Penanya: Kami harap Anda menerangkan kepada kami dengan jelas masalah udzur bil jahl dalam perkara syirik besar. Dan apakah penegakan hujjah merupakan syarat atau tidak? Apakah cukup penegakannya? Dan siapakah yang layak menegakkannya? Kami harap perincian dalam masalah ini.
Jawab: Kami minta kepada Allah Azza wa Jalla menjadikan kecintaan antara kami dan kalian di jalan Allah. Tidak diragukan lagi bahwa kecintaan di jalan Allah diantara macam-macam taqarrub (ibadah) dan amalan shalih, dimana seorang hamba diberi pahala, seperti yang terdapat pada sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ((Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman sampai saling mencintai. Inginkah aku tunjuki kalian sesuatu yang jika kalian kerjakan kalian saling mencintai? Tebarkanlah salam diantara kalian))
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ((Allah Ta’aala berkata; wajiblah kecintaanku untuk orang-orang yang saling mencintai di jalan-Ku dan orang-orang yang saling member di jalan-Ku dan orang-orang yang saling kunjung mengunjungi di jalan-Ku))
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ((Ada tiga perkara, barangsiapa perkara ini ada pada dirinya dia merasakan dengannya manisnya iman)) dan beliau menyebutkan diantaranya ((Seseorang mencintai saudaranya, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah))
Dan ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan 7 golongan yang dinaungi Allah di naungan arsy-Nya, Nabi menyebutkan diantaranya, ((Dua orang yang saling mencintai di jalan Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya))
Dan kecintaan disini artinya seorang mukmin mencintai saudaranya yang beriman karena dia termasuk muslimin dan termasuk orang-orang yang beriman, meskipun saudaranya ini memiliki maksiat atau dosa.
Apabila telah diketahui hal ini, sesungguhnya pertanyaan yang ditanyakan penanya, kami katakan:
Bahwa syariat telah datang membawa keterangan bahwa hukuman akhirat tidak jatuh kecuali kepada orang yang sampai kepadanya ilmu akan syariat ini dan hujjah telah tegak atasnya, berdasarkan firman Allah Ta’aala ((Dan Kami tidak mengadzab sampai kami mengutus seorang rasul)) Al Israa’: 15. Dan berdasarkan firman-Nya ((Agar aku beri peringatan kepada kalian dengannya (Al Qur’an) dan orang yang sampai kepadanya (Al Qur’an ini))) Al An’am: 19.
Hal ini menunjukkan bahwa orang yang belum sampai kepadanya risalah ini, tidak dihukum diakhirat hanya karena penyimpangannya. Melainkan mereka akan diuji kembali (imtihan) pada hari kiamat, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits. (Ini berlaku) walaupun penyimpangannya dalam pokok agama Islam dan walaupun dalam perkara kesyirikan. Ini terkait hukum akhirat.
Adapun terkait hukum-hukum duniawi, sesungguhnya orang yang salah berkenaan dengan perkara pokok-pokok ajaran Islam, lalu dia memberikan ibadah kepada selain Allah, atau dia belum mengakui kerasulan nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka dihukumi kafir. Ini yang terkait dengan hukum dunia. Dimana tidak boleh bagi seseorang mendoakan untuknya rahmat, tidak pula dia dikubur dipekuburan muslimin. Adapun perkara akhirat, maka urusannya diserahkan kepada Allah Azza wa Jalla dan dikatakan, Allah yang Maha Tahu akan nasibnya.
Dan adapun terkait perkara-perkara (penyimpangan) yang tidak membatalkan pokok-pokok ajaran Islam, seperti orang yang menyangka Al Qur’an kurang, atau salah pada sebagian permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, seseorang diberi udzur karena jahil dalam perkara ini. Bahkan terkadang orang ini tidak berdosa sama sekali disebabkan ilmu yang tidak sampai kepadanya. Karena Allah Ta’aala telah menerangkan bahwa hukuman hanya berlaku atas orang yang ilmu telah sampai kepadanya. Dan Allah juga menerangkan bahwa orang yang salah maka dia dimaafkan, seperti yang terdapat pada firman-Nya ((Wahai Rabb kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau salah)) Al Baqarah; 286. Allah berkata: ((Telah Aku lakukan!)). Dan seperti yang terdapat pada firman-Nya juga ((Tidak ada dosa atas kalian pada perkara yang kalian salah disitu)) Al Ahzab: 5. Dan nash-nash lainnya yang serupa dengan ini.
السائل : نرجو أن تبينوا لنا بوضوح مسألة العذر بالجهل في مسائل الشرك الأكبر، و هل قيام الحجة يُشترط فيها أم لا ؟ أم يكفي قيامها؟، و ممن تكون الحجة ؟ نأمل التفصيل في ذلك .
الشيخ سعد الشثري : نسأل الله جل وعلا أن يجعل المحبة بيننا وبينكم لله وفي الله، لا شك أن المحبة في الله من أنواع القربات و الأعمال الصالحة التي يؤجر عليها العبد، كما في قول النبي صلى الله عليه و سلم : ” لن تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا و لن تؤمنوا حتى تحابوا أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم : أفشوا السلام بينكم “، و في قول النبي صلى الله عليه وسلم : ” قال الله عز وجل وجبت محبتي للمتحابين فيَّ و المتباذلين فيَّ و المتزاورين فيَّ و المتجالسين فيَّ “، و في قول النبي صلى الله عليه و سلم : ” ثلاث من كُنَّ فيه و جد بهن حلاوة الإيمان ” و ذكر منهن أن يحب المرء لا يحبه إلا لله، و لما ذكر النبي صلى الله عليه و سلم السبعة الذين يظلهم الله في ظل عرشه، ذكر منهم رجلين تحابا في الله اجتمعا عليه و تفرقا عليه، فالمحبة لله أن يحب المرء المؤمن أخاه المؤمن لكونه من أهل الإسلام و الإيمان و لو وقع منه معصية أو ذنب. إذا تقرر هذا، فإن المسألة التي سأل عنها السائل، نقول فيها أن الشريعة قد جاءت ببيان أن العقوبة الأخروية لا تكون إلا على من وصل إليه العلم بالشريعة و قامت عليه الحجة لقوله سبحانه : { وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا } [الإسراء15] و لقوله جل وعلا : { لِأُنذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ } [الأنعام19]، فدل هذا على أن من لم تبلغه الرسالة فإنه حينئذ لا يعاقب في الآخرة لمجرد ذلك و إنما يمتحنون يوم القيامة، كما وردت بذلك الأحاديث، ولو كان ذلك في أصل دين الإسلام، و لو كان ذلك في الشرك، هذا بالنسبة لأحكام الآخرة، و أما بالنسبة لأحكام الدنيا، فإنه من أخطأ في ما يتعلق في أصل دين الإسلام فصرف العبادة لغير الله أو لم يقر بالرسالة لنبينا محمد صلى الله عليه و سلم فإنه يحكم بكفره فيما يتعلق بأحكام الدنيا، بحيث لا يجوز للإنسان أن يترحم عليه و لا يُقبر في مقابر أهل الإسلام، و أما أمر الآخرة فإنه يوكل إلى الله عز وجل و يقال الله أعلم بحاله.
و أما بالنسبة للمسائل التي لا تناقض أصل دين الإسلام، كمن ظن أن القرآن ناقص، أو أخطأ في شيء من صفات الله عز وجل، فهذا يعذر الإنسان فيه بالجهل و قد لا يلحقه شيء من المأثم لكونه لم يصل إليه العلم بمثل ذلك، فإن الله جل وعلا قد بين أن العقوبة إنما تكون لمن وصل إليه العلم، و بين الله جل و علا أن من أخطأ فإنه يُعفى عنه، كما في قوله جل و علا : { رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا } [البقرة286] قال الله قد فعلت، و كما في قوله جل و علا : { َلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ } [الأحزاب5] و نحو ذلك من النصوص.
Penanya: Orang-orang awam yang terjatuh ke dalam perbuatan syirik disebabkan ulama su’ dan da’i-da’i kesesatan? Apakah mereka berdosa? Apakah mereka kafir?
Jawab: Kami katakan disini ada dua perkara: pertama, apakah dia berdosa? Kami katakan, jika dia tidak mengetahui kebenaran, dia tidak berdosa. Kedua, apakah dia kafir? Kami katakan, ya dia kafir.
Jadi disini ada dua perkara:
1- Dosa dan hukuman di akhirat. (Dia) tidak berdosa dan tidak dihukum di akhirat. Karena Allah berfirman ((Dan Kami tidak mengadzab (seorang pun) sampai kami utus (kepadanya) seorang rasul)) Al Israa’: 15. Dan orang ini tidak sampai kepadanya risalah. ((Agar aku beri peringatan kalian dengannya (Al Qur’an) dan orang-orang yang sampai (kepadanya Al Qur’an ini)) Al An’am: 19. ((Rasul-rasul sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan, agar tidak ada bagi manusia atas Allah hujjah setelah (diutusnya) rasul-rasul)) An-Nisaa’: 165). Dan orang ini tidak sampai kepadanya risalah.
2- Apakah dia dalam hukum-hukum, apakah dia kafir?
Kami katakan, selagi ada padanya kesyirikan maka dia kafir dan hukum apa yang berlaku atasnya? Kami katakan, berlaku atasnya hukum-hukum duniawi; tidak dishalatkan, tidak dimintakan ampunan untuknya, tidak (boleh) bersedekah atasnya, tidak dihajikan, tidak diumrahkan, tidak mewarisi dan menerima warisan…dan yang semisal ini dari hukum-hukum orang kafir di dunia.
Adapun perkara akhirat, maka kami katakan; urusannya kembali kepada Allah. Asy-Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab) telah mengisyaratkan di mukaddimah tentang hal ini. Yaitu, orang jahil. Apakah kejahilan merupakan udzur atau bukan udzur?!
Perkara ini, perhatikanlah oleh kalian, kalian dapati orang-orang mencampuradukkan dalam masalah ini. Kita katakan: udzur dari dosa? Kami katakan: iya (diberi udzur). Kami katakan: udzur dari masuk neraka disebabkan kesyirikan? Kami katakan: iya (diberi udzur)
Baiklah, diakhirat bagaimana nasibnya? Mereka diuji (imtihan). Allah Azza wa Jalla menguji mereka di pemberhentian hisab di hari kiamat. Dan kami katakan: Allah Maha Tahu apa yang dahulu mereka kerjakan.
Adapun terkait hukum-hukum dunia, apakah kejahilan merupakan udzur?
Kami katakan: Kejahilan ada dua jenis.
1- Kejahilan akan pokok-pokok ajaran Islam, yaitu tauhid. Dalam perkara ini seseorang tidak diberi udzur dalam kaitannya dengan hukum-hukum dunia.
2- Kejahilan pada selain pokok-pokok ajaran Islam, seperti meyakini Al Qur’an kurang. Ini kejahilan akan tetapi tidak membatalkan pokok-pokok ajaran Islam. Maka jika hujjah belum tegak atasnya maka dia masih dianggap muslim, dia dishalatkan, (boleh) shalat dibelakangnya, mewarisi dan diwarisi dan yang lain sebagainya sampai hujjah tegak atasnya.
Jadi, tahulah kita perbedaan. Kalian lihat perkara ini aku berikan kepada kalian dengan ringkasan pada tiga kalimat. Kalian lihat kerancuan dan kekacauan yang banyak sekali pada perkara ini, yaitu perkara udzur dengan kejahilan.
Jika kalian memahami penjelasanku tadi, mudah olehmu perkara ini.
Sumber: Rekaman akhir pelajaran Kasyf-Syubuhat
السائل : العوام الذين سقطوا في الشرك بسبب علماء السوء ودعاة الضلالة ؟ فهل يأثمون ، وهل هم كفّار ؟
جواب العلامة سعد الشثري : نقول هنا مسألتين :
– الأولى : هل يأثم ؟
ج – نقول إذا ما عرف الحق لا يأثم .
– الثانية : هل هو كافر ؟
ج – نقول نعم ، هو كافر .
إذاً عندنا مسألتان :
1 – الإثم والعقوبة في الآخرة ؛ فلا يأثم ولا يعاقف في الآخرة ، لأن الله يقول: [ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا ] ( الإسراء 15 ) ، وهذا ما وصلهُ لا رسالة ولا بلغته ، [ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ] (الأنعام 19) ، [رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ] (النساء 165)
فهذا ما وصلته الرسالة .
2 – هل هو في الأحكام ، هل هو كافر ؟ :
– ج : نقول مادام عنده شركٌ فهو كافر ، و ماذا يترتب عليه ؟
نقول : يترتب عليه أحكام دنيوية ؛ فلا يُصلّى عليه ، ولا يُدعى له بالمغفرة ولا يُتصدق عنه ولا يُحج عنه ولا يُعتمر عنه ولا يرث ولا يُورث .. ونحو هذا من أحكام الكفار الدنيوية .
أما أمر الآخرة : فنقول أمره إلى الله ، الشيخ – يعني محمد عبد الوهاب – أشارَ في المقدمة إلى هذا الأمر ، وهو : الجاهل ، هل الجهل عذر ؟ أو ليس بعذر !؟ .
وهذه تنتبهون ، ترى الناس – يخلطون فيها – نقول عذر عن الإثم ، نقول نعم .
ونقول : عذر – يجعل هذا الشرك ليس سببا لدخول النار – ، نقول : نعم .
– طيب في الآخرة ( كيف يكون حالهم ) ؟
ج – يُمتحنون ؛ فيمتحنهم الله – عز وجل – في عرصات القيامة ، ونقول الله أعلم بما كانوا عاملين .
– لكن بالنسبة لأحكام الدنيا ، فهل الجهل عذر ؟
ج – نقول الجهل على نوعين :
1- الجهل بأصل دين الإسلام وهو التوحيد ، فهذا لا يُعذر فيه فيما يتعلق فيه بأحكام الدنيا .
2 – الثاني الجهل بغير أصل الإسلام ، مثل من اعتقد أن القرآن ناقص ؛ فهذا جهل لكنه لا يناقض أصل دين الإسلام ؛ فإذا لم تقم عليه الحجة فإنه لازال يُعدُّ مسلماً ، و يُصلى عليه ويُصلى خلفه ويرث ويُورث و نحو ذلك حتى تقوم عليه الحجة .
إذن عرفنا الفرق ؛ ترى المسألة هذه أعطيتكم ملخصها في ثلاث كلمات ، ترى فيها من اللبس والخلط الشيء الكثير ، وهي مسألة العذر بالجهل .
لو فهمتم كلامي – الذي قبل ( شوية ) تسهّل عليكم المسألة …