Urgensi Tauhid dalam Dakwah!

Berikut ini nasihat Asy-Syaikh Al Albani Rahimahullah kepada para da’i untuk mementingkan tauhid dalam dakwah mereka kepada manusia.

Pertanyaan:
Wahai Asy-Syaikh yang mulia, tidak diragukan lagi bahwa engkau mengetahui kenyataan umat Islam adalah kenyataan yang pahit, yaitu apabila ditinjau dari sisi awamnya mereka dalam perkara akidah dan masalah-masalah keyakinan, dan dari sisi perbedaan mereka dalam perkara-perkara manhaj, dan (juga) tidak adanya kepedulian (mereka) dalam menyebarkan dakwah Islamiyah di sebagian besar penjuru dunia, yaitu apabila dibandingkan dengan akidah dan manhaj yang ada pada generasi pertama umat Islam, yang telah mengantarkan mereka kepada kejayaannya.
Kenyataan yang menyakitkan ini tidak diragukan lagi telah melahirkan semangat pada orang-orang yang ikhlas dan (memunculkan) keinginan untuk mengubahnya dan memperbaiki yang kurang. Hanya saja mereka berselisih dalam cara memperbaiki realita ini.

Hal ini disebabkan adanya perbedaan pada sumber pengambilan akidah dan manhaj di antara mereka, sebagaimana yang telah engkau ketahui sendiri dari berbilangnya jumlah kelompok-kelompok pergerakan dan jamaah-jamaah Islam serta partai-partai dan ormas yang mengaku-ngaku memperbaiki kondisi umat Islam selama puluhan tahun, tetapi belum pernah terukir bagi mereka kesuksesan dan kemenangan. Bahkan kelompok-kelompok pergerakan tersebut telah menyebabkan timbulnya berbagai fitnah yang menimpa umat dan turunnya bencana-bencana serta musibah-musibah yang besar disebabkan manhaj-manhaj dan akidah-akidah mereka yang menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ajaran yang dibawa beliau, yang mana hal ini berdampak besar kepada kebingungan kaum muslimin dan khususnya para pemuda Islam tentang cara mengatasi kenyataan (yang pahit) ini.
Seorang da’i muslim yang konsisten dengan manhaj Nabi dan mengikuti jalannya orang-orang yang beriman -yang sesuai pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan ulama-ulama Islam-, pastilah merasa bahwa ia mengemban amanat yang besar dalam menghadapi kenyataan ini dan (bertanggung jawab) memperbaikinya atau ikut serta dalam mengatasinya.
Maka apa nasihat Anda kepada para pengikut kelompok-kelompok pergerakan atau jamaah-jamaah tersebut?
Dan apa cara-cara yang tepat dan berguna dalam mengatasi kenyataan ini?
Dan bagaimana seorang muslim bisa tunai kewajibannya (dalam hal ini) di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada hari kiamat?

Jawaban: 

[Kewajiban Memperhatikan dan Memprioritaskan Perkara Tauhid Sebagaimana Hal Ini Merupakan Manhaj Para Nabi dan Rasul ‘Alaihimus Salam]

Sebagai tambahan akan apa yang telah disebutkan pada pertanyaan di atas tentang buruknya kenyataan kaum muslimin, kami katakan:
Sesungguhnya kenyataan yang menyakitkan ini tidaklah lebih buruk dibanding keadaan orang-orang Arab pada masa jahiliyah dahulu, ketika diutusnya nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada mereka. Hal ini karena masih adanya risalah dan kesempurnaan (agama ini) di tengah-tengah kita. Dan (juga) karena masih adanya satu kelompok yang menampakkan kebenaran, yang dengan kebenaran tersebut mereka memberikan petunjuk dan menyeru manusia kepada Islam yang benar: akidahnya, ibadahnya, jalan hidupnya, dan manhajnya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa keadaan orang-orang Arab pada masa jahiliyah (dahulu) menyerupai keadaan kebanyakan kelompok-kelompok kaum muslimin pada hari ini! Atas dasar itulah kami katakan: cara menangani (keduanya) sama dan cara mengobati (keduanya) juga sama.

Maka sebagaimana metode yang ditempuh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam menangani kejahiliyahan yang pertama, wajib bagi para da’i Islam pada hari ini –seluruhnya- untuk memperbaiki pemahaman yang salah terhadap makna Laa Ilaaha Illallah, dan membenahi keadaan mereka yang menyedihkan ini dengan penanganan dan obat yang sama. 
Hal ini jelas sekali apabila kita menghayati firman Allah ‘Azza Wa Jalla:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً 

“Sungguh telah ada bagi kalian suri teladan yang baik pada diri Rasulullah bagi siapa yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan mengingat Allah dengan banyak.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Maka rasul kita Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan contoh yang baik dalam menangani problematika kaum muslimin pada masa kini, dan pada setiap masa dan keadaan. Dan hal itu menuntut kita untuk memulai dari arah yang dahulu Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memulai. Yaitu pertama-tama dengan memperbaiki akidah kaum muslimin yang rusak, kemudian tata cara praktik ibadah mereka, kemudian tingkah laku (akhlak) mereka.
Dan bukan maksud saya memberikan urutan seperti ini memisahkan perkara yang pertama dimulai dengan perkara yang paling penting, kemudian yang penting, kemudian yang setelahnya, melainkan yang saya inginkan adalah agar kaum muslimin memberikan perhatian yang besar terhadap perkara-perkara ini. Dan yang saya maksudkan dengan “kaum muslimin” di sini adalah da’i-da’inya. Dan barangkali lebih tepat kami katakan: para ulamanya. 
Karena sangat disayangkan bahwa sekarang ini kata-kata da’i bisa mencakup setiap orang Islam meskipun keilmuannya minim sekali, tetapi tetap menganggap diri-diri mereka sebagai da’i-da’i Islam. 
Dan jika kita mengingat-ingat sebuah kaidah yang populer, -bukan di tengah-tengah para ulama saja, bahkan mencakup orang-orang yang berakal seluruhnya- yaitu kaidah yang berbunyi:  “Orang yang tidak memiliki apa-apa tidak bisa memberi”, sesungguhnya kita telah mengetahui sekarang ini bahwa di sana ada satu kelompok yang sangat besar (jumlahnya) mencapai jutaan kaum muslimin, yang apabila disebut kata-kata da’i, pandangan manusia akan tertuju kepada mereka. Yang saya maksudkan dengan mereka adalah Jamaah Dakwah atau Jamaah Tabligh. Akan tetapi, bersamaan dengan itu kebanyakan mereka adalah seperti yang dikatakan Allah ‘Azza Wa Jalla;

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ 
“Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Al-A’raf: 187)

Dan sudah dimaklumi di antara metode dakwah mereka bahwa mereka telah berpaling sepenuhnya dari mementingkan pokok yang pertama atau perkara yang terpenting dari perkara-perkara yang telah saya sebutkan di depan. Dan yang saya maksud adalah akidah, ibadah, dan suluk (akhlak). Mereka telah berpaling dari (titik tolak) perbaikan yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahkan seluruh nabi bertolak darinya.  Allah telah menjelaskan hal ini dalam firman-Nya;
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ 

“Dan sungguh telah kami utus bagi setiap umat seorang rasul untuk beribadah (menyembah) Allah dan meninggalkan thagut.” (QS. An-Nahl: 36)

Mereka tidak memperhatikan asas yang paling mendasar ini, rukun pertama dari rukun-rukun Islam, sebagaimana hal ini telah dimaklumi oleh kaum muslimin seluruhnya. Inilah asas yang dahulu diserukan oleh utusan Allah yang pertama dari rasul-rasul yang mulia, yaitu Nabi Nuh Alaihissalaam selama hampir seribu tahun.
Dan semua pihak telah mengetahui bahwa pada syariat-syariat terdahulu belum ada rincian hukum-hukum ibadah dan muamalah seperti yang dikenal pada agama kita sekarang karena agama kita adalah agama penutup bagi seluruh syariat dan agama. Akan tetapi, walaupun demikian, Nabi Nuh tetap tinggal di tengah-tengah kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun mencurahkan waktu dan seluruh perhatiannya mengajak kepada tauhid. Namun kaumnya tetap berpaling dari seruan Nabinya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Azza Wa Jalla di dalam Al-Qur’an;
ولا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلا سُوَاعاً وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرا 
“Dan sekali-kali janganlah kamu meninggalkan sesembahan-sesembahanmu dan janganlah kamu tinggalkan Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasra.” (QS. Nuh: 23)

Hal ini menunjukan dengan pasti bahwa perkara terpenting yang seharusnya para da’i yang menyeru kepada ajaran Islam yang benar, selalu perhatian terhadapnya ialah mengajak kepada Tauhid (mendakwahkan tauhid). Dan inilah makna dari firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ 
“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar, kecuali Allah.” (QS. Muhammad: 19) 
Demikianlah dahulu yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam praktik dan arahan-arahannya.
Dari sisi praktik beliau, hal ini tidak perlu dibahas lagi karena pada fase Makkah, praktik dan dakwah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada umumnya terpusat kepada menyeru kaumnya agar beribadah kepada Allah, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Adapun dari sisi pengarahan beliau, adalah seperti yang terdapat pada hadist Anas bin Malik Rhadiyallahu ‘Anhu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengutus Mu’adz Rhadiyallahu ‘Anhu ke negeri Yaman, beliau berkata kepadanya,
ليكن أول ما تدعوهم إليه: شهادة أن لا إله إلا الله، فإن هم أطاعوك لذلك…
“Jadikanlah yang pertama kali kamu dakwahkan kepada mereka adalah persaksian Laa Ilaaha Illallah (tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah), maka jika mereka menaatimu….” dst. 
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memerintahkan para shahabatnya untuk memulai (dakwah mereka) dari titik tolak yang sama dengan dakwahnya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu berdakwah kepada tauhid.
Tidak diragukan lagi, bahwa di sana ada perbedaan yang besar sekali, antara orang-orang musyrikin Arab dahulu –dari sisi bahwa mereka dahulu memahami apa-apa yang disampaikan kepada mereka dengan bahasa mereka-, apabila dibandingkan dengan kebanyakan kaum muslimin Arab pada hari ini yang tidak perlu lagi diseru untuk mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, karena mereka telah mengucapkannya –meskipun ada perbedaan mazhab, metode, dan akidah di antara mereka-, mereka semua mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Akan tetapi, pada kenyataannya mereka perlu memahami makna kalimat yang indah ini (Laa Ilaaha Illallah).
Dan perbedaan di sini adalah perbedaan yang jelas sekali, yaitu antara bangsa Arab terdahulu yang apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyeru mereka untuk mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah, mereka sombong (menolak). Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Al-‘Adzhim.
Mengapa mereka sombong (menolak)? Karena mereka memahami bahwa makna kalimat ini adalah agar mereka tidak mengambil sekutu-sekutu bagi Allah dan agar mereka tidak beribadah, kecuali kepada Allah. Dan dahulu mereka menyembah selain Allah, menyeru selain Allah, dan meminta keselamatan kepada selain Allah, belum lagi nadzar mereka kepada selain Allah, tawasul kepada selain Allah, menyembelih untuk selain-Nya, dan berhukum kepada selain-Nya…dst.
Inilah sarana-sarana kesyirikan berhalaisme yang banyak dikenal, yang dahulu mereka perbuat. Kendati demikian, mereka tahu bahwa konsekuensi dari kalimat yang indah ini -Laa Ilaaha Illallah-, apabila ditinjau dari sisi bahasa Arab, adalah keharusan untuk berlepas diri dari seluruh perkara-perkara (kesyirikan) ini semua, karena ini semua bertentangan dengan makna Laa Ilaaha Illallah.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *