Pada awal abad 13H, da’wah dan perjuangan ‘Ulama Najd telah terasa dan menyebar sampai ke al-Haramayn.
Maka sebagai bentuk pemurnian tawhid, maka dihancurkanlah situs-situs kesyirikan pada daerah tersebut, seperti kubah-kubah yang dibangun diatas kuburan.
Marahlah para pemberi ibadah kepada kuburan pada saat itu. Dan mulai meminta pertolongan dari segala penjuru, terutama dari Daulah Turkiyyah yang merupakan
kekuatan besar pada masa itu. Bahu-membahulah mereka untuk menghilangkan tawhid dan menyuburkan aqidah quburiyyah.
Ketika pasukan Daulah Turkiyyah mulai memasuki dan ingin menguasai Dir’iyyah, al-Imam ‘Abdullaah bin Su’ud menyetujui perjanjian dengan Ibraahim Pasya.
Persetujuan ini disetujui karena al-Imaam ‘Abdullaah bin Su’ud melihat maslahat agar tidak tertumpahnya darah kaum muwahhidin di Dir’iyyah.
Maka ketika al-Imaam ‘Abdullaah bin Su’ud sedang rihlah, maka dikhianatilah perjanjian ini.
Dibunuhlah para penduduk Dir’iyyah, termasuk ‘ulama-nya. Dan diantara yang dibunuh oleh mereka adalah cucu dari asy-Syaikh Muhammad bin ‘AbdulWahhab, yaitu asy-Syaikh Sulaymaan bin ‘Abdillaah dan umur beliau saat itu tidak lebih dari 32 tahun.
[Lihat Syarh Risaalah ad-Dala’il dari Ma’ali asy-Syaikh al-Fawzan]
Kita mundur 1 abad sebelumnya…
Pada awal-awal abad 12H sebelum munculnya perjuangan asy-Syaikh Muhammad bin AbdilWahhab, ibn Ghannam mengkisahkan dalam Tarikh Najd:
“Pada awal-awal abad 12H, BANYAK manusia yang melakukan kesyirikan, dan (seakan-akan) kembali ke zaman jahiliyyah…”
“Mereka menyeru kepada peribadatan kepada wali dan orang shalih, baik yang mati atau hidup. Beristighatsah kepadanya pada banyak perkara. Mereka meminta pemenuhan hajat mereka kepadanya.”
“Dan kesesatan ini telah MENYEBAR KESELURUH NEGERI KAUM MUSLIMIN.”
Kemudian ibn Ghannaam menyebutkan negeri-negeri beserta situs kesyirikannya. Diantaranya, Najd, Haramayn, Juddah/Jeddah, Mesir, Yaman, Hudaydah, Aleppo, Damaskus, dan masih ada lagi.
[Lihat Tarikh Najd karya ibn Ghannam]
Pada tahun-tahun itulah muncul seorang ‘ulama asy-Syaikh Muhammad bin ‘AbdilWahhab.
Dalam rihlah-nya untuk menuntut ilmu di Bashrah, asy-Syaikh mendapatkan banyak ilmu. Akan tetapi juga banyak kesyirikan yang terjadi pada daerah tersebut. Manusia merasa asing dengan tawhid. Dan para ‘ulamaa musyrikin juga kian menghiasi perbuatan kesyirikan. Tatkala, asy-Syaikh Muhammad mengingkari hal tersebut, maka dimusuhilah beliau dengan permusuhan yang dahsyat. Hingga akhirnya terusir dari Bashrah.
Kembalilah beliau ke Huraymila, dimana ayahanda juga tinggal dan menjabat qadhi disana.
Da’wah tawhid semakin berkembang disitu, dan berbondong-bondong orang datang kepada syaikh Muhammad untuk menuntu ‘ilmu.
Baik dari Dir’iyyah, Riyadh, ‘Uyainah, atau Manfuhah.
Sehingga terpecahlah manusia menjadi dua kelompok. Yang mencintai tawhid dan yang melakukan/membela kesyirikan. Dan yang kedua lebih banyak, sehingga mereka membuat rencana untuk MEMBUNUH asy-Syaikh diam-diam pada malam hari.
Mengetahui rencana mereka, asy-Syaikh memutuskan untuk keluar dari Huraymila, dan pindah ke ‘Uyainah.
Untuk kedua kalinya, terusir karena da’wah tawhid.
Kedatangan beliau membuat da’wah tawhid bersemi di ‘Uyainah.
Amir ‘Uyainah yaitu ‘Utsman bin Mu’ammar, pun mendukung da’wah nya syaikh Muhammad. Maka dihancurkanlah situs kesyirikan, kubah-kubah yang dibangun diatas kuburan, pepohonan keramat, dll.
Sehingga dari setiap daerah kekuasaan ‘Utsman bin Mu’ammar, dihancurkanlah situs-situs kesyirikan disitu. Dan bukan hanya menghancurkan kesyirikan, tapi asy-Syaikh juga menegakkan hukum syari’at, seperti hudud, rajam, dll.
Gerahlah para pemberi ibadah kepada kuburan. Gelisahlah para orang-orang yang berpenyakit hatinya.
Mereka, beserta pembelanya mulai meminta bantuan dari segala penjuru. Ditulislah surat ke negeri Bashrah, Ahsa dan Haramayn.
Maka ‘ulama musyrikin pun menulis risalah-risalah dengan tuduhan macam-macam bahwa asy-Syaikh Muhammad beserta murid-muridnya adalah GOLONGAN SESAT, BODOH, MUBTADI’, PENGGANTI SYARIAT, PERUBAH SUNNAH, dll.
Ditakut-takutilah Amir ‘Uyainah, yaitu ‘Utsman bin Mu’ammar, dan DIPERINTAHKAN untuk MEMBUNUH asy-Syaikh atau MENGUSIR asy-Syaikh.
Pengusiranlah yang dipilih. Untuk ketiga kalinya lah, asy-Syaikh terusir karena da’wah tawhid, dan memusuhi kesyirikan, pelakunya dan pembelanya.
[Untuk lebih lengkap, lihat Tarikh Najd, karya ibn Ghannaam]
Begitulah keadaan da’wah tawhid, pemeluknya dan pembelanya.
Diusir, dimusuhi, diasingkan, dicapjelek.
Begitu pula dengan keadaan para pelaku kesyirikan dan para pembelanya, mereka SELALU TIDAK SENANG dengan tawhid.
Selalu gerah dan gelisah.
Dan selalu mencari cara untuk memusnahkan al-Walaa’ wal-Baraa’ yang dibangun diatas tawhid.
Dengan pengalaman pahit inilah, beliau memberi nasihat kepada murid-murid-nya dan kaum Muslimin saat itu:
أسأل الله الكريم ربَّ العرش العظيم أن يتولاَّك في الدنيا والآخرة، وأن يجعلك مباركًا أيْنَما كنت، وأن يَجْعلك مِمَّن إذا أعطي شكَر، وإذا ابتُلِي صبر، وإذا أذنب استغفر، فإنَّ هؤلاء الثَّلاث عنوانُ السَّعادة
“Aku meminta kepada Allaah yang Maha Pemurah, Rabb ‘Arsy yang agung, agar menjadi wali bagimu di dunia dan akhirat.
Dan menjadikanmu sebagai orang yang diberkahi dimanapun kamu berada.
Dan menjadikanmu sebagai orang yang ketika diberi bersyukur, ketika diuji bersabar, dan ketika melakukan dosa beristighfar.
Karena tiga hal ini adalah kunci kebahagiaan.”
Karena asy-Syaikh tahu bahwa pemeluk tawhid, yang membangun al-Walaa’ wal-Baraa’ diatasnya itu bukan perkara mudah.
Ada pasang surutnya. Terutama apabila dia berada ditengah-tengah kesyirikan, para pelakunya, dan para ustadz/’ulama pembela kesyirikan.
Apabila sedang pasang, maka tidak ada yang lebih berkah dan lebih berhak untuk diperjuangkan dibanding seruan menegakkan tawhid dan membangun al-Walaa’ wal-Baraa’ diatasnya. Tapi apabila sedang surut, banyak rintangan dan halangan yang harus siap diterima.
Ada kemungkinan dijauhkan dari keluarganya, diusir dari kampung halamannya, di-dzhalimi hak-haknya.
Waktu, raga dan jiwa jadi taruhannya.
Tapi ketika kita dijadikan orang yang bersabar, maka istiqamah untuk tetap menyuarakan seruan tawhid akan terus berjalan.
Teruslah beristighfar, karena seorang muwahhid tentu tidak lepas dari kesalahan.
Dan ingatlah bahwa Allaah Ta’ala adalah Wali-nya para muwahhid. Tidak ada yang perlu dirisaukan yang berupa celaan dan gangguan manusia.
Terakhir, nasehat asy-Syaikh pada risalah ini bukan terkhusus kepada para murid-muridnya.
Tapi nasehat ini ditujukan kepada seluruh pembaca risalahnya.
Karena pejuang TAWHID yang MURNI akan selalu ada…
Walhamdulillaahirabbil’alamin.