Ini merupakan tahqiq (penegasan) akidah ulama dan imam-imam dakwah seputar perkara Al Udzur bil Jahl melalui keterangan Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh. Dimana telah terjadi kerancuan dalam perkara ini disebabkan campurtangan pihak-pihak yang tidak berkompeten dalam disiplin ini.
Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah sendiri merupakan keturunan langsung dari Imam Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Beliau keturunan mufti sekarang dan terdahulu. Ayahnya adalah Al Allamah Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh dan kakeknya adalah mufti sebelum Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, yaitu Al Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh. Sehingga beliau adalah orang yang paling mengerti maksud ucapan kakek-kakeknya dan guru-gurunya dari imam-imam dakwah daripada penulis-penulis kontemporer yang campurtangan berbicara seputar manhaj para imam dakwah.
Pada satu kesempatan beliau berkata: Begitu pula ketika dikatakan, sesungguhnya kamu (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) mengkafirkan orang yang berada di kubah Al Badawi dan Al Kawwaz. Asy-Syaikh Muhammad berkata: Saya tidak mengkafirkan orang yang berada di kubah Al Badawi dan Al Kawwaz karena tidak ada orang yang memperingatkan mereka..
Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh berkata:
Dalam perkara ini, telah campurtangan orang-orang sekarang (penulis kontemporer) dengan campurtangan yang jelek terhadap manhaj dakwah. Apakah manhaj dakwah Asy-Syaikh Muhammad dan imam-imam dakwah dahulu mereka memberi udzur dengan sebab kejahilan atau tidak memberi udzur? Dan ungkapan-ungkapan seputar ini. Padahal ungkapan seperti ini bukan merupakan pondasi bagi mereka “udzur bil jahl atau tidak ada udzur bil jahl”. Melainkan perkara ini terkait dengan pokok syar’i lainnya, yaitu apakah hujjah telah sampai atau belum sampai, atau hujjah yang sesuai dan tidak sesuai.
Adapun taqrir dalam perkara ini adalah sebagaimana yang beliau jelaskan berikut:
Berikut ini beberapa pertanyaan, aku pilih salah satu darinya. Penanya berkata: “Apa arti ucapan yang mengatakan: Dalam penegakan hujjah harus ada “terpenuhinya syarat-syarat dan tidak terdapat satu pun penghalang”?
Jawab: Menjadikan kaidah ini, yaitu: “terpenuhinya syarat-syarat dan tidak terdapat satu pun penghalang” bergandengan dengan masalah penegakan hujjah, saya tidak tahu, mungkin kurang tepat.
Biasanya kaidah ini digandengkan dengan perkara asma’ dan ahkam (pelebelan dan hukum). Dengan kata lain, apakah orang ini kafir? Kapan dikatakan: “Dia kafir”? kapan dikatakan: “Dia mubtadi”? kapan dikatakan: “Dia fasik”? dan seterusnya.
Lebel-lebel ini dan sifat-sifat ini, inilah yang dimaksud pada ucapan para ulama: “Dalam melebelkan person tertentu (mu’ayyan) harus terpenuhi syarat-syarat dan tidak terdapat satu pun penghalang.” Adapun dalam perkara “penegakan hujjah” saya tidak ingat ada seorang ulama mengatakan seperti itu.
Apa maksud ucapan mereka: hujjah tegak dengan diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Benar, hujjah itu dengan diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada seluruh alam semuanya ((Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam)). Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus kepada manusia seluruhnya. Dan beliau juga bersabda; ((Tidak satu pun dari ummat ini yang mendengar tentang aku, apakah dia Yahudi atau Kristen, kemudian dia tidak beriman kepada aku, kecuali Allah masukkan dia ke dalam api))
Dan aku pernah mendengar ucapan Al ‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani bahwa beliau mengatakan tentang penjelasan hadits ini, dan aku mendengarnya langsung, bahwa beliau berkata: “Tidak satu pun dari ummat ini mendengar tentang aku” ini seperti ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam “Barangsiapa bermimpi melihat aku, berarti dia telah melihatku” dimana pada penjelasan hadits mimpi ini: barangsiapa melihat aku sesuai bentuk yang Allah telah ciptakan aku. Maka sabda beliau pada hadits (diatas) “Tidak satu pun ummat ini yang mendengar tentang aku” maksudnya: mendengar tentang ajaranku sesuai yang Allah amanahkan kepadaku. Maka jika disana ada berita yang diselewengkan, berita yang tidak sesuai dengan ajaran yang sebenarnya dibawa oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ini seperti bermimpi melihat nabi tapi tidak sesuai bentuk aslinya, sehingga yang seperti ini tidak dianggap telah mengetahui kebenaran.
Ini dari Asy-Syaikh (Nashiruddin Al Albani) menurutku, keterangan yang berharga. Karena dalam penjelasan hujjah dan penegakannya harus agama ini (dimata dia) jelas. Tidak cukup dia hanya mendengar sebagian hujjah, kemudian dia tidak memahaminya, yaitu petunjuk-petunjuknya tidak ditegakkan atasnya. Tidak cukup dia hanya mendengar isu-isu, melainkan orang Yahudi dan Kristen dan selain mereka harus mendengar perihal diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana dia diutus (bukan berita yang sudah diselewengkan –pentj).
Maka jika ada dari mereka yang mendengar perihal ini, yaitu perihal tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tapi dia tidak mengenal ajarannya, tidak mengenal dengan benar ajarannya sebagaimana para ahli ilmu. Apabila dia tidak mengenal Al Qur’an dan hujjah tidak ditegakkan dari sisi lain, orang ini tidak dikatakan: Bahwa hujjah risaliyah telah tegak atasnya.
Tapi pihak yang kami maksud disini adalah orang-orang yang mungkin tidak mendengar perihal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, atau mereka mendengar tentangnya melalui berita yang diselewengkan. Kondisi ini mungkin bisa menyelamatkan mereka, pada hari kiamat diutus kepada mereka seorang utusan, barangsiapa mentaatinya dia masuk surga dan barangsiapa bermaksiat kepadanya dia masuk neraka. Yaitu apabila orang ini tidak mendengar tentang Islam sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Begitu pula musyrikun dari ummat ini, apabila mendengar sedikit saja misalnya di sebagian negeri-negeri, mereka mendengar sedikit kabar dari Ahlussunnah, misalnya Anshar Sunnah di negeri-negeri yang terdapat disana kesyirikan. Mereka mendengar sedikit dari berita-beritanya. Akan tetapi belum ditegakkan atas mereka hujjah, dalam artian belum diterangkan kepada mereka dalil-dalil. Apakah mendegar saja cukup?
Masalah ini ulama berselisih. Dan para imam-imam dakwah berkata: Mendengar adanya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab belum cukup kecuali di Jazirah (jazirah arab) karena dakwah ini tampak pada waktu itu, dakwah tampak dan terjadi penaklukan-penaklukan dan orang-orang mendapat penjelasan di segenap jazirah. Adapun di selain jazirah, apabila belum mendengar adanya dakwah maka harus ada penegakan hujjah.
Apabila belum tegak hujjah, apakah penyembah kubur dikafirkan atau tidak? Jawabannya: iya. Barangsiapa melakukan kesyirikan, maka dia musyrik. Syirik akbar, barangsiapa melakukannya maka dia musyrik. Adapun penegakan hujjah adalah syarat wajibnya permusuhan. Sebagaimana orang Yahudi dan Kristen kita sebut mereka kafir. Mereka orang-orang kafir (Yahudi dan Kristen) meski pun belum mendengar perihal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sama sekali. Begitu pula penyembah berhala dan kubur dan semisalnya, barangsiapa melakukan kesyirikan maka dia musyrik. Dan berlaku atasnya hukum-hukum musyrikin di dunia. Adapun jika belum tegak padanya hujjah, maka orang ini tidak dipastikan penghuni neraka jika dia mati. Melainkan urusannya tergantung, sampai ditegakkan atasnya hujjah di hadapan Allah Jalla wa ‘Ala.
Maka berbeda antara kita mensyaratkan adanya penegakan hujjah dengan abstain memvonisnya sebagai musyrik. Barangsiapa melakukan syirik besar maka dia musyrik, berlaku atasnya hukum-hukum terkait di dunia. Bahwa dia tidak dimintakan ampunan, sembelihannya tidak dimakan, tidak berkurban untuknya dan semisalnya dari hukum-hukum. Adapun vonis atasnya dengan kekufuran lahir dan batin, perkara ini tergantung sampai ditegakkan atasnya hujjah. Apabila belum tegak atasnya hujjah, maka urusannya kembali kepada Allah Jalla wa ‘Ala.
Ini merupakan tahqiq (penegasan) ucapan para ulama seputar masalah ini, yaitu perkara yang rinci yang dikenal dengan perkara Al Udzru bil Jahl.
Sumber: Syarah Masa’il Jahiliyah
https://app.box.com/s/hv14oy575jbb5eap2ygm