Beda Jihad Syar’i Dengan Aksi Teror!

Salah satu sebab maraknya aksi teror di banyak negeri adalah jauhnya ummat Islam dari tuntunan agamanya sendiri, utamanya tentang hukum seputar jihad. Sehingga bermunculan orang-orang yang membenarkan aksi-aksi biadab dan menyebutnya sebagai jihad. Padahal jihad adalah ajaran yang mulia dan agung di dalam Islam. Di sini kami akan ketengahkan pokok-pokok penting tentang jihad sebagai bekal yang membentengi kaum muslimin pada umumnya dan generasi muda pada khususnya dari propaganda-propaganda jihad yang menyimpang.

 

Jihad, Makna dan Pembagiannya

Jihad dalam bahasa Arab merupakan kata ganti ke tiga dari jahada – yujahidu, yang artinya, mencurahkan upaya dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan peribadatan kepada-Nya. Dan ia terbagi menjadi tiga:

 

Pertama; Jihadun Nafs, atau jihad melawan hawa nafsu.

 

Kedua: Jihadul Munafiqin, atau jihad melawan kaum munafikin.

 

Ketiga: Jihadul Kuffar, atau jihad melawan orang-orang kafir.

 

Ketiga macam jihad di atas merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana yang diterangkan di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.

 

Berjihad Melawan Orang-orang Kafir

Jihad dalam arti berperang telah ada pada syariat ummat terdahulu sebagaimana juga diakui di dalam Islam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an.” (Qs. At-Taubah: 111)

Hal ini perlu sekali didudukkan mengingat dengan merebaknya aksi teror, bermunculan paham-paham yang memojokkan jihad, mengimbangi paham ekstrem (terorisme) dengan sikap ekstrem serupa (menafikan jihad), padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

            “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Qs. Muhammad: 9)

Pokok-pokok Aturan  di dalam Berjihad

Oleh karena berperang melawan orang-orang kafir merupakan ibadah dan ketaatan, maka pelaksanaannya juga harus mengikuti aturan yang ditetapkan sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Di sini kami akan memaparkan secara ringkas pokok-pokok aturan di dalam memerangi orang-orang kafir.

  1. Tujuan Jihad

            Penting diketahui bahwa jihad memerangi orang kafir hanyalah salah satu sarana dalam menegakkan agama Allah di muka bumi dan bukan tujuan utama. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 39)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di Rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas, “…dan bukanlah maksud dari berperang itu menumpahkan darah orang-orang kafir dan mengambili harta-harta mereka, akan tetapi maksudnya adalah supaya agama (ibadah) semata milik Allah sehingga nampaklah agama Allah Ta’ala di atas segala agama, dan tersingkirlah segala hal yang menentangnya berupa kesyirikan dan selainnya, dan itulah fitnah yang diinginkan (dalam ayat ini). Apabila maksud tersebut telah tercapai maka tidak ada pembunuhan dan tidak ada peperangan.”

  1. Hukum Jihad

            Jumhur ulama berpendapat bahwa jihad hukumnya adalah fardhu kifayah. Dan jihad seperti ini disebut juga dengan jihad thalab atau jihad hujum, artinya ummat Islam dalam hal ini sebagai pihak yang memulai penyerangan ke tempat-tempat musuh.

Dan syariat yang mulia telah menetapkan beberapa ketentuan dalam pelaksaan jihad thalab atau jihad hujum ini.

Pertama, dari sisi target penyerangan. Orang-orang kafir yang diserang adalah kafir harbi, atau orang kafir yang memerangi ummat Islam. Karena di dalam Islam orang-orang kafir terbagi menjadi empat golongan.

 

1. Kafir mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu tertentu. Dan kafir seperti ini tidak boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

 

“Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa. “(QS. At-Taubah: 4)

 

Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga…”. HR Al-Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr Rhadiyallahu ‘Anhuma.

 

2. Kafir musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Seperti utusan-utusan negara, duta-duta, kafilah dagang atau mereka yang datang melancong. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang masih dalam jaminan keamanan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

 

“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah: 6)

 

3. Kafir dzimmi,  yaitu orang-orang kafir yang membayar upeti (jizyah) kepada pemerintah kaum muslimin sebagai kompensasi tinggalnya mereka di negeri-negeri kaum muslimin dan perlindungan yang diberikan kepada mereka. Kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “…serulah mereka kepada Islam, apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah tangan-tangan kalian dari mereka (jangan perangi mereka), apabila  mereka menolak (Islam) mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah tangan-tangan kalian dari mereka (jangan perangi mereka)…”. HR. Muslim dari Buraidah Rhadiyallahu ‘Anhu.

 

 

4. Kafir harbi, yaitu orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin.

 

Kedua, dari sisi pihak yang menyerang, yaitu kaum muslimin yang akan melakukan penyerangan harus terpenuhi syarat-syaratnya:

 

1. Dipimpin oleh seorang kepala negara.

2. Memiliki kekuatan yang memadai.

3. Memiliki wilayah kekuasaan/negara.

Ketiga, dari sisi peserta yang turut ambil bagian dalam penyerangan, yaitu apabila ia memiliki orang tua yang masih hidup, dia tidak boleh berangkat tanpa seizin orang tua. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Rhadiyallahu ‘Anhu,

 

“Suatu ketika datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta izin untuk turut berjihad. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya, “Apa kedua orangtuamu ada?”. Ia menjawab, “ya”. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Pada keduanyalah hendaknya kamu berjihad (berbakti).” Hal ini karena berbakti kepada kedua orang tua fardhu ‘ain maka ia lebih diutamakan dari jihad yang hanya fardhu kifayah.

 

Keempat, dari sisi adab dan aturan dalam melancarkan penyerangan, yaitu negeri kafir yang telah menjadi target penyerangan tersebut tidak boleh diserang sebelum menolak ajakan kepada Islam dan menolak menyerahkan jizyah (upeti). Hal ini berdasarkan sabda Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “…serulah mereka kepada Islam, apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah tangan-tangan kalian dari mereka (jangan perangi mereka), apabila  mereka menolak (Islam) mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah tangan-tangan kalian dari mereka (jangan perangi mereka)…”. HR. Muslim dari Buraidah Rhadiyallahu ‘Anhu.

 

  1. Kapan jihad menjadi fardhu ‘ain?Jihad berubah hukumnya menjadi fardhu ‘ain pada tiga keadaan:

1. Apabila seorang muslim berada di tengah-tengah peperangan, fardhu ‘ain atasnya berjihad. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah meraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal: 15-16)

            2. Apabila musuh menyerang negerinya, maka fardhu ‘ain bagi penduduk negeri untuk berjihad membela diri.

3. Apabila pemimpin negara memerintahkan untuk berjihad, maka fardhu ‘ain atas pihak yang diperintah untuk berjihad. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu :”Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu meresa berat dan ingin tinggal ditempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah: 38)

Terakhir, apabila kita melihat apa yang diperbuat oleh para pelaku bom-bom teror di banyak negeri dengan mengatasnamakan jihad dan membandingkannya dengan apa yang telah dijelaskan di atas, jelaslah bagi kita bahwa perbuatan mereka adalah pelanggaran menyeluruh terhadap aturan-aturan Allah Yang Maha Mulia lagi Bijaksana, lantas apa masih bisa dikatakan jihad?! Hanya kepada Allah kita mengadu. Wassalam.

Jafar Salih

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *