Bingkai Ucapan Imam Ibnu Abdul Wahhab

Diantara persoalan yang menyita perhatian penuntut ilmu belakangan adalah masalah udzur bil jahl. Yaitu apakah seorang muslim yang melakukan perbuatan syirik besar yang jelas dengan sadar karena kebohohan (jahil) layak diberi udzur (toleransi) atau tidak?!

Perkara ini sebenarnya bukan merupakan persoalan yang samar pada kurun terdahulu, sampai datanglah kelompok Murjiah yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, baru setelahnya terjadilah kekacauan-kekacauan, sebagaimana yang dijelaskan Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafidzahullah berikut: “Masalah udzur bil jahl ini datang hanya dari kelompok Murji’ah yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman. Kalau ada seseorang yang tidak beramal, maka ia mukmin. Ini madzhab batil.”  

Lihat secara lengkap: http://www.tauhidfirst.net/sekarang-tidak-ada-kejahilan/

Diantara ulama Islam yang menjelaskan perkara ini dengan gamblang adalah Imam Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah. Beliau telah menerangkan perkara ini pada banyak tulisannya, diantaranya kitab beliau Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid yang khusus disusun untuk menerangkan perkara ini.

Kesimpulan pendapat beliau dalam perkara ini adalah: Bahwa kapan seorang muslim mengerjakan kesyirikan besar yang jelas seperti sujud kepada kuburan atau menyembelih untuk kuburan maka kafirnya ainiy (personal) dan bukan nau’iy (perbuatannya saja). Dan tidak ada perbedaan dalam perkara ini antara yang melakukannya karena jahil atau tidak berdasarkan ijma’.

Berikut ini nash perkataan beliau dalam hal ini;

على أن الذي نعتقد وندين الله به، ونرجو أن الله يثبتنا عليه أنه لو يغلط هو أو أجل منه في هذه المسألة، وهي مسألة المسلم إذا أشرك بالله بعد بلوغ الحجة، أو المسلم الذي يفضل هذا على الموحدين، أو يزعم أنه على حق، أو غير ذلك من الكفر الصريح الظاهر الذي بينه الله ورسوله وبينه علماء الأمة، أنا نؤمن بما جاءنا عن الله وعن رسوله من تكفيره ولو غلط من غلط. فكيف والحمد لله ونحن لا نعلم عن واحد من العلماء خلافا في هذه المسألة.

Bahwa apa yang kami yakini, dan dengannya kami beribadah kepada Allah, dan kami berharap Allah mengokohkan kami diatasnya. Bahwa apabila ia (Ibnu Taimiyah) atau orang yang lebih mulia darinya keliru dalam perkara ini, yaitu perkara seorang muslim apabila ia menyekutukan Allah setelah bulughul hujjah (sampai padanya hujjah), atau seorang muslim yang mengunggulkan kesyirikan atas ahli tauhid, atau menyangka bahwa kesyirikan itulah yang benar, atau selainnya dari kekufuran yang jelas dan terang, yang telah Allah dan rasul-Nya jelaskan dan dijelaskan oleh ulama ummat. Bahwa kami beriman kepada apa yang datang dari Allah dan dari rasul-Nya bahwa orang ini kafir, walaupun orang-orang keliru. Terlebih lagi Alhamdulillah kami tidak mengetahui dari seorang pun ulama yang menyelisihi dalam perkara ini. Mufidul Mustafid (hal 132)

Dan maksud bulughul hujjah menurutnya adalah sampainya Al Qur’an. Beliau berkata:

إن الذي لم تقم عليه الحجة هو الذي حديث عهد بالإسلام والذي نشأ ببادية، أو يكون ذلك في مسألة خفية مثل الصرف والعطف فلا يكفر حتى يعرف. أما أصول الدين التي أوضحها الله في كتابه فإن حجة الله هي القرآن، فمن بلغه فقد بلغته الحجة.

Sesungguhnya orang yang belum tegak padanya hujjah adalah mereka yang baru masuk Islam dan orang yang tinggal dipedalaman atau pelanggaran itu terjadi dalam perkara yang samar seperti sharf dan athaf, maka orang ini tidak dikafirkan sampai dijelaskan. Adapun (perkara) ushuluddin (pokok-pokok agama) yang telah Allah jelaskan dan terangkan dengan muhkam (tanpa kesamaran) dalam kitab-Nya, bahwa hujjah Allah adalah Al Qur’an. Barangsiapa yang sampai padanya Al Qur’an, berarti telah sampai padanya hujjah. Durar As-Sanniyah (7/159-160)

Adapun ijma’ bahwa dalam perkara ini (syirik besar) tidak ada kekufuran selain ai’niy (personal), adalah seperti yang beliau sebutkan pada suratnya yang ia kirim kepada Ahmad bin Abdul Karim, beliau berkata:

واذكر كلامه في الإقناع وشرحه في الردة كيف ذكروا أنواعا كثيرة موجودة عندكم. ثم قال منصور: وقد عمت البلوى بهذه الفرق وأفسدوا كثيرا من عقائد أهل التوحيد نسأل الله العفو والعافية. هذا لفظه بحروفه، ثم ذكر قتل الواحد منهم وحكم ماله. هل قال واحد من هولاء من الصحابة إلى زمن منصور إن هولاء يكفر أنواءهم لا أعيانهم؟!

Dan bacalah perkataannya dalam Al Iqna’ dan syarahnya (yaitu Manshur Al Bahuti) seputar riddah, bagaimana mereka menyebutkan macam (kekafiran) yang banyak yang ada ditengah-tengah kalian (sekarang). Kemudian Manshur berkata: “Dan telah merebak bencana disebabkan firqah-firqah ini dan mereka telah banyak merusak dari akidah ahli tauhid, kami mohon kepada Allah ampunan dan keselamatan.” (Asy-Syaikh Muhammad berkata:) Inilah ucapan beliau dengan hurufnya, kemudian ia (Manshur) menyebutkan (data) dibunuhnya salah seorang dari mereka dan hukum tentang hartanya. (Asy-Syaikh Muhammad melanjutkan:) “Apakah ada seorang saja dari mereka sejak zaman shahabat sampai zaman Manshur (ini) yang mengatakan, sesungguhnya orang-orang itu kafir perbuatannya, bukan personnya?!”

Dari sini jelaslah letak kekeliruan banyak penulis kontemporer dalam membedakan antara takfir mutlak dengan takfir mu’ayyan yang terdapat pada penjelasan ulama. Mayoritas mereka terjebak pada bingkai bahwa mutlak dalam perkara ini artinya mengkafirkan perbuatan tanpa menyebut nama, “barangsiapa melakukan perbuatan ini maka ia kafir”, sedangkan mu’ayyan artinya mengkafirkan person dengan langsung menyebut nama, “fulan bin fulan kafir”.

Mereka mengeneralisir kaidah ini dan memberlakukannya pada semua jenis kekufuran. Padahal kaidah tersebut seyogjanya hanya berlaku pada perkara khafiyah (samar dalilnya), tapi mayoritas mereka menggunakannya hingga pada perkara dhahirah (jelas dalilnya). Silahkan perhatikan lagi ucapan Asy-Syaikh Muhammad diatas saat menjelaskan arti bulughul hujjah, karena padanya terdapat penjelasan yang terang akan perkara ini.

Dan kesalahpahaman seperti ini pernah terjadi pada masa-masa munculnya dakwah Al Imam Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah. Asy-Syaikh Al Allamah Ishaq bin Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh Rahimahullah dalam kitabnya Takfir Mu’ayyan wal Farq baina Qiyamil Hujjah wa Fahmil Hujjah berkata ;

Telah sampai kepada kami dan kami dengar tentang sekelompok orang yang mengaku berilmu, beragama, dan menyangka bahwa ia pengikut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa orang yang melakukan kesyirikan kepada Allah dan beribadah kepada berhala tidak dikatakan kafir dan musyrik secara ta’yin (personal). …orang ini mengatakan: Kami mengkafirkan nau’ (perbuatan) dan tidak menta’yiin orang kecuali setelah ta’riif (dijelaskan).

Kemudian beliau menerangkan:

Syubhat yang telah kami sebutkan ini telah terjadi yang seperti ini atau kurang dari ini pada orang-orang di zaman Asy-Syaikh Muhammad Rahimahullah. Akan tetapi orang-orang yang memiliki syubhat ini, melihatnya sebagai syubhat dan minta dihilangkan. Adapun orang-orang yang kami sebutkan, mereka menjadikan syubhat ini sebagai pijakan (pokok) dan menghukumi kepada segenap musyrikin dengan ta’rif serta membodoh-bodohi orang yang menyelisihi mereka, sehingga mereka tidak diberi taufik kepada kebenaran. Yang demikian ini karena ada pada mereka hawa nafsu yaitu pergaulan dengan musyrikin. –selesai

Sumber kekeliruan ini adalah syubhat, sebagiannya mereka dapati pada ucapan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri tapi dengan pemahaman mereka sendiri. Yaitu terdapat pada sebagian redaksi ucapan beliau bahwa beliau tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kuburan Ahmad Al Badawi dan ucapan yang semisal dengannya. Padahal jika mereka mau menelaah lebih jauh, mereka akan dapati bahwa ucapan tersebut bukan pokok dalam perkara kita, sebagaimana akan saya jelaskan kemudian insyaAllah.

Berikut ini redaksi ucapan beliau yang sering mereka jadikan sandaran :

وإذا كنا لا نكفر من عبد الصنم الذي على عبد القادر والصنم الذي على قبر أحمد البدوي لأجل جهلهم وعدم من ينبههم فكيف نكفر من لم يشرك بالله إذا لم يهاجر إلينا ولم يكفر ويقاتل

Dan jikalau kami tidak mengkafirkan orang-orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kuburan Abdul Qadir dan berhala yang berada diatas kuburan Ahmad Al Badawi karena kejahilan mereka dan tidak ada orang yang memperingatkan mereka, bagaimana kami (dituduh) mengkafirkan orang yang tidak menyekutukan Allah jika ia tidak berhijrah ke tempat kami dan tidak ikut mengkafirkan dan berperang?!

Redaksi ini merupakan nash bahwa Asy-Syaikh Muhammad tidak mengkafirkan para penyembah kubur karena jahil sampai dita’riif (diberi penjelasan). Maka dari mana anda katakan bahwa Asy-Syaikh Muhammad mengkafirkan mereka meski mereka jahil?!

Inilah pegangan mereka dan orang-orang yang bermakmum dengan mereka dahulu dan sekarang dan inilah argument mereka dalam perkara ini. Pertanyaannya, benarkah Asy-Syaikh Muhammad tidak mengkafirkan penyembah kubur sebagaimana klaim mereka. Atau sebenarnya ada ucapan Asy-Syaikh Muhammad yang luput dari mereka?

Insyaallah perkara ini akan kita urai pada tulisan berikutnya.

Wallahulmuwaffiq.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *