Udzur bil Jahl dalam Persoalan-persoalan Tauhid Ibadah dan Sikap para Ulama Dahulu dan Sekarang

2- Udzur bil Jahl dalam persoalan-persoalan tauhid ibadah dan sikap para ulama dahulu dan sekarang

Diantara kekeliruan fatal yang dilakukan Doktor (Abdul Aziz Ar-Rayyis) adalah pada persoalan memberi udzur kejahilan bagi orang yang mengaku muslim secara mutlak. Yaitu pada persoalan-persoalan tauhid ibadah. Beliau telah membawakan dalil-dalil dan nukilan yang banyak dari para ulama yang ia kira sejalan dengan pendapatnya. Aku akan bawakan perkataan-perkataan Doktor Ar-Rayyis seputar persoalan ini, kemudian aku akan ketengahkan setelahnya sanggahannya dan aku akan terangkan kesalahpahaman dia yang dia pegangi dengan didukung pendapat yang benar dan perkataan-perkataan yang terang bendengar dari para ulama.

Maka sambil minta pertolongan dari Allah, saya katakan;

Doktor Ar-Rayyis telah memberi udzur pada persoalan kesyirikan yang besar kepada mu’ayyan (person) yang tinggal di tengah-tengah muslimin dan para ulama banyak didapati disana, serta ilmu tersebar di negerinya.

Diantara ucapannya;

1- “Termasuk perkara penting dan darurat membedakan antara perbuatan-perbuatan yang dhahirah yang tidak mengandung kemungkinan lain kecuali kekufuran besar, bertentangan dengan keimanan dari semua sisinya, seperti membunuh nabi, menghinakan mushaf, dan yang semisalnya. Dengan perbuatan-perbuatan yang mengandung kemungkinan kufur dan kemungkinan lainnya, yang tidak bertentangan dengan keimanan dari semua sisi. Karena sesungguhnya jenis yang pertama pelakunya kafir secara mutlak apabila terpenuhi pada dirinya syarat-syarat (kekufuran) dan tidak didapati padanya penghalang-penghalang (kekufuran)”[1]

2- “Mengingkari salah satu dari kekuasaan Allah, atau meragukannya adalah kekufuran. Kendati demikian (Allah) telah mengudzur orang ini karena kejahilannya. Seperti ini kita katakan pada semua kekufuran. Bahwa pelakunya diberi udzur karena kejahilan. Barangsiapa yang ingin membedakan wajib mendatangkan dalil.” [2]

3- “Sebagian mereka menegaskan bahwa barangsiapa tinggal di negeri muslimin maka tidak ada udzur (baginya), berbeda dengan selain mereka maka diberi udzur. Seperti ini juga perbedaan antara orang yang baru masuk Islam dengan selainnya. Pemisahan seperti ini hanya pemisahan global dan bukan kaidah yang baku.”[3]

4- “Banyak orang memisahkan antara perkara ma’lum minad-diin bid-dharurah dengan selainnya. Lalu membangun diatasnya hukum kafir atas orang yang mengingkari persoalan ma’lum minad-diin bid-dharurah, sedangkan mengingkari persoalan lainnya tidak kafir. Pembagian syariat terhadap dua persoalan ini tidak bisa diterima begitu saja, lalu bagaimana lagi jika dibangun diatasnya hukum pengkafiran?!”[4]

5- “Para ulama sepakat mensyaratkan pemahaman….perselisihan terjadi pada kadar pemahaman ini. Dan pemahaman yang cukup adalah yang tidak menyisakan bagi seseorang alasan/udzur dari menerima ilmu, yaitu dengan hilangnya syubhat yang menghalangi pengkafiran darinya.”[5]

Komentar dan sanggahan;

Orang yang jahil (tidak tahu) pada persoalan-persoalan pokok agama atau tauhid ibadah tidak diberi udzur kecuali pada dua keadaan saja, yaitu;

– Orang yang tinggal di negeri terpencil yang jauh dari ilmu dan para ulama. Allah Ta’aala berfirman; “Dan Kami tidak menghukum (seorang pun) sampai kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al Israa’; 15). Dan Allah Ta’aala berfirman; “Dan tidak adalah Rabbmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (Qs. Al Qashshash: 59)

– Orang yang baru masuk Islam. Dalilnya adalah hadits Abu Waqid Al Laitsi Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata; Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menuju Hunain. Dan kami adalah orang yang baru saja masuk Islam. Orang-orang musyrik memiliki pohon Sidr yang disitu mereka melakukan i’tikaf dan menggantungkan padanya senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut dengan Dzaatu Anwath. Lalu kami melewati sebuah pohon Sidr. Maka kami berkata; Wahai Rasulullah! Buatkan untuk kami Dzaatu Anwath seperti mereka punya Dzaatu Anwath. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; Allahu Akbar! Ini adalah ajaran! Apa yang telah kalian ucapkan itu, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, adalah seperti ucapan Bani Israil kepada Musa; “Buatkan untuk kami ilah seperti mereka punya ilah.” (Qs. Al A’raf; 138). Sungguh kalian akan benar-benar mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian.”[6]

Diantara perkataan para ulama tentang hal ini;

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata; Barangsiapa mengingkari Allah, atau menjadikan bagi-Nya sekutu, atau pasangan, atau anak, atau mendustakan Allah Ta’aala, atau mencaci-Nya, atau mendustakan rasul-Nya, atau mencacinya, atau mengingkari nabi, atau mengingkari kitab Allah, atau salah satu darinya, atau mengingkari salah satu dari rukun-rukun Islam, atau menghalalkan yang haram dimana ada ijma’ akan keharamannya, maka dia murtad. Kecuali apabila dia termasuk dari orang-orang yang tersamarkan atasnya kewajiban-kewajiban dan keharaman-keharaman, maka dia diberitahu. Apabila tidak menerima dia kafir.[7]

Baha’ud-Diin Al Maqdasi berkata mengomentari perkataan Ibnu Qudamah di atas; Orang yang tersamarkan atasnya persoalan tersebut adalah orang yang baru masuk Islam, atau hidup di negeri terpencil dari kaum muslimin. Maka dia diberitahu. Apabila dia meralat (maka dilepas) jika tidak maka dibunuh. Dan adapun orang yang hidup di tengah-tengah muslimin sebagai muslim, maka dia kafir, dituntut bertaubat, apabila bertaubat (dilepas) apabila tidak maka dibunuh. Yang demikian ini karena penetapan perkara-perkara ini  jelas di dalam Al Kitab dan As-Sunnah. Maka orang yang tidak beriman dengannya berarti mendustakan Allah dan rasul-Nya. Sehingga dia menjadi kafir karenanya, seperti yang telah kami katakan tentang orang yang mengingkari rukun-rukun Islam.[8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata; Persoalan; Maka barangsiapa mengingkari kewajibannya karena jahil (tidak tahu) maka diberitahu. Dan apabila dia mengingkarinya karena inad (sudah diberitahu masih bandel –pentj) maka dia kafir. Perkara ini berlaku pada rukun-rukun Islam yang lima dan pada semua hukum-hukum yang dhahirah yang disepakati, dari seorang mukallaf, apabila orang yang mengingkari itu orang yang pantas diberi udzur, seperti orang yang baru masuk Islam, atau hidup di negeri yang terpencil dimana negeri seperti itu besar kemungkinan seseorang jahil akan hal diatas. Maka orang tersebut tidak kafir sampai diberitahu bahwa ini adalah agama Islam. Karena hukum-hukum kekufuran dan hukuman-hukuman tidak berlaku kecuali setelah sampainya risalah.[9]

Beliau juga berkata; Seseorang mungkin baru masuk Islam, atau tumbuh di negeri yang jauh. Dan orang yang seperti ini tidak kafir dengan mengingkari persoalan-persoalan yang dia ingkari sampai hujjah menjadi tegak atasnya.[10]

Syaihul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata; Sesungguhnya orang yang belum tegak hujjah atasnya adalah orang yang baru masuk Islam, dan orang yang tumbuh di negeri yang terpencil yang jauh, atau yang demikian itu (maksudnya; pelanggarannya) pada persoalan-persoalan yang samar, seperti; sharf dan athaf. Maka pelakunya tidak dikafirkan sampai diberitahu. Sedangkan persoalan pokok-pokok agama yang telah Allah terangkan dan sempurnakan keterangannya di dalam kitab-Nya, sesungguhnya hujjah Allah adalah Al Qur’an. Maka barangsiapa telah sampai kepadanya Al Qur’an, berarti telah sampai kepadanya hujjah.[11]

Samahatus-Syaikh Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya tentang perbuatan yang banyak dilakukan orang-orang dari para penyembah kuburan dan pusara-pusara berupa memberikan ibadah kepadanya dan minta kepada penghuninya kesembuhan bagi orang sakit dan dikeluarkan dari kesulitan-kesulitan. Apakah orang yang meninggal dunia sedangkan akidahnya seperti ini kekal di neraka Jahannam, dan apakah orang yang jahil (tidak tahu) persoalan ini diberi udzur?

Beliau rahimahullah menjawab; ….kesimpulannya bahwa perbuatan ini termasuk ke dalam kesyirikan yang besar. Pelakunya apabila meninggal dunia diatas perbuatannya masuk neraka dan kekal disana. Hanya kepada Allah kita minta keselamatan. Kecuali apabila belum sampai kepadanya dakwah, maka dia termasuk ahli fatrah yang dakwah belum sampai kepadanya di tempat-tempat dimana dakwah tidak sampai kepada mereka, Al Qur’an tidak sampai kepada mereka, begitu juga ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka orang ini nasibnya kembali kepada Allah Jalla wa ‘Ala di hari kitamat. Dia diuji di hari kiamat. Barangsiapa lulus dari ujian tersebut dia masuk surga, dan barangsiapa gagal dia masuk neraka. Maksudnya bahwa dia diuji di hari kiamat. Barangsiapa mematuhi perintah dia masuk surga, dan barangsiapa bermaksiat dia masuk neraka. Adapun orang yang saat di dunia Al Qur’an telah sampai kepadanya, As-Sunnah telah sampai kepadanya dan dia tinggal di antara kaum muslimin, maka orang ini tidak diberi udzur dengan pengakuannya saya jahil.[12]

Beliau juga ditanya; Semoga Allah memaafkanmu. Orang yang mengatakan harus terpenuhi syarat-syarat berkenaan dengan orang yang akan dikafirkan personnya, dan harus tidak didapati penghalang-penghalang? Beliau menjawab; Persoalan-persoalan yang dhahirah (terang benderang) tidak memerlukan apa-apa. Seseorang menjadi kafir dengan sekedar melakukannya. Karena perkara tersebut tidak tersamarkan bagi kaum muslimin. Diketahui darurat bagian dari agama (ma’lum minad-diin bid-dharurah). Berbeda dengan persoalan yang mungkin tersamarkan seperti syarat dari syarat-syarat shalat, syarat dari syarat-syarat zakat, sebagian harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, wajib atau tidak wajib, sebagian persoalan-persoalan haji, sebagian persoalan-persoalan puasa, sebagian persoalan-persoalan mu’amalah, sebagian persoalan-persoalan zina.[13]

Maka berdasarkan ini jelaslah bahwa tidak ada udzur bagi orang yang terjatuh kepada kesyirikan, atau mengingkari persoalan ma’lum minad-diin bid-dharurah, apabila dia tinggal di negeri muslimin, di tengah adanya ilmu dan para ulama. Al Qur’an dibacakan, dan dia termasuk orang yang paham bahasa. Maka apabila dia mengklaim sebagai orang jahil, kita katakan kepadanya; Pengakuanmu ini tertolak. Karena tegaknya hujjah dengan sampainya Al Qur’an sudah cukup. Sedangkan kamu dengan keadaanmu ini berpaling dari Al Qur’an, lalai dari mencari ilmu.

Maka diantara ucapan para ulama tentang hal ini adalah;

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata; Maka telah dimaklumi bahwa hujjah itu tegak dengan Al Qur’an atas orang yang telah sampai kepadanya, seperti yang terdapat pada firman-Nya; “Dan telah diwahyukan kepadaku Al Qur’an ini agar aku beri peringatan kepada kalian dengannya, dan orang-orang yang sampai (kepadanya Al Qur’an ini).” (Qs. Al An’am; 19). Maka barangsiapa sampai kepadany asebagian Al Qur’an dan sebagiannya lagi tidak sampai, telah tegak atas dia hujjah dengan apa yang telah sampai kepadanya, dan yang belum sampai kepadanya (hujjah belum tegak atasnya –pentj).[14]

Beliau juga berkata; Dan apabila dalam perkara-perkara yang samar mungkin dikatakan; dia disitu telah keliru dan sesat, hujjah yang menjadikan kafir orang yang mengingkarinya belum tegak atas dia. Akan tetapi persoalan yang mereka terjatuh padanya termasuk ke dalam persoalan-persoalan yang terang benderang (dhahirah) yang dikenal oleh orang berilmu dan awam dari kaum muslimin, bahkan orang-orang Yahudi dan Kristen dan musyrikin tahu bahwa Muhammad diutus untuk mengajarkannya dan mengkafirkan orang yang melanggarnya, seperti persoalan peribadahan kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, dan larangan-Nya dari beribadah kepada siapa pun selain Allah, apakah malaikat, para nabi dan selain mereka.  Sesungguhnya ini adalah syiar Islam yang paling tampak. Dan seperti memusuhi Yahudi, Kristen dan musyrikin. Dan seperti pengharaman terhadap kekejian-kekejian, riba, khamr, judi dan seterusnya. Kemudian kamu dapati banyak dari pimpinan-pimpinan mereka terjatuh ke dalam perlanggaran jenis ini sehingga mereka murtad.[15]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata; Hujjah Allah tegak atas hamba dengan diutus seorang rasul dan diturunkan Al Kitab dan sampainya hal ini kepadanya dan kemampuannya dari mengetahui, apakah dia tahu atau tidak. Maka siapa saja yang memiliki kemampuan untuk mengenali apa yang Allah perintahkan dan larang, kemudian dia lalai darinya sehingga tidak mengetahuinya, maka hujjah telah tegak atas dia. Dan Allah tidak mengazab seorang pun kecuali setelah hujjah tegak.[16]

Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata; Dan adapun pokok-pokok agama yang telah Allah terangkan dan sempurnakan keterangannya di dalam kitab-Nya, sesungguhnya hujjah Allah (dalam perkara ini –pentj) adalah Al Qur’an. Maka barangsiapa sampai kepadanya Al Qur’an berarti telah sampai hujjah kepadanya.[17]

Beliau juga berkata; Tapi pokok persoalannya adalah kalian tidak membedakan antara tegak hujjah dengan paham hujjah. Padahal kebanyakan orang-orang kafir dan munafik dari muslimin tidak memahami hujjah Allah disamping hujjah itu sudah tegak atas mereka, seperti yang Allah Ta’aala terangkan; “Apakah kalian menyangka bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memahami. Tidaklah mereka kecuali seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi jalannya.” (Qs. Al Furqan; 44). Maka tegak hujjah adalah satu persoalan, dan sampainya hujjah adalah persoalan lainnya. Dan telah tegak hujjah atas mereka (dengan sampainya hujjah -pentj). Dan mereka memahami hujjah itu persoalan lain lagi. Dan kafirnya mereka adalah dengan sampainya hujjah kepada mereka, sekalipun mereka tidak memahami.[18]

Asy-Syaikh Ibnu Sahman berkata; Guru kami, Asy-Syaikh Abdul Lathif rahimahullahberkata; Dan perlu diketahui perbedaan antara tegak hujjah dan paham hujjah. Karena siapa saja yang sampai kepadanya seruan para rasul berarti hujjah telah tegak atasnya, apabila kondisinya memungkinkan dia mengetahui. Dan bukan syarat dalam tegaknya hujjah seseorang harus memahami keterangan Allah dan rasul-Nya seperti yang dipahami ahli iman dan orang yang sudah menerima dan tunduk terhadap ajaran yang dibawa oleh rasul. Pahamilah ini akan tersingkap darimu banyak syubhat seputar persoalan tegak hujjah. Allah Ta’aala berfirman; “Apakah kalian menyangka bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memahami. Tidaklah mereka kecuali seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi jalannya.” (Qs. Al Furqan; 44). Dan Allah Ta’aala berfirman; “Allah mengunci mati hati-hati mereka dan pendengaran mereka dan diatas pengelihatan mereka ada tabir.” (Qs. Al Baqarah; 7)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata; Saya katakan; maksud dari ucapannya rahimahullah; “apabila kondisinya memungkinkan dia mengetahui” bukan orang tidak berakal, tidak mumayyiz seperti anak kecil dan orang gila. Atau orang yang tidak paham bahasa dan tidak didapati penerjemah yang menerjemahkan baginya. Orang-orang seperti mereka barangsiapa sampai kepadanya risalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sampai kepadanya Al Qur’an berarti hujjah telah tegak atasnya. Allah Ta’aala berfirman; “Agar aku beri peringatan kalian dengannya (Al Qur’an) dan orang-orang yang sampai kepadanya (Al Qur’an).” (Qs. Al An’am; 19). Dan Allah Ta’aala berfirman; “Agar tidak ada bagi manusia hujjah (alibi/alasan) setelah para rasul (diutus).” (Qs. An-Nisaa’; 65). Maka tidak ada udzur bagi seorang pun yang meninggalkan keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya dan hari akhir. Maka tidak ada udzur baginya setelah hal ini dengan alasan kejahilan. Allah Ta’aala telah mengabarkan kejahilan banyak dari orang-orang kafir disamping Allah mencap mereka sebagai kafir. Allah mensifati orang-orang Kristen dengan kejahilan, disamping itu seorang muslim tidak ragu akan kekafiran mereka. Dan kita pastikan bahwa kebanyakan Yahudi dan Kristen sekarang jahil dan ahli taklid.[19]

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata; Siapa saja yang hidup di tengah muslimin, atau sampai kepadanya Al Qur’an atau As-Sunnah maka hujjah telah tegak atasnya. Maka yang wajib atasnya adalah belajar dan bertanya dan mencari ilmu sampai tunai kewajibannya dan sampai berada di atas bashirah. Adapun orang yang berada di negeri yang jauh, Al Qur’an dan As-Sunnah tidak sampai kepadanya, maka orang ini dikatakan termasuk ahli fatrah. Hukum atasnya hukum ahli fatrah, bukan muslim bukan kafir. Bahkkan dia termasuk dari ahli fatrah. Nasibnya di hari kiamat tergantung. Dia akan diuji di hari kiamat. Apabila lulus masuk surga tapi apabila bermaksiat dia masuk neraka. Karena dakwah belum sampai kepadanya. Adapun siapa saja yang ada di tengah-tengah muslimin, telah mendengar Al Qur’an, mendengar As-Sunnah dan disisinya ada para ulama kemudian memilih berpaling sehingga tidak mengetahui, maka orang ini tidak diberi udzur.[20]

Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah berkata; Barangsiapa sampai kepadanya Al Qur’an dan As-Sunnah dalam keadaan dia mampu memahami apabila dia mau, kemudian dia tidak beramal dengannya dan tidak menerimanya, maka sesungguhnya hujjah telah tegak atasnya, sehingga dia tidak diberi udzur dengan alasan kejahilan, karena hujjah telah sampai kepadanya. Dan Allah Ta’aala telah berfirman; “Dan telah diwahyukan kepadaku Al Qur’an ini agar aku beri peringatan kepada kalian dengannya, dan orang-orang yang sampai (kepadanya Al Qur’an ini).” (Qs. Al An’am; 19). Apakah dia tinggal bersama-sama muslimin, atau tinggal bersama selain muslimin. Maka semua yang telah sampai kepadanya Al Qur’an dalam keadaan dia bisa memahaminya apabila dia mau memahami, kemudian dia tidak mau mengamalkannya, sesungguhnya dia bukan muslim dan tidak diberi udzur karena kejahilan.[21]


[1] Al Ilmam Syarh Nawaqidul Islam, halaman 26

[2] Idem, halaman 45

[3] Idem, halaman 63

[4] Al Ilmam, halaman 67

[5] Al Ilmam, halaman 62

[6] HR At-Tirmidzi (2180)

[7] Umdatul Fiqh, halaman 139

[8] Al Uddah Syarh Al Umdah, halaman 563

[9] Syarh Al ‘Umdah, kitab As-Shalah, dengan tahqiq Dr. Al Athasyan (4/51)

[10] Fatawa Syaikhul Islam (3/231)

[11] Fatawa wa Masa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab halaman 12

[12] Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, situs resmi Samahatus-Syaikh di internet.

[13] Jawaban Asy-Syaikh atas persoalan yang diajukan kepada beliau setelah pelajaran Syarh Kasyf Syubuhat, halaman 8

[14] Al Jawab As-Shahih (2/293)

[15] Majmu’ Al Fatawa (17/54)

[16] Madarij As-Salikin (1/217)

[17] Ad-Durar As-Sanniyyah (13/90)

[18] Idem

[19] Kasyf Syubhatain, halaman 91-93

[20] Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb (1/259)

[21] As’ilah wal Ajwibah fi Masa’il Al Iman wal Kufr, halaman 8

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *