Sejak dulu sampai masa kampanye Pilpres 2014 di Negeri kita tak jemu-jemunya mengangkat tema lama yaitu Wahabi. Spanduk salah satu Capres dengan bunyi “Menolak Ajaran Wahabi, Menjaga Tradisi” terpampang mesra disudut kota. Wahabi seolah seperti hantu yang menakutkan. Di Negeri ini Wahabi diidentikkan dengan Islam Garis Keras yang suka memaksakan kehendaknya, gemar menyesatkan sesama muslim dengan cap ahli bid’ah, takfiri dan tuduhan lainnya. Seolah-olah kaum Wahabi ini tidak layak tinggal di Republik Indonesia yang kita cintai. Padahal ajaran Wahabisme atau yang sering disebut Salafisme/ Salafi-Wahabi tidak lain hanya ingin mengajarkan semangat Purifikasi Agama. Mengajarkan Tauhid yang lurus yang menghindarkan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk.
Barangkali kita lupa akan sejarah Bangsa, atawa kita yang malas membaca. Kaum Wahabi ikut serta dalam memerdekakan Bangsa ini dari Penjajahan Kolonial Belanda, baik jaman pra-kemerdekaan maupun pasca-kemerdekaan. Tidak usahlah kita sebut siapa-siapanya, karena buku-buku sejarah sudah menuliskannya. Tinggal kita mau membacanya atau tidak.
Saya hanya ingin sedikit bercerita, tentang sosok Pahlawan Bangsa yang terkenal dengan Mosi Integralnya yang berhasil menyatukan kembali keseluruhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah dipecah belah oleh Belanda. Beliau adalah Mohammad Natsir -rahimahullahu ta’ala rahmatan wasi’atan-. Natsir muda belajar Agama kepada Ustadz A. Hassan -rahimahullahu ta’ala rahmatan wasi’atan- salah satu Ulama’ Reformis di Indonesia. Pemikiran dan ajaran keislaman A. Hassan tertancap kuat didada Natsir. A. Hassan yang lancar berbahasa Arab dan Inggris itu, bersama para pendiri Persis, memang memelopori pendekatan baru dalam Agama. Dia melarang taqlid (membebek) pada pendapat Ulama’, menghilangkan batas-batas madzab yang membelenggu dan juga banyak mengkritik kaum ‘Alawiyyin yang selalu meminta kedudukan lebih tinggi dalam urusan Agama. Ajaran-ajaran A. Hassan ini sangat mencerahkan bagi Natsir, sampai-sampai beliau memutuskan untuk melempar kuliah hukum. Padahal menjadi ahli hukum adalah cita-cita Natsir. Saking kuatnya pengaruh A. Hassan dalam diri Natsir, beliau tuangkan dalam salah satu surat kepada anaknya, “Percakapan dan pertukar pikiran dengan Tuan A. Hassan itu banyak sekali pengaruhnya bagi jiwa dan arah hidup Aba selanjutnya. Sudah tentu yang dibicarakan soal agama. Dicampur dengan soal politik, soal pergerakan kemerdekaan.”
Kita bisa simpulkan bahwa ajaran Guru Agama Natsir ini dalam kacamata lawan-lawan politiknya pasti akan disebut ajaran Wahabi. Namun, apakah beliau mengajarkan pengrusakan dan pemecah belah persatuan ummat dan bangsa? Tentu tidak, beliau hanya mengajarkan pentingnya ummat akan kesadaran kembali kepada ajaran Islam yang murni yang bebas dari Takhayul, Bid’ah dan Khurafat.
Semangat pembelaan Natsir terhadap ajaran Islam salah satunya lewat tulisan. Beliau menggagas Madjallah Comitte “Pembela Islam”. Natsir bahkan sempat mengkritik dengan keras kaum bid’ah dalam pergerakan. Menurut dia, kaum bid’ah adalah mereka yang suka mengadakan kegiatan maulud, pesta besar khatam Qur’an anak-anaknya, dan pesta perkawinan yang berlebihan. Natsir menganggap kaum bid’ah banyak bergabung dalam Partai Syarekat Islam Indonesia. Dalam tulisan di Pembela Islam edisi 62 misalnya: “kalaoe pergerakan politiek Islam membenarkan kaoem ahli bid’ah masuk djadi anggotanja, apakah beda pergerakan politik Islam ini dengan partij politik jang berasas kebangsaan jang menerima anggotanja dari orang-orang Islam tjap ‘hanja bibir’?”
Itu semua merupakan secuil dari salah satu kisah kaum Islamiyyin pemersatu bangsa. Menyebut bid’ah terhadap sebuah amalan dan menyebut ahli bid’ah secara umum sudah mereka lakukan hampir satu abad yang lalu sebagai bentuk kritik dan pembelaan terhadap Islam. Oleh karena itu, tidak usahlah kita alergi dengan istilah bid’ah dan ahli bid’ah, yang ujung-ujungnya akan ditelikung ke isu Wahabi pemecah belah ummat dan bangsa. Bagi yang gemar mencap bahwa ajaran Purifikasi (Wahabi) adalah pemecah belah ummat dan bangsa silakan baca sejarah Mosi Integral dari seorang Natsir, yang corak keislamannya moderat sekaligus puritan yang identik dengan Wahabisme. Beliaulah yang menggagas bersatunya kembali wilayah-wilayah Republik setelah dipecah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian, saat perayaan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momen bersejarah itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia. Dan Mohammad Natsir patut dicatut sebagai sang arsitek utama.
Jikalau yang dimaksud Wahabi itu adalah sebuah manifestasi gerakan keislaman dengan semangat pembaharuan dan melawan segala jenis bid’ah dan macam-macamnya, dan corak keislaman Mohammad Natsir adalah demikian. Maka, kesimpulannya Wahabi adalah sebagai Pemersatu Republik. Titik.
Untuk lebih memuaskan kita tentang permasalahan dan pembahasan bid’ah, mari kita sama-sama mencari dan membaca tulisan Prof. Tengku Hasbi Ash Shiddiqie tentang macam-macam bid’ah dan pembahasannya yang ditulis sekitar tahun 1939. Juga buku yang ditulis KH. Moenawar Chalil berjudul Kembali Kepada Al Qur-an dan As-Sunnah yang terbit pertama kali sekitar tahun 1956. Juga buku-buku dan tulisan A. Hassan. Ingat kata Bung Karno, “Jasmerah!”
Selamat membaca Bung…
Sumber:
https://www.facebook.com/muhammad.f.hidayatullah