Mensyarah Pembatal-pembatal Keislaman tapi malah Membantahnya

Pada kitab Fath Al ‘Aliy Al A’la sebuah buku yang mensyarah kitab Mufidul Mustafid karya Al Imam Al Mujaddid, penulisnya yakni Asy-Syaikh Madhat bin Al Hasan Ali Al Farraj menyebutkan pada mukaddimah penulisannya sebuah kasus yang persis seperti yang terjadi pada buku Memahami Kalimat Tauhid tulisan Al Ustadz Yazid. Beliau berkata setelah menerangkan bahwa manusia berkaitan dengan pembatal-pembatal keislaman banyak yang berlebihan antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Kata beliau;

              Di seberang kelompok yang berlebihan itu kelompok yang menelantarkan. Mereka meletakkan syarat-syarat dan penghalang-penghalang kekufuran yang demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya sulit terpenuhi bahkan kepada Iblis yang terlaknat. Mereka ingin menutup pintu riddah dan membuang hukum-hukumnya.

              Agar tidak ada yang menuduh bahwa aku telah berlebihan berikut ini adalah teks dari salah seorang mereka pada buku yang dicetak dan tersebar.

              Penulis buku ini berkata setelah menyebutkan pembatal-pembatal keislaman yang sepuluh yang disebutkan oleh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, tanpa menyebutkan sumbernya, melainkan malah menambahkan padanya hal-hal yang merusaknya dan membatalkan maksud dari Al Imam sama sekali dan tidak menyebutkannya. Maka sebelum saya sebutkan teks dari buku itu saya ingatkan bahwa Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak menjadikan satu pun penghalang dari berlakunya hukum kufur kepada siapa saja yang terjatuh kepada salah satu dari pembatal tersebut selain dipaksa. Iya, hanya dipaksa saja.

              Beliau (Al Imam) berkata sebelum menyebutkan pembatal-pembatal keislaman; Ketahuilah bahwa diantara pembatal-pembatal keislaman yang paling besar … kemudian beliau menyebutkannya (satu persatu). Kemudian pada pembatal terakhir beliau berkata; Dan tidak ada perbedaan pada semua pembatal-pembatal ini antara orang yang melakukannya main-main, dan sungguh-sungguh, dan orang yang melakukannya karena takut, kecuali orang yang dipaksa. Semuanya termasuk yang paling berbahaya dan paling banyak terjadi. Maka sepatutnya bagi seorang muslim mewaspadainya dan mengkhawatirkan dirinya dari terjatuh kepadanya. Kita berlindung kepada Allah dari akibat kemurkaan-Nya dan keras siksa-Nya. Semoga shalawat senantiasa tercurah kepada Muhammad.

              Adapun penulis (yang disinggung di atas) semoga Allah memaafkan kami dan dia, ia berkata; Kami memandang bahwa disana ada perkara-perkara apabila dilakukan seorang muslim akan mengeluarkannya dari Islam, yakni apabila dilakukan sengaja, mengetahui, dengan kerelaan tanpa paksaan, tidak berdasarkan takwil, dan tidak jahil.

              Kemudian setelah itu dia pun menyebutkan pembatal-pembatal keislaman sebagaimana disebutkan diatas  dan setelah itu berkata: “Dan seluruh pembatal-pembatal ini, barangsiapa melakukannya sungguh-sungguh, atau main-main, atau karena takut ia kafir. Kecuali apabila dia jahil, atau dipaksa, atau keliru, atau berdasarkan takwil, atau berdasarkan ijtihad. Muslim manapun yang terjatuh kepada pembatal-pembatal yang disebutkan, wajib bagi manusia menegakkan hujjah atasnya dan menampakkan burhan di hadapannya bahwa perbuatannya adalah kekufuran. Apabila setelah penegakan hujjah jelas bahwa dia tetap bertahan di atas perbuatannya karena pembangkangan, menyombongkan diri dan mengingkari, maka dia dihukumi kafir.”

              Disini kami tidak sedang membuat bantahan kepadanya. Tapi sekedar memberikan contoh atas apa yang kami katakan di depan. Penulis buku ini telah membuat syarat-syarat dalam pemberlakuan hukum kekufuran dan riddah yang tidak bisa diberlakukan bahkan kepada Iblis terlaknat sekali pun. Si penulis telah mensyaratkan penegakan hujjah, menampakkan burhan, kemudian apabila setelah itu jelas pembangkangannya, yakni apabila setelah itu masih melakukan kekufuran tapi ia tidak bertahan di atasnya (mushir) ia tidak kafir. Duhai tidakkah Anda merasa malu, semoga Allah menjauhkan kita dan si penulis dan seluruh muslimin dari segala kejelekan.

              Kemudian si penulis menambahkan setelah al ishrar (bertahan), mu’anid (membangkang), mustakbir (menyombongkan diri), jahid (mengingkari) padahal Iblis yang terlaknat saja tidak sampai mengingkari. Karena bagaimana Iblis bisa dikatakan mengingkari sedangkan yang mengajaknya bicara adalah Allah Jalla wa ‘ala sendiri tanpa ada perantara seorang rasul.

              Maka kekufuran bagi mereka ini tidak terjadi selain dengan keyakinan seperti pendahulunya dari kaum Murji’ah yang ghulat. Adapun menurut Ahlussunnah kekufuran terjadi dengan ucapan dan dengan perbuatan, dan dengan keyakinan.

-selesai.

              Maka kasus seorang penulis mensyarah pembatal-pembatal keislaman versi Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab lantas yang terjadi justru malah membantahnya seperti yang terdapat pada buku Memahami Kalimat Syahadat, karya Al Ustadz Yazid bukan yang pertama kali terjadi. Wallahua’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *