Masalah ini dijelaskan oleh Syaikh Doktor Abdul Karim An-Namlah dalam syarah-nya terhadap kitab Raudhatun Nazhir. Namun disini, kami akan meringkasnya dengan sedikit penyesuaian untuk pembaca agar lebih mudah dipahami.
Syaikh Abdul Karim An-Namlah menjelaskan bahwa: Gambaran permasalah ini adalah: Apabila para shahabat atau umat pada satu masa berbeda pendapat dalam sebuah masalah fikih menjadi dua pendapat, lalu perbedaan mereka tetap ada tanpa ada yang mengingkari adanya perbedaan pendapat tersebut, apakah mungkin terjadi ijma’ umat yang datang setelahnya atas salah satu pendapat yang ada sehingga, seorang mujtahid tidak boleh mengambil pendapat yang satunya lagi?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu menjadi dua pendapat.
Madzhab pertama: bahwa kesepakatan tabi’in terhadap salah satu pendapat shahabat merupakan ijma’ yang sah sehingga haram menyelisihinya dan kesepakatan wajib diamalkan. Pendapat ini diambil oleh Abul Khattab dalam kitab At-Tamhid. Dalam hal ini ia telah menyelisihi gurunya yakni Abu Ya’la. Pendapat ini juga diambil oleh kebanyakan Hanafiyah, Mu’tazilah, Malikiyah, Abu Bakar Al-Qoffal, Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan banyak tokoh dari kalangan Syafi’iyah[1]
Madzhab ini berdalil dengan ayat dan hadits yang menerangkan bahwa kesepakatan / ijma’ adalah hujjah seperti hadits “Umatku tidak akan bersepakat diatas kesalahan”
Mereka berargumen, apabila Tabi’in telah sepakat terhadap salah satu dari dua pendapat yang terjadi perselisihan antara shahabat sebelumnya, maka itu adalah ijma. Maka siapapun yang menyelisihi kesepakatan ini berarti ia telah menyelisihi kebenaran yang ditampakkan umat dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman dan menganggap bahwa ijma para tabi’in tersebut salah.
Alasan lainnya, apabila shahabat berbeda pendapat dalam sebuah masalah baru, lalu mereka bersepakat pada salah satu pendapat yang ada, kesepakatan itu dinilai ijma’, maka begitu pula apabila para shahabat berbeda pendapat lalu para tabi’in bersepakat pada salah satunya hukumnya juga ijma’. Intinya, sama saja antara kesepakatan di masa shahabat atau tabi’in atau selain mereka, semua disebut ijma. Sehingga ijma’ mengakhiri khilaf (perselisihan) yang ada sebelumnya.
Madzhab kedua mengatakan: kesepakatan para tabi’in terhadap salah satu pendapat shahabat dalam suatu masalah tidak dianggap sebagai ijma’. Sehingga tidak haram mengambil pendapat yang tersisa dari dua pendapat shahabat tadi. Pendapat ini dipilih oleh Qodhi Abu Ya’la dalam kitab Al Uddah. Pendapat ini juga dipilih oleh segenap ulama dari kalangan Syafi’iyah seperti Imam Al-Haramain, Al-Ghozali, Al-Amidi, Ash-Shairofi,[2]
Madzhab ini berdalil dengan beberapa alasan, diantaranya;
1- Ketika para shahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah menjadi dua pendapat tanpa adanya kesepakatan diantara mereka setelah itu, maka sebenarnya ketika itu ummat Islam seluruhnya telah berbeda pendapat menjadi dua pendapat juga. Itu artinya, ummat Islam ketika itu telah bersepakat untuk tidak sepakat. Berarti juga mereka bersepakat akan bolehnya mengambil salah satu dari dua pendapat yang ada apakah dengan ijtihad atau dengan taqlid. Ummat Islam ma’sum dari kesalahan dalam hal yang telah mereka sepakati.
2- Kita telah bersepakat bahwa kesepakatan seluruh umat Islam yang terjadi di masa kapan pun adalah ijma’. Sehingga, jika ada masalah yang baru muncul di zaman tabi’in lalu mereka bersepakat diatas suatu pendapat, maka mereka ketika itu, dianggap mewakili seluruh umat Islam. Karena hanya mereka yang memperhatikan masalah tersebut (bukan shahabat karena telah tiada -pentj). Adapun jika suatu masalah muncul di era shahabat, lalu mereka memperhatikannya dan berbeda pendapat menjadi dua pendapat, kemudian datang para tabi’in dengan bersepakat diatas salah satu pendapat shahabat dan meninggalkan pendapat yang lain, maka ketika itu, mereka tidak bisa disebut mewakili seluruh umat melainkan hanya sebagai sebagian umat saja. Karena para shahabat yang berpegang dengan pendapat yang tidak disepakati oleh generasi tabi’in sebagai sebagian ummat juga. kematian mereka tidak menjadikan pendapat mereka mati. Sehingga yang benar dalam hal ini pendapat mereka tetap bisa diamalkan.
3- Ketika para shahabat berbeda pendapat menjadi dua pendapat, maka perbedaan ini sebenarnya mengandung ijma’ akan bolehnya mengambil salah satu pendapat dari dua pendapat yang ada. Jika setelah itu terjadi kesepakatan tabi’in terhadap salah satu pendapat, maka tentu ijma’ shahabat lebih diutamakan dibanding ijma’ tabi’in. Adapun kesepakatan tabi’in, maka hal itu tidak dianggap sebagai ijma’ yang sah. Karena diantara syarat ijma’ adalah tidak boleh melanggar ijma’ sebelumnya.
Wallahu A’lam bish Shawab
*Tulisan disusun setelah diterjemahkan oleh Abu Mundakir Dawud Muslim, siswa kelas XII Pesantren Sahabat Teladan
[1] . Pendapat ini dikuatkan oleh Asy-Syinqithiy dalam kitabnya Mudzakkirah
[2] dan pendapat ini dikuatkan oleh Al-Utsaimin.