Tidak dipungkiri bahwa menilai kafir orang-orang yang ditetapkan Al Kitab dan As-Sunnah serta ijma keislamannya merupakan perkara yang besar dan berbahaya bagi agama seseorang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : “Barangsiapa mengatakan kepada saudaranya: wahai kafir. Jika ucapannya ini benar, tapi jika salah hukum itu kembali kepadanya.”
Dan telah datang peringatan dari para imam akan bahayanya hal ini. Sebagaimana telah datang pula peringatan dari mereka dari kebalikannya, menilai muslim terhadap orang-orang yang ditetapkan oleh Al Kitab dan As-Sunnah dan ijma akan kekafirannya. Diantaranya adalah apa yang ditulis oleh Imam Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab beliau Nawaqidul Islam, pada pembatal ketiga beliau berkata:
من لم يكفر المشركين أو شك في كفرهم أو صحح مذهبهم كفر
Barangsiapa tidak mengkafirkan musyrikin atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, orang ini kafir.
Karena tidak mengkafirkan orang kafir yang telah disepakati kekafirannya merupakan pendustaan kepada Al Qur’an yang datang menerangkan akan kafirnya mereka, seperti Yahudi, Kristen, penyembah berhala dan semua orang yang tidak mengambil Islam sebagai agamanya.
Dan telah diketahui bahwa tidak sah keislaman seseorang sampai ia kufur kepada thaghut yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, membencinya, memusuhinya dan mengkafirkan para pelakunya.
ومن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى
“Barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat.” (Qs. Al Baqarah: 256)
Imam Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah mengatakan dalam risalahnya Ashlu Diinil Islam wa Qaa’idatuh :
((Pokok ajaran Islam dan kaidahnya dua: Pertama, mengajak kepada peribadatan kepada Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan membangkitkan semangat diatasnya dan membangun loyalitas padanya dan mengkafirkan orang-orang yang meninggalkannya.
Kedua, memperingatkan dari kesyirikan dalam peribadatan kepada Allah. Bersikap keras dalam hal ini dan membangun permusuhan padanya dan mengkafirkan orang yang mengerjakannya.))
Oleh karena itu dalam masalah ini, seseorang wajib mengambil jalan tengah, jalan Ahlussunnah wal Jama’ah yang ditunjuki para ulama kita dahulu dan sekarang. Yaitu tidak bermudah-mudahan mengkafirkan seorang muslim atau sebaliknya menganggap orang yang telah kafir muslim.
Berkata Asy-Syaikh Al Allamah Abdullah bin Abdurrahman Aba Buthain Rahimahullah:
Dan secara umum, wajib atas orang yang sayang kepada dirinya untuk tidak berbicara tentang perkara ini kecuali dengan ilmu dan bukti dari Allah. Dan berhati-hatilah dari mengeluarkan seseorang dari Islam dengan mengandalkan pemahamannya dan menurut akalnya. Karena mengeluarkan seorang (muslim) dari Islam atau memasukkan orang (kafir) ke dalamnya adalah diantara perkara agama yang paling besar. Dan masalah ini sudah cukup jelas sebagaimana masalah-masalah lainnya. Bahkan hukumnya secara global merupakan hukum-hukum agama yang paling jelas. Maka yang wajib atas kita adalah mengikuti dan tidak mengada-ngada. Seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu : Ikutilah jangan mengada-ngada, karena semua telah sempurna.
Dan juga, apa-apa yang diperdebatkan ulama bahwa itu kekufuran maka yang hati-hati adalah abstain dan tidak tergesa-gesa selagi perkaranya tidak ada nash yang jelas dari Al Ma’shum Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Syaithan telah menggelincirkan banyak orang dalam perkara ini, sebagian meremehkan sehingga mereka menghukumi muslim orang-orang yang telah ditunjuki Al Kitab dan As-Sunnah dan Ijma’ akan kekafirannya. Disamping itu, sebagian lainnya berlebih-lebihan sehingga mengkafirkan orang-orang yang ditetapkan oleh Al Kitab dan As-Sunnah dan Ijma’ bahwa ia muslim.
Minhaj Ahlil Haq wal Ittiba’ fi Mukhalafati Ahlil Jahl Wal Ibtida’ karya : Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman Rahimahullah.