Pada penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al Ushaimi tentang perkataan Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kasyf Syubuhat (halaman 30) yang mengatakan: “Maka tidak ada udzur bil jahl” (alasan dengan kejahilan) beliau berkata:
“Dan seorang manusia mungkin mengucapkan ucapan itu, seperti yang dikatakan oleh penulis (sedangkan dia jahil, maka dia tidak diberi udzur) dengan sebab kejahilannya karena hujjah telah tegak atasnya dan karena kondisinya yang mampu mengenalinya. Adapun bersamaan dengan tidak tegaknya hujjah dan tidak mampunya dia dari mengenalinya, maka inilah orang yang Allah nafikan azab darinya sampai hujjah berupa diutusnya rasul tegak atasnya. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Thariq Al Hijratain.
Pokok-pokok agama dan kaidah-kaidahnya yang besar seorang muslim tidak diperkenankan jahil tentangnya mengingat ilmu yang tersebar dan tegaknya hujjah atasnya di negeri muslimin. Adapun persoalan-persoalan yang mungkin tersamarkan karena tidak jelas seseorang diberi udzur dengan sebab kejahilan karenanya.
Adapun orang yang belum tegak hujjah atasnya, tidak sampai kepadanya sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam maka dia diberi udzur karena sebab kejahilannya atas pokok-pokok agama dan rukun-rukunnya, sehingga keadaannya seperti keadaan ahli fatrah di akhirat. -selesai

Apa yang dikatakan Asy-Syaikh Shalih Ushaimi hafidzahulllah adalah taqrir yang ditegaskan oleh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau berkata dalam Ad-Durar As-Sanniyyah (8/244);
“Sesungguhnya person tertentu apabila mengucapkan perkataan yang menjadikannya kafir dia tidak dihukumi kafir sampai hujjah yang apabila ditinggalkan orangnya menjadi kafir tegak atasnya. Tapi ini berlaku dalam persoalan-persoalan yang samar / khafiyyah. Adapun peroalan yang mereka terjatuh ke dalamnya dari perkara-perkara yang terang atau dikenal ma’lum minad-diin bid-dharurah, persoalan ini tidak boleh abstain dari mengkafirkan personnya.”
Wallahua’lam