Tanggapan Seputar Pembahasan Syarat-syarat Takfir dan Membela Musyrikin dalam Memerangi Muslimin
Diantara bukti akan semangatnya saudaraku dalam menyalakan api fitnah dan permusuhan adalah ketidakadilannya (kedzaliman) dalam penukilan. Dimana ia –semoga Allah segera memperbaikinya- hanya menukil sebagian pernyataan-pernyataan saya yang global di sebagian tempat dan tutup mata dari pernyataan-pernyataan saya yang terperinci ditempat yang lain. Karena tampaknya ia tidak tahu bahwa semua tulisan saya di web pribadi telah saya koneksikan ke media social twitter dan facebook sehingga otomatis setiap ada tulisan baru di web ia langsung tampil di kedua media social tersebut sebagai status.
Maka jika benar Anda orang yang adil dan inshaf, dimana Anda simpan pendetilan dari Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh atau uraian Asy-Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsriy serta ulama lainnya yang notabene juga merupakan status saya?! Jika Anda tidak suka dengan cara-cara culas si pemilik situs bangkai terhadap Anda jangan Anda tiru jejak langkahnya!
Abul Aswad Ad-Du’ali berkata:
لا تنه عن خلق وتأتي مثله ***** عار عليك إذا فعلت عظيم
Jangan kau larang suatu sifat sedang kau lakukan serupa itu
Sangat memalukan atasmu jika kamu lakukan itu
Bukti akan apa yang saya utarakan ini ada pada tanggapan saya terhadap laporan-laporannya berikut ini:
Tanggapan Terhadap Laporan Ketiga
Laporan ke-3
Kaidah batil si pemilik status, “Tawaffurus syurut wantifa’ul mawani’ merupakan kaidah yang agung namun pemberlakuannya hanya dalam masalah khafiyah bukan dalam masalah dhahirah.”
Syaikh berkomentar, “Para ulama tidak membedakan kaidah tawaffurusy syuruth wa intifa`ul mawani’ dalam persyaratan takfir dalam perkara zhahirah maupun khafiyah.”
Tanggapan:
Alhamdulillah berkenaan dengan tawaffurusy syuruth wa intifa’ul mawani’ dalam perkara takfir mu’ayyan saya tidak keluar sedikit pun dari apa yang ditahrir (urai) oleh para ulama serta imam-imam dakwah seluruhnya. Bahwa seseorang harus melihat kepada terpenuhi tidaknya syarat-syarat (tawaffurrusy syuruth) sebelum menetapkan vonis takfir terhadap person tertentu dan begitu juga penghalang-penghalangnya (mawani’). Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara perkara dhahirah dengan perkara khafiyah, sebagaimana komentar Asy-Syaikh Shalih Fauzan diatas. Karena takfir melahirkan konsekwensi-konsekwensi hukum yang berat dimana seorang imam mengharuskan pemberlakuan konsekwensi-konsekwensi itu terhadap seseorang yang telah jatuh vonis takfir kepadanya.
Adapun komentar saya yang Anda kutip, ini diantara ucapan-ucapan saya yang mutlak dalam konteks yang berbeda. Maka jika cara-cara Anda ini dapat dibenarkan, yaitu berpegang kepada ucapan yang mutlak dan tutup mata dari yang terperinci, saya yakin tidak seorang pun selamat dari vonis-vonis Anda: “mengigau”, “kaidah batil”, “lancang” dstnya, sekalipun itu Asy-Syaikh Shalih Fauzan sendiri.
Saya kutipkan dibawah ini beberapa fatwa beliau dalam perkara ini yang bisa membantu Anda dan kawan-kawan Anda untuk lebih berhati-hati terhadap kehormatan seorang da’i:
Fatwa seputar Tawaffurrusy syuruth wa intifa’ul mawani
1- Tanya: Semoga Allah memberimu pahala, apa pendapat Anda terhadap orang yang mengatakan: Person tertentu tidak dikafirkan kecuali setelah tawaffurrusy syuruth wa intifa’ul mawani (syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak terdapat padanya penghalang-penghalang)?
Jawab: Siapa yang bilang begini? Barangsiapa yang tampak darinya ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan, orang ini dihukumi kafir. Adapun apa yang terdapat di dalam hatinya, tidak ada yang tahu kecuali Allah. Kita tidak dibebani urusan hati, tapi kita hanya dibebani perkara yang tampak (lahir). Barangsiapa menampakkan kekufuran, kami hukumi kafir dan kami perlakukan kepadanya muamalah orang kafir. Silsilah Syarh Ar-Rasa’il (hal 243)
2- Tanya: Semoga Allah berbuat baik kepadamu wahai Shahibul Fadhilah. Disini seorang penanya berkata: Apa saja syarat-syarat yang wajib terpenuhi dalam menghukumi muayyan (person tertentu) sebagai kafir, dan apa saja penghalang-penghalangnya (mawani’)?
Jawab: Barangsiapa mengucapkan kekufuran atau melakukannya dia dihukumi kafir dan diperlakukan dengan muamalah orang-orang kafir dan murtad. Karena tidak ada bagi kami selain yang lahir. Kami hukumi dia sesuai yang tampak/lahir darinya dari ucapan atau perbuatan, dan kami perlakukan kepadanya muamalah orang-orang kafir. Kami tidak memandikannya, tidak menyolatkannya, tidak menguburnya dipekuburan muslimin apabila dia wafat diatas keyakinan orang-orang kafir atau melakukan perbuatan orang-orang kafir atau keyakinan orang-orang kafir. Kami hukumi dia kafir dan dia muayyan (person tertentu). Kami katakan: Fulan bilang begini, maka dia kafir.
Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/3926
Antara Kafir Dhahir dengan Kafir Dhahir dan Bathin
3- Tanya: Semoga Allah berbuat baik kepadamu wahai Shahibul Fadhilah. Disini seorang penanya berkata: Apakah kami kafirkan orang yang sujud kepada berhala atau menyembelih untuk kubur atau kami menunggu dulu sampai kami tegakkan kepadanya hujjah?
Jawab:
Dia kafir dengan perbuatannya ini. Akan tetapi kamu hukumi perbuatannya kufur dan kamu kafirkan dia secara lahir. Kemudian setelah itu kami nasihati dia. Apabila dia bertaubat (maka dia saudara seiman), kalau dia menolak maka dia kafir lahir dan batin.
Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/3897
Ketiga fatwa ini saya rasa cukup sebagai isyarat kepada ratusan fatwa beliau seputar perkara ini, yang menunjukkan bagi semua pemerhati bahwa dalam pengaduan diatas Anda telah kehilangan standar keadilan dan ketelitian.
Dan saya juga mencukupkan dengan keterangan-keterangan yang ada pada lembaran ini, sehingga tidak perlu secara khusus menyinggung laporan keempat sama sekali. Karena laporan ini bagi saya hanya pesanan seseorang yang kehabisan hujjah lalu memanfaatkan “tangan orang lain” guna menutupi rasa malunya, seperti kebiasaannya pada banyak kasus. Dan saya sangat mengetahui hal ini darinya.
Tanggapan Terhadap Laporan Kelima
Laporan Kelima
Termasuk kelancangan si pemilik status dalam berfatwa adalah bahwa dia berkata,
“Termasuk pembatal keislaman adalah:
Membela orang-orang musyrik dalam memerangi muslimin. Seperti apabila terjadi peperangan antara muslimin dgn kafirin. Kemudian ada seorang muslim menolong si kafir.
Dan menolong disini apakah dengan harta, pikiran atau tenaga dan persenjataan. Apakah musyrik ini orang Kristen, Yahudi atau non muslim lainnya.
Barangsiapa melakukan perbuatan ini maka jika dia muslim, batal islamnya.
Karena perbuatan ini tidak lahir melainkan dari seseorang yang hatinya membenci Islam dan kemenangannya atas kaum kafirin. Meskipun lisannya menampakkan kecintaan tapi perbuatannya ekspresi dari keadaan hati dia yang sesungguhnya.
Wabillahit-taufiq.”
Syaikh Shalih Al-Fauzan berkomentar, “Dari mana dia memastikan kekafiran terhadap orang tersebut? Mungkin saja orang tersebut terpaksa atau memiliki udzur lain.”
Tanggapan:
Pelaku perbuatan diatas karena terpaksa atau memiliki udzur tidak kafir seperti yang diterangkan Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan pada komentarnya. Maka sekali lagi Anda kurang teliti dan salah arah wahai saudaraku!
Adapun pernyataan saya yang Anda utarakan, sejatinya adalah ucapan Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah dan bukan fatwa saya sama sekali. Ia tidak lebih dari nukilan dari salah seorang ulama kibar yang disegani. Pada penjelasan beliau terhadap terhadap pembatal ke delapan dari kitab Nawaqidul Islam, beliau berkata:
“Mudhaharah (membela) dan menolong artinya sama. Yaitu membela orang-orang musyrik dalam memerangi muslimin. Seperti terjadi peperangan antara muslimin melawan orang-orang kafir. Kemudian si muslim membela orang-orang kafir dalam memerangi muslimin. Seperti membelanya dengan harta atau senjata atau pikiran (usulan/ide/strategi). Maka kapan ia melakukan itu, ia kafir. Karena ia telah mengunggulkan musyrikin diatas muslimin. Dan perbuatan mengunggulkan seperti ini berarti ia membenci Islam, membenci Allah dan rasul-Nya. Dan ini merupakan kekufuran dan kemurtadan.” Tabsiirul Anam bi Syarh Nawaqidul Islam (hal 48-51)
Pada penjelasan yang lain beliau berkata:
“Apabila (seorang muslim) menolong musyrikin dalam menghadapi muslimin, maka ini artinya dia berwala’ (loyal) kepada musyrikin dan mencintai mereka, sedangkan berwala’ kepada mereka adalah kemurtadan. Karena ini menunjukkan kecintaan kepada mereka. Maka apabila ia menolong mereka dalam menghadapi muslimin dengan harta atau senjata atau pikiran, (ini) menandakan kecintaan kepada mereka dan mencintai mereka kemurtadan, karena dasar wala’/loyalitas adalah mahabbah/kecintaan. Dan tumbuh diatas dasar ini memberikan pertolongan dan bantuan dengan pandangan atau harta atau senjata. Maka apabila seorang muslim menolong musyrikin dalam menghadapi muslimin, ini artinya dia mengunggulkan musyrikin diatas muslimin. Adapun apabila ia membela musyrik dalam menghadapi musyrik lainnya, ini tidak termasuk ke dalam pembatal ini.
Sumber: http://www.saaid.net/Minute/m51.htm
Dan dalam menjelaskan pembatal ini, saya selalu menerangkan bahwa yang dimaksud berwala’ (loyal) kepada musyrikin yang merupakan pembatal adalah muwafaqah (menyetujui kekufuran), membela, menolong dan ridha dengan perbuatan (kufur) mereka, seperti yang diterangkan oleh Al Allamah Sa’d bin Hamad bin ‘Atiq rahimahullah. Beliau berkata:
Dan masyaikh (para ulama) rahimahumullah seperti Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah dan Asy-Syaikh Abdullathif dan Asy-Syaikh Hamad bin ‘Atiq kapan mereka mereka menyebutkan (perkara) berwala’ (loyal) kepada musyrikin, mereka menafsirkannya dengan muwafaqah (menyetujui kekufuran), membela, menolong dan ridha dengan perbuatan (kufur) mereka.” Ad-Durar As-Sanniyah (9/158)
Ini keterangan saya terhadap pembatal ke delapan dari kitab Nawaqidul Islam. Dan dalam hal ini saya hanya penyambung lidah dari ulama terdahulu. Tidak ada sedikit pun kelancangan saya dalam perkara ini seperti yang Anda tuduhkan dan pembaca bisa nilai sendiri. Tapi jika Anda tidak sepakat dengan penjelasan mereka, seperti apa kiranya penjelasan Anda terhadap pembatal ke delapan ini? Semoga kami dapat mengambil faidah yang berguna dari Anda seputar pembahasan ini.
Wallahulmuwaffiq