“Mereka mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia sedangkan mereka dari (kehidupan) akhirat lalai”. (Qs. Ar-Rum: 7)
Diantara kebijaksanaan Allah Yang Maha Bijak adalah mengaitkan kejadian-kejadian dengan sebab. Apakah sebab qadariy, seperti obat bagi penyakit atau sebab syar’iy, seperti doa. Oleh karena itu Allah Ta’aala memerintahkan orang yang melakukan perjalanan haji untuk berbekal, Ia berfirman “Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. Dan diantara sebab ada yang qadariy dan syar’iy sekaligus, seperti meminum air zamzam sebagai makanan dan kesehatan atau madu.
Qadariy yang dimaksud disini adalah sebab yang diketahui bukan melalui jalan nash (ayat atau hadits), melainkan berdasarkan pengalaman atau pembuktian ilmiyah seperti melalui penelitian diketahui bahwa obat tertentu merupakan sebab kesembuhan suatu penyakit. Adapun sebab syar’iy adalah sebab yang penetapannya hanya melalui nash.
Tapi terkadang suatu sebab tidak bekerja sesuai fungsinya karena Allah yang menciptakan sebab tidak memperkenankan. Maka dalam interaksi dengan sebab, seseorang wajib mengimani hanya Allah yang menentukan bekerja tidaknya sebuah sebab. Dan barangsiapa meyakini suatu sebab berfungsi dengan sendirinya dan mengabaikan keimanan diatas, maka ia telah menyekutukan Allah dalam rububiyah-Nya. Dari sisi ini kondisinya sama seperti orang yang menetapkan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab. Keduanya merupakan syirik dalam rububiyah. Tapi yang pertama syirik besar dan yang ke dua syirik kecil.
Dalam bab keimanan, orang Islam meyakini Allah yang menciptakan sebab berkuasa penuh dalam sebab. Ditangan-Nya lah kendali menjadikan suatu sebab bekerja atau tidak. Pada kisah Ibrahim Alaihissalam ketika dilempar ke dalam api terdapat pelajaran berharga dalam hal ini. Allah Ta’aala berfirman; “Wahai api, jadilah kamu dingin dan menyelematkan Ibrahim”. Tapi keadaannya berbeda ketika membandingkan konsep dengan praktek aplikasinya, ada yang tidak sinkron. Meski tidak diucapkan, sikap sebagian orang seolah meyakini sebablah yang menentukan. Sehingga sebab menjadi perhatian terbesar mereka, apakah dalam upaya mencapai kebaikan atau menghindar dari kejelekan.
Dan kondisi ini semakin parah dengan hilangnya keyakinan mereka terhadap sebab dari jenis yang ke dua, yaitu sebab syar’iy. Sehingga penyandaran penuh mereka semata-mata hanya kepada sebab qadariy dan melupakan sebab syar’iy. Doa, amal shalih, meninggalkan kemaksiatan, amar ma’ruf nahi munkar serta ketaatan-ketaatan lainnya bukan sebab pada kamus kebanyakan mereka.
Usaha dan perbaikan yang mereka upayakan hanyalah yang dilandasi pada penelitian dan hasil-hasil percobaan. Saran dan masukan pun juga demikian. Adapun ayat-ayat Al Qur’an serta hadits-hadits Nabi, bagi mereka tak lebih hanya berupa dongeng-dongeng orang terdahulu yang tidak perlu diamalkan. Sampai ada yang sesumbar mengatakan: Belum teruji!
Jikalau ada dari mereka yang menempuh sebab syar’iy –menurut anggapan mereka-, mereka percayakan keyakinannya kepada kyai-kyai musyrikin, para penyembah kubur dan kuncen-kuncen makam kramat yang mengelabui mereka. Mereka mendatangi kuburan-kuburan yang dikeramatkan, makam-makam wali kapan ada keperluan. Mereka memberikan sedekah bumi untuk kuburan demi keberkahan dan kesejahteraan. Mereka memberikan larung kepala kerbau kepada sungai, telaga dan lautan. Mereka melakukan sembelihan-sembelihan, nadzar-nadzar dan lain sebagainya dari ibadah-ibadah yang semuanya mereka persembahkan untuk selain Allah Ta’aala. Menempuh jalannya musyrikin pertama dan meninggalkan jalannya muslimin dan orang-orang yang beriman.
Sehingga terkumpullah pada mereka tiga penyimpangan besar: Pertama: ketergantungan total kepada sebabqadariy dan melupakan Allah yang menciptakan sebab. Kedua: Perbuatan menjadikan yang bukan sebab sebagai sebab. Ketiga: Melakukan perbuatan yang merupakan sebab datangnya kemurkaan Allah berupa syirik akbar (besar).
Seperti inilah gambaran umum sebagian muslimin sekarang, meski secara personal seseorang membutuhkan pengamatan lebih jauh. Allah berfirman; “Mereka mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia sedangkan mereka dari (kehidupan) akhirat lalai”. (Qs. Ar-Rum: 7)
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya; maksudnya kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu selain dunia, pekerjaan-pekerjaannya dan urusan-urusan seputarnya. Mereka sangat jeli dan pandai dalam mencari dunia dan membaca peluang-peluang. Tapi mereka lalai dari urusan agama dan hal-hal yang berguna bagi mereka di negeri akhirat. Seolah-olah dalam urusan akhirat ini mereka tidak memiliki akal dan pikiran sama sekali.
Al Hasan berkata: Demi Allah, sampai-sampai salah seorang mereka dalam urusan dunia mampu membolak-balik kepingan dirham dengan kukunya dan memberitahumu akan berat dan timbangannya tapi dia tidak pandai mengerjakan shalat.
Perhatikan apa yang diucapkan Al Hasan dan bandingkan dengan kondisi orang-orang disekitarmu bagaimana kebanyakan mereka begitu lihai dalam urusan dunia, bisnis dan perdagangan, mereka sangat cerdas dan maju dalam pengetahuan dunianya, tapi bersamaan dengan itu mereka tidak bisa membedakan mana akidah Islam dan mana akidah musyrikin. Kondisinya begitu akut hingga tersamarkan pada keyakinan mereka antara ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan agama Abu Jahl. Sungguh dahsyat keterasingan tauhid, lebih terasing lagi orang yang memahami dan mengamalkannya.
Buletin Jum’at Tahun 1/ Vol. 1/ Ed. 4