Diantara pembahasan ilmiyah yang tidak pernah lekang dimakan zaman dan dibahas dibangku-bangku kuliah, forum-forum diskusi dan kajian-kajian hingga saat ini adalah pembahasan seputar iman. Apakah amal perbuatan termasuk bagian dari iman atau bukan termasuk bagian darinya. Meski telah tercipta ijma’ salaf (konsensus) dalam masalah ini sebagaimana dinukil oleh Asy-Syafi’i dan selainnya, tapi mengetengahkannya kembali  merupakan upaya menghidupkan turats ilmy dan benteng dari akidah-akidah yang menyimpang.

Dalam Jami’ Al Ulum Ibnu Rajab Rahimahullah melontarkan isykal (polemik), beliau mengatakan di dalam hadits Jibril Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memisahkan antara Islam dan Iman dan menjadikan amal perbuatan sebagai bagian dari Islam dan bukan dari Iman.

Disini penulis seolah ingin menjelaskan kepada pembaca meski telah tercipta ijma’ salaf seperti dijelaskan diatas, tapi sesungguhnya pernah terjadi polemik seputar ini. Dan diantara sumbernya adalah datangnya nash-nash dari Al Qur’an atau Al Hadits yang dipahami secara sebagian. Karena barangsiapa hanya merujuk kepada hadits Jibril saja dan meninggalkan dalil-dalil yang lain dia akan mengeluarkan amal perbuatan dari pengertian Iman dan mencocoki pendapat Ahlulbid’ah dari kalangan Murji’ah yang menganggap amal perbuatan bukan termasuk bagian dari Iman.

Padahal terdapat banyak sekali dalil-dalil yang lain dimana Nabi sendiri juga menjadikan amal perbuatan sebagai bagian dari Iman dan bukan Islam. Seperti yang terdapat pada hadits Al Bukhari & Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi berkata kepada delegasi Abdi Qais: Aku perintahkan kalian dengan 4 hal: Beriman kepada Allah. Tahukah kalian apa iman kepada Allah? Bersyahadat dengan Laa ilaaha Illallah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan membayar seperlima dari rampasan perang.” Dimana pada saat yang sama perkara-perkara di atas juga digolongkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai bagian dari Islam dan bukan Iman, seperti pada hadits Jibril. Apakah Nabi kontradiktif?! Tentu tidak! Bahkan tidak layak seorang muslim beranggapan demikian. Karena setelah nash-nash tersebut dikumpulkan menjadi jelaslah perkara ini, sebagaimana yang dijelaskan para ulama Islam.

Penulis menjelaskan, diantara penamaan-penamaan (seperti islam, iman, fasik, kafir dstnya) ada yang ketika disebut muthlaq atau bersendirian (tidak disandingkan dengan nama lain) ia mencakup semua satuan-satuan yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh tapi ketika nama tersebut disandingkan dengan nama selainnya seperti Iman disandingkan dengan Islam, maka terkandung pada penamaan Islam, sebagian dari makna-makna diatas (ketika disebut sendirian) dan pada penamaan Iman terkandung padanya sebagian lainnya. Atau dengan kata lain Islam memiliki pengertian sendiri dan Imam juga demikian. Kondisi ini sama seperti nama fakir dan miskin, yang kapan salah satunya disebut muthlaq atau sendirian ia mencakup semua orang yang memiliki kebutuhan. Tapi ketika keduanya disandingkan dalam penyebutan, maka masing-masing dari nama-nama tersebut memiliki arti sendiri-sendiri.

Pada suratnya kepada penduduk gunung, Al Imam Abu Bakr Al Ismaili berkata: Mayoritas Ahlussunnah wal Jama’ah mengatakan, Iman adalah ucapan dan perbuatan. Dan Islam adalah mengerjakan apa yang diwajibkan kepada manusia untuk mengerjakannya. Kapan keduanya disebutkan bersandingan seperti mukminun dan muslimun, maka masing-masingnya memiliki arti sendiri-sendiri. Tapi kapan salah satunya disebut sendirian, maka ia mencakup keseluruhan maknanya. (Terkandung pada penamaan muslim makna Islam dan Iman sekaligus dan terkandung pada penamaan mukmin makna Iman dan Islam sekaligus juga)

Kemudian diantara polemik yang diangkat seputar ini juga adalah apakah Islam & Iman itu satu (sama)  atau keduanya merupakan masing-masing yang berbeda?!

Penulis menjelaskan bahwa Ahlussunnah berselisih dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang mengklaim bahwa mayoritas Ahlussunnah berpendapat keduanya adalah sama. Diantara mereka yang berpendapat demikian adalah Al Imam Muhammad bin Nashr Al Marwazi dan Ibnu Abdilbar. Dan diantara mereka ada yang menghikayatkan dari Ahlussunnah bahwa keduanya berbeda. Seperti Qatadah, Daud bin Abi Hind, Abu Ja’far Al Baqir dan selain mereka.

Kemudian penulis menutup polemik ini dengan penjelasan bahwa rincian diatas merupakan kesimpulan utuh dari penggabungan nash-nash. Kapan keduanya disebut sendiri-sendiri, Iman disebut sendirian tanpa Islam dan Islam disebut sendirian tanpa Iman, maka keduanya sama Islam adalah Iman dan Iman adalah Islam juga seperti pendapat pertama. Tapi kapan keduanya disandingkan dalam penyebutan maka keduanya berbeda. Islam memiliki arti sendiri dan Iman memiliki arti sendiri juga.

 

Wallahua’lam

*tulisan ini hanya rangkuman dari uraian Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *