Diantara syubhat terbesar seputar takfir muayyan adalah adanya orang-orang yang berdalil dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tapi bukan pada tempatnya. Selain itu mereka juga berdalil dengan ucapan Imam Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab dan selainnya dari ulama-ulama kontemporer yang sifatnya umum dan meninggalkan ucapan-ucapan mereka yang muhkam/jelas. Maka mengkompromikan ucapan seorang alim disatu tempat dengan ucapannya sendiri ditempat lain adalah kunci untuk tidak terjatuh kepada ketergelinciran tersebut sebagaimana akan pembaca lihat pada uraian Imam Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab ketika mendudukkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dibawah ini.
Asy-Syaikh Al Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh dalam Fatawanya menjelaskan akan adanya orang-orang yang keliru dalam memahami ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Sesungguhnya masalah takfir muayyan, diantara manusia ada yang mengatakan: muayyan / person tertentu tidak dikafirkan sama sekali. Mereka bersandar kepada sebagian redaksi ucapan Ibnu Taimiyah namun dengan pemahaman yang keliru. Dan saya mengira mereka ini tidak mengkafirkan kecuali orang-orang yang datang nash dari Al Qur’an bahwa ia kafir (secara personal) seperti Fir’aun. Padahal Al Qur’an tidak datang menta’yin setiap orang (kafir). Bab hukum murtad dipelajari tapi tidak diterapkan. Ini merupakan kesesatan yang buta dan kebodohan yang besar. Melainkan (yang benar) hal itu diterapkan dengan syarat-syarat(nya). -selesai
Dalam seri pertama, kami bawakan bantahan Imam Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap orang-orang yang berdalil dengan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tapi bukan pada tempatnya.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
((Dan aku sebutkan disini perkataannya yang diperalat orang-orang dalam membela kesesatan mereka, beliau (Ibnu Taimiyah) berkata:
“Aku adalah orang yang paling keras melarang dari dinisbatkan kepada seseorang (muayyan) takfir (dicap kafir) dan tafsiq (dicap fasik) dan maksiat (dicap pelaku maksiat). Kecuali apabila telah diketahui bahwa telah tegak atasnya hujjah risaliyah yaitu hujjah yang barangsiapa menyelisihinya maka ia kafir atau fasik atau pelaku maksiat” -Selesai
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan:
((Ini redaksi ucapan beliau Rahimahullah dalam perkara ini pada setiap sumber yang kami dapati. Bahwa beliau (Ibnu Taimiyah) tidak menyebutkan bahwa seseorang tidak dikafirkan kecuali disandingkan dengannya keterangan yang melegakan. Bahwa maksud dari sikap abstain tidak mengkafirkan adalah sebelum sampai kepadanya hujjah. Dan adapun apabila hujjah telah sampai kepadanya maka orang itu dinilai sesuai pelanggarannya. Apakah sebagai orang kafir atau fasik atau pelaku maksiat.
Dan beliau (Ibnu Taimiyah) menegaskan bahwa ucapannya ini berlaku pada selain perkara dhahirah/jelas. Beliau (Ibnu Taimiyah) berkata ketika membantah ahlul kalam setelah sebelumnya beliau mengatakan bahwa banyak terdapat pada sebagian imam-imam mereka kemurtadan dari Islam.
Beliau berkata: “Apabila dalam maqalat-maqalat (ucapan) yang samar, kadang dikatakan bahwa orang ini keliru, tersesat, belum tegak padanya hujjah yang menjadikan kafir pelakunya. Akan tetapi pelanggaran mereka terjadi pada perkara-perkara dhahirah, yaitu perkara yang dikenal luas oleh semua orang islam, bahwa hal ini merupakan bagian dari Islam…seperti perintah Allah untuk beribadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangan-Nya dari beribadah kepada selain Allah seperti malaikat, para nabi dan selain mereka. Karena sesungguhnya perkara ini semua merupakan syiar islam yang paling jelas. Dan seperti memusuhi Yahudi & Kristen & musyrikin atau seperti pengharaman zina, riba, khamr, judi dan seterusnya. Namun kemudian kamu dapati banyak dari pemimpin ahli kalam terjatuh pada pelanggaran ini, sehingga jadilah mereka orang-orang yang murtad.”
Sumber: Mufidul Mustafid
Wabillahit-Taufiq