Kapan Seseorang dianggap Sebagai Salafy?

Syaikhul Islam berkata dalam Al Majmu’ (3/346): ((Barangsiapa mengambil Al Kitab dan As-Sunnah dan Ijma’ (sebagai landasan agamanya) maka ia termasuk Ahlussunnah Wal Jama’ah))

 

Dan pada (10/383-384): ((Dan tidak seorang pun dari imam-imam kecuali dia memiliki perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa diikuti, sekaligus juga tidak dicela.

 

Adapun perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang belum dipastikan penyelisihannya terhadap Al Kitab dan As-Sunnah, bahkan ia termasuk ke dalam ranah ijtihad yang menjadi medan perselisihan ahli ilmu dan iman, perkara-perkara ini bisa jadi bersifat qath’i (pasti) bagi pihak yang telah Allah tampakkan kebenaran kepadanya, akan tetapi tidak boleh ia mengharuskan orang lain (ilzam) dengan apa yang telah tampak bagi dia dan belum jelas bagi pihak lain))

 

Dan pada (4/193): ((Dan bid’ah yang menjadikan seseorang dicap sebagai ahlul ahwa’ adalah bid’ah yang popular dikalangan ulama sunnah penyelisihannya terhadap Al Kitab dan As-Sunnah seperti bid’ah Khawarij, Rafidhah, Qadariyah dan Murjiah))

 

Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar (19/327): ((Masih saja para ulama berselisih dimana seorang alim berbicara tentang alim lainnya atas dasar ijtihad dia. Dan semua mereka diuzur dan berpahala. Tapi barangsiapa membangkang dan menyelisihi ijma’ maka dia berdosa dan kepada Allah lah kembali segala perkara))

 

Ayahanda kami Al Wadi’iy rahimahullah berkata dalam Tuhfatul Mujib (111): ((Adapun kapan seseorang keluar dari manhaj salafusshalih yaitu ketika ia terjatuh kepada bid’ah, dan apabila ia keluar dari manhaj salaf apakah kepada tasawwuf atau syi’ah atau mengadakan maulid-maulid atau membenarkan undang-undang buatan atau memiliki loyalitas sempit seperti para hizbi yang berwala’ dengan wala’ yang sempit, cinta karena kelompok dan benci karena kelompok))

 

Maka jelaslah dari perkataan ulama bahwa sunni adalah orang yang dikenal mengikuti pokok-pokok yang jelas: Al Qur’an dan As-Sunnah dan ajaran salaf. Dan yang dimaksud mengikuti disini adalah mengikuti lahir dan batin dan bersifat menyeluruh serta berloyal kepada siapa pun yang mengambil pokok-pokok ini dan berpegang dengannya.

Dan seseorang dianggap mubtadi’ disebabkan perselisihannya terhadap ketiga pokok-pokok ini apakah penyelisihannya menyeluruh seperti orang yang murtad dari islam atau penyelisihan terhadap sebagian dari perkara-perkara yang dimaklumi dari islam kemudian dia membenci dan memusuhi karenanya.

 

Syaikhul Islam berkata dalam Majmu’ (6/338): ((Oleh karena itu diantara syi’ar ahlul bid’ah adalah mengada-ngadakan ucapan dan perbuatan serta mengilzam (mengharuskan) manusia mengikutinya dan memaksa mereka kepadanya. Lalu membangun kecintaan diatasnya dan permusuhan bagi yang meninggalkannya. Persis seperti Khawarij yang mengada-adakan pendapat tertentu kemudian mengharuskan orang lain mengikutinya lalu membangun cinta dan benci diatasnya. Dan seperti Rafidhah yang mengada-adakan pendapat tertentu kemudian mengharuskan orang lain mengikutinya lalu membangun cinta dan benci diatasnya))

 

Maka berdasarkan apa yang telah dijelaskan seorang sunni tidak dianggap mubtadi’ disebabkan bergampang-gampang dalam pelaksanaan sebagian sunnah, begitu pula tidak dianggap mubtadi’ disebabkan adanya dia bersama firqah-firqah atau kelompok untuk perkara duniawi sambil tetap mencintai ahlussunnah dan berakidah dengan akidah mereka (ahlussunnah).

 

Dan tidak pula ia menjadi mubtadi’ atau hizbi disebabkan pembelaannya terhadap seorang syaikh dari syaikh-syaikh ahlussunnah. Adapun apabila pembelaannya sampai kepada tingkat fanatik terhadap kesalahan maka ia dicela karena perkara ini. Dan tidak menjadi hizbi selagi ia menerima nasihat terlebih lagi dari ulama sunnah.

 

Diterjemahkan dengan ringkasan dari Al Ibanah karya Asy-Syaikh Muhammad Al Imam (Hal 35-37)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *