Kaidah penting pada uraian jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin pada pertanyaan seputar Sayyid Qutb
Pertanyaan :
“Sayyid Quthb, seorang yang telah dikenal di dunia Islam dengan pemikirannya, maka orang-orang berselisih pendapat tentangnya. Ada yang meninggikan dan memuliakannya, ada pula yang mencelanya dengan sangat keras. Kami menginginkan agar Anda, wahai syaikh kami, untuk memberikan penjelasan yang memadai kepada kami tentang permasalahan ini. Dan bagaimanakah seharusnya sikap seorang muslim terhadap orang ini, karena Sayyid (Quthb) mempunyai pengaruh (yang besar) di dunia Islam. Selain itu ia juga mempunyai peninggalan berbagai tulisan/buku. Oleh karena itu, kami mohon kemurahan Anda untuk memberikan penjelasannya”.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsamiin rahimahullah menjawab :
“Pertama, semoga Allah memberikan berkah kepada kalian, aku tidak berpandangan bahwa perselisihan dan perdebatan di antara pemuda muslim itu diperbolehkan untuk terjadi hanya dengan sebab seseorang, baik Sayyid Quthb maupun selain Sayyid Quthb. Akan tetapi perselisihan itu semestinya terjadi terkait hukum syar’iy.
Misalnya : Kita membawakan satu perkataan di antara perkataan-perkataan Sayyid Quthb atau selain Sayyid Quthb, dan kemudian kita berkata : ‘Apakah perkataan ini benar ataukah salah ?’. Kemudian kita menganalisisnya. Jika ia benar, maka kita terima, dan (sebaliknya) jika baathil/keliru, maka kita menolaknya. Adapun perdebatan, perselisihan, penerimaan, dan penolakan yang terjadi di antara pemuda (muslim) tentang orang tertentu, maka ini kekeliruan yang besar.
Sayyid Quthb bukan orang yang ma’shum. Begitu juga orang-orang yang lebih tinggi dan yang lebih rendah darinya dari kalangan ulama juga bukan ma’shum. Setiap orang dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya kecuali siapa ?. Kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam yang wajib diterima perkataannya dalam setiap keadaan.
Oleh karena itu, aku melarang para pemuda menjadikan pokok perselisihan dan perdebatan mereka atas orang tertentu, siapapun dia. Hal itu dikarenakan bila perdebatan didasarkan atas hal semacam ini, maka boleh jadi pendebat akan membatalkan kebenaran yang dikatakan oleh orang tersebut, dan boleh jadi (sebaliknya) ia menolong kebathilan yang dikatakan oleh orang tersebut. Ini bahaya yang sangat besar. Kenapa ?. Karena bila seseorang fanatik (ta’ashub) pada individu tertentu, dan orang lain juga fanatik dengan lawan individu pertama; maka orang yang fanatik pada lawan individu pertama (kemungkinan) akan mengatakan tentangnya sesuatu yang tidak dikatakannya, atau menta’wil perkataannya (secara tidak benar), atau yang semacam itu. Sedangkan orang kedua boleh jadi mengingkari apa yang dikatakannya atau memalingkan apa yang dikatakannya dari kebathilan.
“Maka aku katakan : Janganlah kita berbicara tentang orang-orang tertentu dan jangan pula kita fanatik kepada orang-orang tertentu. Sayyid Quthb telah meninggal dunia, dan Allah ta’ala yang akan menghisabnya. Begitu pula yang berlaku atas selain dirinya dari kalangan ulama.
Adapun kebenaran, maka wajib untuk diterima, baik berasal dari Sayyid Quthb atau selainnya. Dan (sebaliknya) kebathilan wajib untuk ditolak, baik berasal dari Sayyid Quthb atau selainnya. Dan wajib pula untuk mentahdziir kebathilan apapun yang tertulis atau terdengar, baik yang berasal dari ini ataupun itu, siapapun orangnya.
Inilah nasihatku bagi saudara-saudara kami. Tidak selayaknya pembicaraan, perdebatan, penerimaan, dan penolakan didasarkan pada orang tertentu.
Semoga ada manfaatnya.
Sumber: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/11/pandangan-inshaaf-asy-syaikh-muhammad.html?m=1