Benarkah Imam Bukhari Mentakwil Sifat?

Benarkah Al Bukhari telah mentakwil sifat wajah dengan kerajaan, dan sifat tertawa dengan rahmat?

 

Alhamdulillah, pertama terkait sifat tertawa; Tidak diketahui satu pun nas/redaksi yang bisa dipertanggung jawabkan bahwa Al Bukhari telah mentakwil sifat ini (tertawa) dengan rahmat. Namun beberapa ulama menisbatkan takwilan ini kepada Al Bukhari, seperti;

1- Al Khattabi dalam “A’laamul Hadits fi Syarhi Shahih Al Bukhari” (3/1921). Ia berkata; “Ad-Dhahk (tertawa) artinya rahmat,” selesai.

2- Al Baihaqi dalam “Al Asma’ was-Shifaat” (2/72). Ia berkata; “Al Firabri meriwayatkan dari Muhammad bin Ismail Al Bukhari rahimahullah, ia berkata; “Ad-Dhahk (tertawa) disini artinya rahmat.” selesai. Dan Al Baihaqi sepertinya mengambil riwayat ini dari Al Khattabi, karena seperti biasanya Al Baihaqi menukil darinya. Tapi penisbatan ini kepada Al Bukhari diragukan. Karena Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah yang dikenal memiliki penelitian yang luas terhadap naskah-naskah Shahih Al Bukhari menafikan adanya redaksi ini pada naskah-naskah yang ia teliti. Ia berkata; “Al Khattabi berkata, “Abu Abdillah (Al Bukhari) berkata; “Ad-Dhahk disini artinya; rahmat.” Saya katakana (Ibnu Hajar); Saya tidak pernah mendapati (redaksi ini) pada naskah-naskah Shahih Al Bukhari yang ada pada saya.” Selesai dari “Fathul Bari” (8/632)

 

Kesimpulannya, terkait takwil yang dinisbatkan kepada Al Imam Al Bukhari ini kami tidak bisa memastikan. Karena naskah-naskah Shahih Al Bukhari yang sampai kepada kami dan terpercaya tidak didapati tafsiran seperti ini. Wallahua’lam.

 

Kedua; Sifat wajah.

 

Al Imam Al Bukhari rahimahullah berkata; “Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya.” (Qs. Al Qashash; 88); kecuali kerajaan-Nya. Dan ada yang mengatakan; kecuali apa yang diharapkan dengannya wajah Allah.” Selesai dari “Fathul Bari” (8/505)

 

Disini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan;

Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi terhadap Shahih Al Bukhari terdapat lafal: “kecuali kerajaan-Nya” yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna. Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” : kecuali kerajaannya, ada pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun dengan lafal: “kecuali Dia”. Selesai dari Fathul Bari (8/505)

 

Maka berdasarkan keterangan ini ada kemungkinan Al Bukhari menyebutkan tafsiran ini yakni dia menguatkannya, atau sebatas menghikayatkannya sebagai salah satu tafsiran yang ada tanpa menguatkannya diantara tafsiran-tafsiran yang ada terhadap ayat tersebut.

Kemudian sesungguhnya tafsir ini (kecuali kerajaan-Nya) mustahil yang dimaksud dengan kerajaan Allah disini; ciptaan-ciptaan-Nya. Karena hal ini jelas batil bagi setiap muslim. Karena Allah telah menjelaskan secara nash bahwa ciptaan-ciptaan-Nya akan binasa. Sehingga tinggal dikatakan bahwa maksud kerajaan disini adalah sifat Al Mulk yang ada pada Allah Ta’aala. Namun disini masih tersisa pertanyaan, yaitu; kenapa hanya sifat Al Mulk saja yang disebutkan diantara sifat-sifat Allah lainnya?

Jawaban yang paling mungkin diberikan adalah kita katakan; Bahwa sebagian besar surat Al Qashash berbicara tentang kisah dua orang yang sombong lagi kufur karena kerajaan-Nya, yaitu: Fir’aun dan Qarun. Pada awal kisah Fir’aun Allah berfirman;

إِنَّفِرْعَوْنَعَلَافِيالْأَرْضِوَجَعَلَأَهْلَهَاشِيَعًايَسْتَضْعِفُطَائِفَةًمِّنْهُمْيُذَبِّحُأَبْنَاءَهُمْوَيَسْتَحْيِينِسَاءَهُمْإِنَّهُكَانَمِنَالْمُفْسِدِينَ

“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. 28:4)

Dan diawal kisah Qarun Allah berfirman;

إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ

“Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya:”Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. (QS. 28:76)

Dan diantara kedua kisah ini Allah berfirman;

وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَرْيَةٍ بَطِرَتْ مَعِيشَتَهَا فَتِلْكَ مَسَاكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَن مِّن بَعْدِهِمْ إِلَّا قَلِيلًا وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ

“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka itulah tempat kediaman mereka yang tiada didiami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebagian kecil.Dan Kami adalah pewarisnya.” (QS. 28:58)

Maka sangat sesuai jika dikatakan; Sesungguhnya semua raja dan apa yang dimiliki olehnya akan binasa dan hilang sifat kerajaan darinya dan yang tetap ada hanya sifat Al Mulk (kerajaan) Allah Ta’aala. Karena Dialah Raja yang sesungguhnya. Oleh karena itu Allah berfirman;

يَوْمَ هُم بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِّمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

“(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur), tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah.(Lalu Allah berfirman):”Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini” Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (QS. 40:16)

Maka tafsiran ini (kecuali kerajaan-Nya) bukan maksud darinya menafikan sifat wajah (bagi Allah), melainkan ini merupakan tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an. Yaitu penafsirat terhadap satu lafal dengan sebagian sifat dan makna yang berhubungan dengannya yang sesuai dengan alur surat. Karena tetap adanya wajah (bagi Allah) berarti kekalnya Allah Ta’aala dan sifat-sifat-Nya. Dan diantara sifat-sifat tersebut adalah sifat kerajaan-Nya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata;

“Diantara kebiasaan salaf dalam penafsiran, mereka menyebutkan sebagian sifat-sifat Allah dari nama-nama atau sebagian jenisnya. Dan ini tidak bertentangan dengan sifat-sifat Allah lainnya, bahkan keduanya saling berkaitan…” Majmu’ Fatawa (6/390)

Maka selagi masih terdapat pertanyaandan kekaburan disini, apakah tafsiran ini milik Al Bukhari atau Ma’mar, kenapa Al Bukhari memilih lafal “kecuali kerajaan-Nya”?

Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita perhatikan kebiasaan Al Bukhari dan mazhabnya dalam berhadapan dengan nas-nas sifat. Dan kita lihat juga kepada sikap Al Bukhari terhadap ayat ini pada tempat lain. Karena ucapan seorang alim yang global dan menyisakan pertanyaan bisa diperjelas maksudnya dengan melihat kepada kebiasaan alim tersebut dan mazhabnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ كلامه هاهنا وهاهنا ، وتعرف ما عادته [ وما ] يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به ، وتعرف المعاني التي عرف أنه أرادها في موضع آخر ، فإذا عرف عرفه وعادته في معانيه وألفاظه ، كان هذا مما يستعان به على معرفة مراد 

وأما إذا استعمل لفظه في معنى لم تجر عادته باستعماله فيه ، وترك استعماله في المعنى الذي جرت عادته باستعماله فيه ، وحمل كلامه على خلاف المعنى الذي قد عرف أنه يريده بذلك اللفظ بجعل كلامه متناقضا ، وترك حمله على ما يناسب سائر كلامه ، كان ذلك تحريفا لكلامه عن موضعه ، وتبديلا لمقاصده وكذبا عليه.

“Wajib menafsirkan ucapan si empunya perkataan dengan ucapannya yang lain. Dan mempertemukan ucapannya yang disini dan disana, sehingga dikenallah kebiasaannya dan apa yang dia maukan  dalam penggunaan makna-makna dan lafal-lafal. Metode ini sangat membantu dalam mengetahui maksud si empunya ucapan. Adapun jika lafalnya dibawa kepada makna diluar kebiasaan si empunya ucapan saat menggunakannya dan meninggalkan perlakuannya terhadap makna sesuai kebiasaannya, dan membawa ucapannya keluar dari kebiasaan yang dikenal saat dia menggunakannya, dan menjadikan ucapannya saling bertabrakan dan bukan mempertemukannya, maka yang demikian ini adalah tahrif / penyelewengan terhadap ucapan dia dari tempat yang seharusnya dan termasuk bentuk merubah maksud dan berdusta atas namanya. –selesai dari “Al Jawab Ash-Shahih” (4/44)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata;

والكلمة الواحدة يقولها اثنان ، يريد بها أحدهما : أعظم الباطل ، ويريد بها الآخر : محض الحق . والاعتبار بطريقة القائل وسيرته ومذهبه ، وما يدعو إليه ويناظر عليه

“Sebuah kata diucapkan oleh dua orang. Salah satunya menginginkan dari kata itu; kebatilah yang paling besar. Sedangkan yang kedua maksudnya adalah; kebenaran yang murni. Maka yang menjadi pedoman adalah metode si empunya ucapan, kebiasaan dan mazhabnya. Begitu pula dakwah dan pembelaannya.” Selesai dari “Madarij As-Salikin” (5/3954)

Dan (dalam perkara ini) Al Bukhari terkenal metodenya, bahwa beliau menetapkan sifat-sifat Allah Ta’aala dan diantaranya sifat wajah. Karena dalam kitab tauhid dari Shahihnya beliau memberlakukan ayat ini sesuai lahirnya dan tidak mentakwilnya.

Beliau berkata; Bab firman Allah Ta’aala

 ( كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ )

((Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya)) QS. Al Qashash: 88.

Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa’id, (ia berkata); bercerita kepada kami Hammad bin Zaid, dari ‘Amr, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Ketika ayat ini turun; ((Katakanlah Dia Maha Mampu untuk mengirim kepada kalian azab dari atas kalian)) QS. Al An’am; 65 Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; Aku berlindung dengan wajah-Mu. Allah berfirman; ((Atau dari bawah kaki kalian)) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; Aku berlindung dengan wajah-Mu. Allah berfirman; ((Atau menjadikan kalian berpecah belah)) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; Ini lebih ringan. Selesai dari “Fathul Bari” (13/388).

Asy-Syaikh Abdullah Al Ghunaiman hafidzahullah berkata;

Adapun ucapan Al Bukhari: kecuali kerajaan-Nya. Ini merupakan takwilan yang jauh (dari kebenaran). Takwilan ini bersebrangan dengan sikapnya disini, dimana dia menyebutkan ayat kemudian dibawakan setelahnya hadits dari Jabir. Dan padanya terdapat ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam; ((Aku berlindung dengan wajah-Mu). Maka ini jelas sekali bahwa yang dimaukan adalah menetapkan wajah sebagai sifat bagi Allah Ta’aala. Selesai dari “Syarh Kitab Tauhid min Shahih Al Bukhari” (1/276)

 

Ketiga:

Termasuk kesalahan yang banyak terjadi, baik dari pihak yang menetapkan sifat atau menafikannya bahwa apabila dia meyakini tetapnya satu sifat dia menyangka bahwa setiap nash yang terdapat padanya lafal dari sifat tersebut berarti seperti itu juga maknanya. Kemudian berdalil dengan nash tersebut dalam menetapkan sifat itu. Dan pihak yang menafikan kebalikannya. Apabila dia melihat pada ucapan seorang ahli ilmu tafsiran terhadap satu nash, yang tidak menunjukkan penetapan terhadap sifat dengan melalui nash itu, dia pun menyangka bahwa ada kaitan antara hal ini dengan penafian sifat. Lalu dia berdalil dengan penafsiran itu bahwa si alim dari generasi salaf ini telah menafikan sifat tersebut. Atau ia berpindah kepada klaim bahwa alim ini mentakwil semua sifat. Dan kedua sikap ini adalah kekeliruan yang nyata dalam pendalilan. Karena bukan berarti tidak berlakunya satu dalil berarti klaimnya hilang, dan bukan berarti takwil terhadap satu nash berarti mentakwil nash seluruhnya, bahkan hal ini bukan juga berarti penafian terhadap sifat tertentu.

Sumber: http://islamqa.info/ar/226876

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *