan untuk mengembalikan orang yang telah keluar dari arahan otoritas teks kepadanya. Mereka mencukupkan dengan itu, tanpa membutuhkan apa yang dibidani lahirnya oleh ‘mereka’ (baca: rasionalis yang mengimitasi karakter Ahlul Kitab): subdivisi pseudo (al-furū’ al-bāṭilah) dan trik-trik terlarang yang mana oleh sebab itu, terbukalah lebar-lebar pintu-pintu riba dan perbuatan haram lainnya. Lalu apa-apa yang diharamkan Allah akan dipandang halal karena tipu muslihat sederhana (bi adnā al-hiyal).
Allah akan senantiasa memberi petunjuk kepada orang-orang beriman di dalam (menyikapi) perkara-perkara yang diperselisihkan dengan izin-Nya. Dan Allah Maha memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki ke jalan lurus.
Ibn Rajab al-Hanbalī, dalam pasal terakhir Faḍl ‘Ilm al-Salaf ‘alā al-Khalaf.
[1] Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, term mukjizat dipopulerkan oleh Ahli ilmu kalam (al-nuẓẓār). Penamaan yang lebih tepat adalah dalā`il al-nubuwah, atau a’lām al-nubuwah. Sekiranya diberi nama āyāt al-anbiyā`, tentunya akan lebih lugas dalam menunjukkan esensinya. Karena lafal mukjizat tidak terdapat dalam al-Qur’ān dan Sunnah.
[2] Bentuk tunggal dari hasywiyyah/hasyawiyyah, yaitu julukan yang diberikan oleh sekte Muktazilah (rasionalis) untuk Ahlussunnah karena berpegang pada zahir teks yang mendeskripsikan sifat-sifat Allah.