Pertanyaan:
Apakah orang yang meninggalkan shalat diberi udzur apabila tidak tahu (jahil) bahwa akibat dari meninggalkan shalat adalah kekufuran besar yang mengeluarkan dari millah (Islam)? Dan apakah aku menanggung dosa apabila tetap menyambung silaturahim kepada keluargaku yang tidak shalat atau aku makan bersama dengannya? Dan apa hukum orang yang bertahan tidak mau mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat atau orang yang melakukan perbuatan-perbuatan kesyirikan seperti menyembelih, nazar dan minta pertolongan (kepada selain Allah -red) dan beralasan; Sesungguhnya perbuatan ini adalah syirik tapi pelakunya tidak boleh dikafirkan dengan mu’ayyan?
Jawab:
Hukum mukallaf yang meninggalkan shalat adalah kufur akbar menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama, sekalipun dia tidak meyakini hal ini. Karena yang menjadi dasar penilaian dalam perkara-perkara hukum adalah dalil-dalil syar’i bukan akidah orang yang dinilai.
Begitu pula orang yang melakukan kekufuran dari beragam macam kekufuran-kekufuran yang ada, seperti mengolok-olok agama, menyembelih untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, minta keselamatan kepada orang mati, minta kepada mereka kemenangan dalam melawan musuh, atau kesembuhan atas penyakit dan yang semisalnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’aala:
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (Qs. At-Taubah: 65-66)
Dan juga firman-Nya; “Katakanlah (Muhammad): “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (Qs. Al An’am: 162-163)
Dan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (Qs. Al Kautsar: 1-2)
Dan firman-Nya: “Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (Qs. Al Mukminun: 117)
Telah dimaklumi bahwa siapa saja yang menyeru orang mati atau minta keselamatan kepadanya, atau bernadzar untuknya, atau menyembelih untuk mereka maka dia telah menjadikan mereka sebagai ilah-ilah lain disamping Allah sekalipun dia tidak menamakan mereka sebagai ilah.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman di dalam surat Fathir: “Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Qs. Fatir: 13-14)
Allah menamakan perbuatan mereka menyeru selain Allah sebagai kesyirikan. Dan ayat yang semakna dengan ini ada banyak sekali.
Dan telah benar riwayatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma.
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda;
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan penulis kitab-kitab sunnah dengan sanad yang shahih dari Buraidah bin Al Hushaib Radhiyallahu ‘Anhu.
Dalil-dalil dalam hal ini ada banyak di dalam Al Kitab dan As-Sunnah.
Dan barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir maka dia sama sepertinya (kafir) apabila telah ditegakkan atasnya hujjah dan diterangkan untuknya dalil kemudian dia bertahan tidak mau mengkafirkan. Seperti orang yang tidak mengkafirkan Yahudi, atau Kristen, atau Komunis, atau selain mereka dari orang-orang yang kekufurannya tidak tersamarkan bagi orang yang memiliki bashirah dan ilmu meski sedikit.
Tidak boleh bagi seorang muslim menjadikan orang yang meninggalkan shalat atau mengerjakan sesuatu dari macam-macam kekufuran sebagai teman dan tidak boleh menyambut undangannya atau mengundangnya ke rumahnya. Bahkan yang wajib adalah memboikotnya disamping menasihatinya dan mendakwahinya hingga dia bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala dari kekufurannya. Kecuali apabila ada maslahat syar’i lainnya untuk tidak memboikotnya, agar terbuka ruang untuk mendakwahinya dan membimbingnya dengan harapan dia menyambut kebenaran dan meninggalkan kebatilannya tapi tetap tidak menjadikannya teman atau kawan duduk.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memboikot Abdullah bin Ubay gembong munafikin demi tercapainya kemaslahatan umum, tapi bersamaan dengan itu beliau memboikot tiga orang shahabatnya yang tidak ikut dalam perang Tabuk tanpa alasan karena maslahat menuntut untuk memboikotnya.
Maka yang wajib atas pemerintah, ulama dan dai yang menyeru ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’aala untuk menjaga persoalan-persoalan ini sesuai koridor kaidah-kaidah syar’I dan kemaslahatan bersama bagi yang bersangkutan dan bagi muslimin secara umum.
Wallahulmuwaffiq.
Sumber: Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah (7/417-419)