Perhatikanlah hikmah Allah Ta’aala, bagaimana Dia menjadikan raja-raja, penguasa dan pemimpin bagi rakyat dari jenis perilaku rakyat itu sendiri. Bahkan seolah-olah perilaku mereka tampak pada gambaran penguasa dan pemimpin-pemimpin mereka:
– Apabila rakyat istiqamah, pemimpin-pemipin mereka istiqamah
– Dan apabila mereka berlaku adil, para pemimpin pun adil kepada rakyatnya
– Apabila mereka dzalim, dzalim pula pemimpin dan para penguasa kepada mereka
– Dan apabila tampak ditengah-tengah mereka makar dan tipudaya, maka pemimpin mereka pun demikian
– Dan apabila rakyat menahan hak-hak Allah yang ada pada mereka dan berbuat bakhil, para pemimpin dan penguasa juga menahan hak-hak rakyat mereka dan bakhil
– Dan apabila rakyat mereka mengambil dari orang-orang lemah apa-apa yang bukan hak mereka dalam muamalah mereka, pemimpin-pemimpin dan para penguasa juga mengambil dari rakyatnya apa-apa yang bukan hak mereka, apakah melalui pemberlakuan pajak atau semisalnya. Dan semua yang rakyat ambil dari orang lemah, para pemimpin dan penguasa juga mengambil dari rakyatnya dengan paksa. Maka penguasa mereka tampil sebagai cerminan perilaku rakyatnya.
Dan bukan merupakan hikmah ilahiyah, Allah menguasakan pada orang-orang jahat pelaku maksiat kecuali pemimpin-pemimpin yang sejenis dengan mereka.
Maka ketika generasi pertama (ummat Islam) adalah sebaik-baik manusia, maka pemimpin mereka pun demikian. Dan ketika mereka pergi, pergi pula pemimpin seperti mereka. Maka Allah Yang Maha Bijak enggan menjadikan berkuasa atas kita di zaman seperti sekarang ini orang-orang seperti Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu dan Umar bin Abdul Aziz, apalagi seperti Abu Bakr dan Umar Radhiallahu ‘anhum. Melainkan pemimpin kita sama seperti kita dan pemimpin orang-orang sebelum kita seperti rakyat mereka. Dan masing-masing dari dua keadaan ini adalah sesuai dengan kebijaksanaan Allah Ta’aala Yang Maha Bijak.
Miftah Daarus Sa’aadah (2/177-187) dikutip dari “Muhimmat fil Jihad” karya: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Rais Ali Rais