Tatkala puasa Ramadhan merupakan sarana untuk menggapai ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan keberuntungan dengan surga, serta maslahat-maslahat lainnya seperti penyucian jiwa, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala mensyariatkan kepada orang-orang yang tidak dapat melaksanakannya karena suatu udzur syar’i untuk menggantinya dengan berpuasa di hari yang lain, dan yang lainnya dengan membayar fidyah. Hal ini agar maslahat puasa dapat dirasakan oleh setiap hamba-hamba-Nya yang beriman. Demikianlah Allah Ta’aala permudah jalan untuk mereka yang ingin menggapai keridha’an-Nya. Allah Ta’aala berfirman,
“…dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Qs. Al Baqarah; 185)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di Rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya, “Allah Subhanahu Wa Ta’ala ingin mempermudah bagi kalian jalan-jalan yang mengantarkan kepada keridha’an-Nya dengan semudah-mudahnya dan memperingan dengan seringan-ringannya. Karena itulah setiap perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-Nya pada asalnya sangatlah mudah. Dan apabila ada suatu penghalang yang menberatkannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala permudah sekali lagi, apakah dengan diangkat kewajiban tadi darinya atau dengan cara memperingannya dengan bermacam-macam keringanan”. Taysiir Kariimir Rahmaan karya Asy-Syaikh As-Sa’di Rahimahullah. Dan orang yang mendapat keringanan di bulan Ramadhan ada lima golongan;
- Orang yang sakit.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala membolehkan bagi orang sakit untuk tidak berpuasa, sebagai keringanan untuknya. Dan yang dimaksud di sini adalah orang sakit yang tidak sanggup puasa atau apabila ia puasa akan membahayakannya. Karena puasa bagi si sakit ada tiga keadaan;
a. Puasa yang tidak berpengaruh terhadap si sakit, karena sakitnya ringan, seperti flu biasa, atau pusing-pusing, sakit gigi dan yang lainnya. Dalam kondisi seperti ini tetap wajib baginya berpuasa dan haram meninggalkan puasa menurut pendapat yang benar.
b. Puasa yang memberatkan si sakit tapi tidak membahayakan jiwanya. Dalam kondisi seperti ini makruh baginya berpuasa, dan mustahab (disukai)baginya berbuka.
c. Puasa yang memberatkan sampai membahayakan jiwanya apakah semakin bertambah sakitnya atau mengantarkan kepada kematiannya, maka haram baginya berpuasa. Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah (6/354).
Dan apabila si sakit meninggalkan puasa Ramadhan, wajib baginya mengganti puasa yang ia tinggalkan pada hari yang lain, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala(Qs. Al Baqarah; 185) di atas.
Kecuali apabila ia tidak sanggup menggantinya seperti orang yang penyakitnya sudah tidak diharapkan sembuh, maka yang wajib atasnya adalah membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin sejumlah puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan. Memberi mereka nasi dengan lauknya daging atau yang lainnya atau dengan cara mengundang mereka makan malam atau makan siang (apabila di luar Ramadhan).
Lihat Fatawa Arkanus Shiyam, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah (no. 401)
- Musafir.
Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Pemurah memberi keringanan kepada hamba-hambanya yang sedang dalam perjalanan (safar) seperti ke luar kota, untuk tidak berpuasa, apabila puasa memberatkan mereka. Hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala kabarkan dalam firman-Nya pada ayat yang lalu (Qs. Al Baqarah; 185). Dan seorang musafir apabila berbuka, wajib baginya mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya pada hari yang lain.
Dan seorang musafir tidak lepas dari tiga keadaan;
a. Apabila berat baginya berpuasa, maka dalam hal ini afdhal (utama) baginya berbuka . Karena melakukan suatu yang berat di saat ada keringanan berarti berpaling dari keringanan yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan, maka dalam hal ini puasa menjadi makruh baginya.
b. Apabila puasa sampai membahayakan dirinya, maka dalam hal ini haram baginya berpuasa. Dalil akan hal ini adalah kisah ketika orang-orang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beratnya puasa (di saat safar), waktu itu setelah Ashar. Kemudian beliau mengambil air dan meminumnya. Kemudian beliau berkata kepada orang-orang yang tetap berpuasa, “Mereka telah bermaksiat, mereka telah bermaksiat”. Muttafaqun ‘Alaihi dari Jabir bin Abdillah Radhyallahu ‘anhuma. Maksudnya orang yang tetap berpuasa di saat safar sedangkan puasa membahayakan dirinya.
c. Adapun apabila puasa dan berbuka baginya adalah sama keadaannya. Maka dalam hal ini yang afdhal adalah terus berpuasa. Abu Darda’ Radhyallahu ‘anhu berkata, “Dahulu kami bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di bulan Ramadhan, di hari yang teramat panas, sampai-sampai di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya dikarenakan panas, dan ketika itu tidak seorang pun dari kami yang berpuasa kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Abdullah bin Rawahah Radhyallahu ‘anhu”Muttafaqun ‘Alaihi. Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah (6/354).
Wanita Hamil Atau Menyusui.
Anas bin Malik Al Ka’bi Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala mengangkat setengah shalat dari musafir dan puasa dari wanita hamil dan menyusui” Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al Imam At-Tirmidzi (No: 715).
Dan wajib bagi mereka -apabila tidak puasa- untuk membayar fidyah (memberi makan orang miskin) sebanyak jumlah puasa yang mereka tinggalkan di bulan Ramadhan. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Abu Daud Rahimahullah (No:2318) dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia berkatatentang firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al Baqarah; 183)
“Dahulu ini adalah keringanan untuk laki-laki dan wanita renta yang sanggup puasa, untuk tidak puasa dan (sebagai gantinya –ed) memberi makan orang miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya, juga (keringanan) untuk wanita hamil dan menyusui apabila khawatir”. Al Imam Abu Daud Rahimahullah menerangkan, “Yaitu apabila ia mengkhawatirkan (keselamatan bayi mereka –ed) boleh bagi keduanya tidak puasa dan (sebagai gantinya) memberi makan orang miskin”. Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu pendapat yang serupa.
Maka yang wajib bagi mereka adalah membayar fidyah, tanpa mengqadha’. Hal ini seperti yang dikatakan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma kepada istrinya yang hamil atau menyusui, “Kamu termasuk orang-orang yang tidak mampu (puasa), yang wajib atasmu memberi makan dan tidak ada qadha’ bagimu”. HR Al Imam Ad-Daruquthni Rahimahullah (1/207) dan dishahihkan olehnya.
Wanita Haidh Dan Nifas.
Kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada kewajiban shalat dan puasa bagi wanita yang haidh, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Bukankah wanita apabila haidh tidak shalat dan tidak puasa? Inilah tanda kurangnya agama mereka”. Muttafaqun ‘Alaihi dari Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu.
Dan yang wajib atas mereka adalah qadha’ (mengganti) puasa yang mereka tinggalkan pada hari yang lain, sebagaimana perkataan Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Kami (kaum wanita) diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat”. HR Muslim dan Abu Daud.
Dan seperti ini juga wanita yang nifas karena seperti yang dijelaskan para ulama bahwa asal darah nifas adalah darah haidh yang tertahan selama si wanita hamil. Wallahu a’lam.
Laki-Laki Dan Wanita Yang Sudah Renta
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi keringanan kepada mereka untuk tidak puasa dan menggantinya dengan membayar fidyah (yaitu memberi makan orang miskin) sebanyak puasa yang ia tinggalkan. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Laki-laki dan wanita renta yang tidak sanggup puasa, hendaklah memberi makan orang miskin sebanyak puasa yang ia tinggalkan” HR Al Bukhari (No: 4505). Dan perkataan serupa juga diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Demikianlah kemudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nyadi bulan mubarak ini. Wallahu A’lam bis Shawab.
Sumber Bacaan; Nailul Authar karya Al Imam Asy-Syaukani, Asy-Syarhul Mumti’ oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Sifat Shaum Nabi fi Ramadhankarya Asy-Syaikh Salim Al Hilali dan Asy-Syaikh Ali Hasan Al Halabi Hafidzahumullah dan yang lainnya.