TERJEBAK KE DALAM PEMAHAMAN IRJA’

Mendudukkan Dr. Abdul Aziz bin Rayis Ar-Rayis

dan pendapatnya yang mencocoki kaum Murji’ah

sekaligus pembelaan terhadap para ulama kita yang dituduh keliru

dan diklaim sepakat dengan pendapatnya

Tulisan;

Abdullah bin Nashir bin Abdul Aziz An-Najim

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيم

Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada pemberi kabar gembira dan peringatan. Dan kepada keluarga dan para shahabat serta pengikut mereka, amma ba’du;

Dr Abdul Aziz Ar-Rayis semoga Allah memberi taufik kepadanya dan menunjukinya, memiliki karya-karya dan tulisan-tulisan serta makalah dan ceramah. Disana ia berbicara seputar perkara-perkara penting berkaitan dengan iman, takfir dan irja’. Pada sebagiannya telah mencocoki kebenaran, tapi pada sebagian lainnya keliru. Oleh karena beliau memiliki semangat yang baik dalam membantah orang-orang yang menyelisihi dan ahli bid’ah yang sesat sungguh menyedihkan aku sebagaimana menyedihkan hati semua orang yang mencintai kebenaran bahwa beliau juga memiliki bagian dari penyimpangan-penyimpangan ini. Maka disini saya ingin mengomentari persoalan-persoalan yang aku dapati bahwa ia telah meninggakan kebenaran disitu[1] yang dianggap oleh para ulama sebagai ketergelinciran di dalam irja’. Hal ini saya tempuh sebagai pembelaan kepada agama Allah dan menasihati ummat Musthafa Shallallahu ‘Alaihi Wasallam semuanya, dan sekaligus kepadanya secara khusus dan orang-orang yang terpengaruh dengannya.

Maka dengan meminta taufik dari Allah, aku katakan;

Sesungguhnya persoalan-persoalan paling pentung yang akan saya paparkan dan diskusikan serta beri sanggahan disini adalah;

1- Kedudukan amal perbuatan dalam keimanan

2- Udzur bil jahl dalam persoalan tauhid dan sikap para ulama dahulu dan sekarang terhadap perkara ini.

3- Taubatnya Dr. Rayis dari tuduhan yang dialamatkan kepadanya serta sikap para ulama dan penuntut ilmu darinya.

1- Kedudukan Amal Perbuatan disisi Keimanan

Dr. Ar-Rayis telah menegaskan pada tulisan-tulisannya akidah salaf dalam persoalan iman secara global. Tapi saat beliau menghukumi sebagian pernyataan-pernyataan yang baru keluar kami dapati ia telah keliru dalam menghukumi. Dia telah menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam akidah irja’. Diantara contohnya adalah ucapannya; “Tidak ada kekufuran dhahir kecuali telah di dahului dengan kekufuran batin[2]. Ia berkata pada kitabnya Al Ilmam;

            Ahlussunnah menegaskan keterkaitan antara lahir dan batin dengan keterkaitan yang tidak terpisahkan. Maka tidak terdapat kekufuran pada dhahir kecuali berarti ada kekufuran batin.[3]

Komentar dan sanggahan;

Barangsiapa memperhatikan dengan adil ucapan ini dia akan mendapati ucapan ini mencocoki apa yang diyakini kaum Murji’ah yang mengatakan bahwa kekufuran asalnya di dalam hati. Dan apabila hati tidak kufur, anggota badan juga tidak kufur. Adapun menurut Ahlussunnah wal Jama’ah sesungguhnya keyakinan hati adalah rukun tersendiri, dan amalan anggota badan juga rukun tersendiri, dan begitu juga ucapan lisan (rukun tersendiri). Dan dalam menghukumi ucapan kekufuran atau perbuatan kufur, Ahlussunnah tidak melihat kepada keyakinan hati. Tapi mereka memperlakukan manusia sesuai yang lahir darinya dan sesuai yang tampak. Berikut ini adalah pendapat para ulama tentang hal ini;

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata;

Allah Ta’aala berfirman berkenaan tentang orang-orang yang mengolok-olok (agama); “Jangan kalian mencari-cari alasan, kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” (Qs. At-Taubah; 66). Allah menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang kafir dengan sebab ucapan sekalipun mereka tidak meyakini kebenaran ucapannya.[4]

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata; Begitu pula orang-orang yang Allah terangkan tentang mereka; “…dan apabila kamu tanya mereka, mereka akan menjawab; Sesungguhnya kami hanya senda gurau dan main-main saja. Katakanlah; Apakah Allah, dan ayat-ayat Nya dan rasul-Nya kalian mengolok-olok. Jangan mencari-cari alasan, kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” (Qs. At-Taubah; 65-66). Mereka adalah orang-orang yang telah Allah sebut terang-terangan bahwa mereka telah kafir setelah keimanan mereka, padahal mereka bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada perang Tabuk. Mereka telah mengucapkan kalimat kekufuran yang mereka sebutkan bahwa mereka mengatakannya main-main.[5]

Asy-Syaikh Ar-Rajihi pernah ditanya tentang ucapan ini; “Tidak ada kekufuran lahir kecuali berarti ada kekufuran batin”[6] Beliau hafidzahullah menjawab; Ini ucapan Murji’ah, ini ucapan batil. Kerena kekufuran terjadi dengan hati (keyakinan) dan terjadi dengan keraguan, dan terjadi dengan ucapan. Seperti orang yang mencaci Allah, atau mencaci Rasul, atau mengolok-olok Allah, atau kitab-Nya atau rasul-Nya, atau menyeru selain Allah. Dan kekufuran terjadi dengan perbuatan, seperti orang yang sujud kepada berhala, atau menyembelih untuk selain Allah. Dan terjadi juga dengan penolakan dan meninggalkan, seperti orang yang meninggalkan agama Islam tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya.[7]

Seseorang mungkin berkata; Dr Ar-Rayyis telah menyatakan hal itu. Beliau berkata; Bukan maksudnya disini kami tidak mengkafirkan kecuali setelah pengenalan hati, tapi siapa yang menampakkan kekufuran dia diperlakukan sesuai yang tampak[8]” Sanggahan terhadap hal ini sebagai berikut;

Kedua ungkapan darinya ini saling bertentangan dan tidak bisa dikompromikan. Barangsiapa mengatakan para persoalan takfir; “Tidak ada kekufuran lahir kecuali didahului dengan kekufuran pada batin” tidak bisa mengatakan; “Barangsiapa menampakkan kekufuran dia diperlakukan sesuai yang tampak” kecuali pasti jatuh kepada sikap yang kontradiktif, seperti yang terjadi pada Dr. Ar-Rayyis disini.

Dan kami katakan kepada Dr. Ar-Rayyis juga; Talazum (keterkaitan lahir dengan batin) perkara sendiri, dan pengkafiran perkara sendiri lainnya. Dan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana telah lalu menetapkan hukum kekufuran kepada ucapan, atau perbuatan kufur yang tampak tanpa melihat kepada yang ada di dalam hati pelakunya.

Diantara dalil-dalil yang paling jelas terkait persoalan talazum ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam; “Ketahuilah sesungguhnya di dalam diri (manusia) terdapat segumpal daging. Apabila baik, baik diri orang itu seluruhnya. Dan apabila rusak, rusak diri orang itu seluruhnya. Ketahuilah dia adalah jantung.”[9]

Hadits ini dari sisi pondasi dan kaidah merupakan pokok bagi pengertian talazum antara yang lahir dengan yang batin. Tapi saat berbicara tentang alasan pengkafiran atau iman maka penilainnya dibangun sesuai yang tampak. Dan petunjuknya yang paling terang adalah sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Khalid Radhiyallahu ‘Anhu saat dia minta izin kepada nabi untuk memenggal leher orang yang memprotes nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkenaan dengan hukumnya. Ia berkata; Wahai Rasulullah, boleh aku penggal lehernya? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; “Sepertinya dia shalat.” Khalid berkata; Berapa banyak yang shalat mengucapkan dengan lisannya apa yang tidak terdapat di dalam hatinya. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; “Aku tidak diperintah untuk mengorek hati manusia atau membelah isi hati mereka.”[10]

Dan jika kita ingin lebih memperjelas persoalan ini agar semakin tampak lemahnya pendapat ini, dan bahwa pendapat adanya talazum tidak bersebrangan dengan menghukumi seseorang itu muslim atau kafir secara dhahir, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghukumi orang-orang munafik sesuai dhahir mereka yang mengaku muslim dan memberlakukan atas mereka hukum sebagai muslim apabila tidak tampak pada mereka pembatal dari pembatal-pembatal keislaman. Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui kemunafikan orang yang banyak dari mereka. Apa boleh wahai Doktor kamu katakan berkenaan dengan orang-orang munafik itu; Semua keimanan yang dhahir pada mereka didahului dengan keimanan batin?!

Dan apabila ada orang lain yang mengatakan; Lantas bagaimana menjawab nukilan-nukilan yang dia bawakan dari Syaikhul Islam rahimahullah yang menguatkan pendapatnya?[11]

Sanggahan atas hal ini sebagai berikut;

Syaikhul Islam berbicara seputar talazum, dan tidak menyinggung peroalan takfir. Sedangkan nas-nas ahli ilmu yang sifatnya global menjadi jelas dengan nas-nas mereka yang terperinci. Diantaranya adalah ucapan Syaikhul Islam rahimahullah yang telah lalu tentang orang-orang yang mengolok-olok agama; “Allah menerangkan bahwa mereka orang-orang kafir dengan sebab ucapan, padahal mereka tidak meyakini kebenaran ucapannya…”[12]

Juga ucapan beliau; Apabila (seseorang) mencaci Allah, atau mencaci rasul-Nya dia kafir lahir dan batin. Sama saja apakah orang itu meyakini bahwa yang demikian itu haram hukumnya atau menganggapnya halal, atau lalai dari meyakininya. Inilah mazhab fuqaha’ dan segenap Ahlussunnah yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan. Al Imam Abu Ya’qub Ishaq bin Ibrahim Al Handzali –yang populer dikenal dengan Ibnu Rahawaih, salah seorang imam yang setara dengan Asy-Syafi’i dan Ahmad berkata; Ummat Islam telah sepakat bahwa barangsiapa mencaci Allah, atau mencaci rasul-Nya, atau menolak salah satu dari apa yang Allah turunkan, atau membunuh nabi dari nabi-nabi Allah, bahwa dia kafir dengan sebab itu, sekalipun meyakini semua yang Allah turunkan.”[13]

Dan apabila ada yang mengatakan; Apa hubungan perkataan ini dengan irja’?

Saya katakan; Ucapan Doktor ini yaitu perkataannya: “Tidak ada kekufuran dhahir kecuali berarti ada kekufuran batin” dinilai sebagai perkataan irja’ karena konsekwensinya kita tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab perbuatannya atau ucapannya yang dhahirnya kufur, selagi dia masih yakin dan membenarkan, karena kaidah talazum. Dan telah kami ketengahkan bahwa pengkafiran dengan sebab ucapan dan perbuatan adalah satu perkara, dan talazum (keterkaitan) lahir dan batin adalah perkara lain.

Maka pengkafiran dengan alasan talazum adalah perkataan Murji’ah dulu dan sekarang, sama dan serupa yang mengatakan; “Tidak ada kekafiran kecuali dengan keyakinan.”[14] Maka mereka menolak menjadikan amal perbuatan atau ucapan dari menjadi sebab kekufuran yang berdiri sendiri.

Dan sumber kesalahan Doktor Rayyis adalah mendatangkan redaksi talazum dalam persoalan pengkafiran. Seandainya ia memisahkan sebagaimana para ulama memisahkan, dan memisahkan antara dua persoalan, antara persoalan kaidah dengan persoalan hukum tentu ia akan selamat dari kritikan.


[1] Aku tidak meliput semua kekeliruannya tapi hanya yang menurutku penting saja

[2] Jawabi li Ba’dhil Fudhala’ halaman 8

[3] Al Ilmam halaman 84

[4] Ash-Sharim Al Maslul (3/369)

[5] Kasyf Syubuhat, halaman 43

[6] Redaksi yang ditanyakan kepada Asy-Syaikh Ar-Rajihi; “Tidak ada kekufuran pada dhahir kecuali didahului dengan kekufuran batin” intinya sama saja.

[7] Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Asy-Syaikh pada salah satu majlis ilmiyah. Jawaban ini ada pada rekaman di situs web.

[8] Kitab Jawabi li Ba’dhil Fudhala’ halaman 8

[9] HR Al Bukhari (52) dan Muslim (4101)

[10] HR Al Bukhari (4351) dan Muslim (2416)

[11] Lihat kitabnya; Jawabi li Ba’dhil Fudhala’ halaman 8

[12] Ash-Sharim Al Maslul (1/533)

[13] Ash-Sharim Al Maslul (1/513)

[14] Jawabi li Ba’dhil Fudhala’ halaman 9

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *