Ini adalah nukilan ke -2 yang menyanggah syubhat seputar takfir mu’ayyan dalam perkara syirik besar.
Beredar dikalangan penuntut ilmu dan awam anggapan bahwa pelaku syirik besar apabila perbuatannya dibangun diatas ijtihad maka dia mendapat satu pahala. Diantara dalil yang dijadikan sandaran dalam hal ini adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pada sebagian tempat, tapi keliru dalam memahaminya. Sehingga tanpa disadari ucapannya malah menjadi dalil bagi para penyembah kubur dalam membenarkan tindakannya. Perlu diketahui bahwa syubhat ini pernah dibantah oleh Al Allamah Aba Buthain dalam risalah beliau Al Intishar li Hizbillahil Muwahhidin war Rad ‘Alal Mujadil ‘Anil Musyrikin, dan saya bawakan nukil disini seperlunya.
Berkata beliau : Sebagian mereka telah membawakan (syubhat) bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’aala telah menyebutkan suatu ucapan dan hikayat-hikayat yang menunjukkan bahwa menyeru orang-orang mati bukan kesyirikan!!
Kemudian beliau berkata: Berkata sebagian para pembela (musyrikin) : Meski kami menerima dalih kalian pada sebagian perkara bahwa itu adalah kesyirikan atau kekufuran, sesungguhnya Syaikhul Islam telah menyebutkan di dalam Iqtidha’ Ash-Shiraat Al Mustaqim bahwa orang yang mentakwil (salah paham) dan mujtahid (orang yang berijtihad) tapi keliru dan orang yang hanya taklid, (mereka) dimaafkan atas perbuatannya dari (melakukan) kesyirikan dan kekufuran.
Ini adalah talbis (pengkaburan) dari penukil dan dusta atasnama Syaikhul Islam Rahimahullah. Karena Syaikhul Islam mengatakan demikian dalam konteks sebagian kebid’ahan-kebid’ahan seperti selalu berdoa kepada Allah di kuburan Nabi atau selainnya.
Syaikhul Islam berkata:
((Terkadang seseorang melakukan perbuatan yang dia yakini sebagai amal shalih, sedang dia tidak tahu bahwa perbuatan itu dilarang, maka ia diberi pahala atas niat baiknya dan dimaafkan atas ketidaktahuannya. Dan (perkara ini) babnya luas. Dan mayoritas ibadah-ibadah yang dibuat-buat (bid’ah) yang terlarang terkadang dilakukan sebagian orang dan pelakunya mendapatkan unsur dari kemanfaatan. Dan kondisi ini (bermanfaat) tidak menunjukkan bahwa perbuatan itu (berarti) disyariatkan. Kemudian si pelaku terkadang (mengerjakannya) karena takwil (salah paham) atau ijtihad tapi keliru atau taklid (ikut-ikutan) maka kesalahannya dimaafkan dan dia diberi pahala akan perbuatannya dari kebaikan yang disyariatkan meski bercampur dengan perbuatan yang tidak disyariatkan…))
Kesimpulan :
Maka tidak benar Syaikhul Islam beranggapan demikian, bahwa orang yang mengerjakan syirik akbar karena ijtihad meski pun keliru maka ia mendapat satu pahala. Dan menisbatkan pemahaman ini kepada beliau adalah kedustaan yang sumbernya salah dalam memahami ucapan ulama.
Selesai