Sejarah Kebangkitan Bid’ah Al Jahidz dan Daud bin Jirjis (2)

Mazhab rusak ini telah menyeret para penulis kontemporer yang terjun ke dalam persoalan dhawabith takfir tanpa bekal bashirah tersebut kepada keburukan lain yang menunjukkan akan kegelapan hati. Yaitu mazhab mereka yang abstain dalam mengkafirkan mu’ayyan yang jahil dari para penyembah kuburan dan yang semisal mereka. Dan anggapan mereka bahwa para penyembah kuburan tersebut berada di atas keislaman meskipun melakukan kesyirikan yang terang dan jelas. Keburukan lain itu adalah anggapan mereka bahwa sebagian orang-orang yang terjatuh ke dalam kesyirikan dari para penyembah kuburan dan selain mereka bisa saja termasuk sebaik-baik ummat. Salah seorang mereka berkata; “…maka wajib untuk tidak menghukumi seorang muslim yang mengucapkan atau melakukan perbuatan yang membatalkan syahadat bahwa dia kafir atau musyrik sampai jelas bagi kita kelalaiannya. Selagi belum jelas bagi kita kelalaiannya maka dia disisi kami adalah muslim dan mungkin termasuk sebaik-baik muslimin dan orang shalih dan wali…”[1] Hal ini tidak diragukan termasuk kejahilan terhadap yang terdapat di dalam Al Kitab Al Aziz. Karena sesungguhnya Allah Ta’aala telah menerangkan sebaik-baik ummat dan orang-orang shalihnya dengan firman-Nya;

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَٰئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

              “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan shalih, merekalah sebaik-baik makhluk.” (Qs. Al Bayyinah; 7)

              Dan juga firman-Nya;

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

              “Allah mengangkat orang-orang beriman dari kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Qs. Al Mujadilah; 11)

              Dan Allah Ta’aala menerangkan para wali-Nya dengan firman-Nya;

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

              “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada ketakutan atas mereka dan mereka tidak bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertakwa.” (Qs. Yunus; 62-63)

              Ini adalah keterangan Allah Ta’aala terhadap sebaik-baik ummat dan wali-wali Nya, bahwa mereka adalah; ahli iman dan tauhid, ahli ilmu dan bashirah dan ketakwaan serta amalan-amalan shalih. Adapun si peneliti ini dan yang sekolam dengannya yang belajar dari mereka pendapat-pendapat (sesat) ini, di benak mereka sebaik-baik ummat dan wali-walinya adalah pelaku kesyirikan, kebodohan dan bermacam-macam kebid’ahan dan khurafat yang lahir darinya.

              Sikap mereka terhadap kuburiyun, orang-orang yang tenggelam di dalam kubangan syirik dan sikap  lemah lembutnya mereka kepada kuburiyun bertolak belakang dengan sikap mereka yang terkenal pada dialog-dialog dan situs-situs internet mereka yang mensifati para ulama ahlussunnah kontemporer yang mengkafirkan para penyembah thaghut-thaghut dan berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya dan berlepas diri dari siapa saja yang sependapat dengannya bahwa mereka kaum takfiriyun atau garis keras, atau meniti jejak Khawarij dan julukan-julukan jelek lainnya.

              Kemudian si peneliti ini semakin bertambah dalam kesesatan dan tertatih-tatih saat dia menyangka bahwa orang yang terjatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik yang membatalkan tauhid ibadah, apabila jahil (tidak tahu) tidak berdosa dan tidak dihukum karenanya serta imannya tidak berkurang. Bahkan bisa jadi berada di atas kesempurnaan iman dan kesalihan serta termasuk waliyullah, sebagaimana telah dijelaskan. Dan apabila pelakunya telah tegak hujjah, maka perbuatan-perbuatan kesyirikan itu baginya hanya sebatas dosa besar semata. Ia berkata; “….pelakunya lalai dalam mengangkat kejahilan dari dirinya, maka yang seperti ini telah disepakati pelakunya tidak diberi udzur. Tapi hukum atasnya di akhirat  mungkin diperdebatkan, apabila nasibnya di dunia tidak diberi udzur; apakah dia akan dihukum sebagaimana orang-orang kafir, atau dihukum sebagaimana pelaku dosa-dosa, sehingga nasibnya tergantung kehendak Allah.”[2]

Buah dari pemikiran sesat ini

              Muara paling berbahaya dari tersebarnya mazhab ini yang beranggapan bahwa seorang mu’ayyan yang jahil yang melakukan kesyirikan yang terang dan kekufuran yang jelas tidak kafir dengan alasan belum tegak hujjah. Dan anggapan bahwa pelakunya bisa jadi termasuk sebaik-baik ummat dan orang shalih serta waliyullah. Dan bahwa perbuatannya bukan maksiat yang pelakunya dihukum seperti para pendosa lainnya kecuali apabila dia lalai dalam mengangkat kejahilan dari dirinya adalah; diremehkannya persoalan belajar tauhid dan mendakwahinya. Tauhid yang berupa menunggalkan Allah dalam peribadahan, dan kufur kepada thaghut yang berupa meninggalkan peribadahan kepada selain Allah tidak tergambarkan di hadapan para da’i tersebut akan sampai kepada kesesatan seperti ini. Yakni pada persoalan yang terkait dengan para penyembah kuburan yang jahil, tidak lagi dibicarakan syarat sah (keimanan) atau syarat sempurnanya. Yang demikian karena dakwah mereka kepada orang-orang musyrik yang jahil itu agar mempelajari tauhid tidak lepas dari dua kemungkinan;

              Pertama; Mereka menyambut dakwah dan meninggalkan pembatal-pembatal tauhid ibadah dan kemudian menauhidkan Allah. Dengan ini mereka tidak akan mendapat manfaat sama sekali, apabila ditinjau dengan kacamata para dai tersebut. Karena (sebelum ini) keimanan mereka telah sah dan bahkan mencapai derajat orang-orang shalih dan sebaik-baik ummat dan termasuk waliyullah disisi perbuatan mereka yang meninggalkan tauhid dan mengerjakan lawannya berupa kesyirikan. Sehingga mereka tidak akan meraih manfaat apa pun dengan didakwahi kepada tauhid bahkan sekalipun mereka telah berpegang dengannya.

              Kedua; Orang-orang yang terjatuh ke dalam pembatal-pembatal tauhid itu tidak menyambut ajakan kepada tauhid, sebagaimana realita mayoritas para penyembah kuburan. Sehingga dengan dakwah tersebut hujjah menjadi tegak atas mereka dan mereka terjatuh ke dalam dosa atau kekufuran. Berarti mengajak mereka kepada tauhid kejelekan dan tidak ada kebaikan sama sekali untuk mereka. Sehingga yang terbaik dan sesuai dengan sikap kasih saying kepada mereka adalah membiarkan mereka tidak diajak kepada tauhid. Karena sebelum ini mereka telah mencapai derajat yang tinggi dalam keimanan dan keshalihan dan berhak meraih derajat waliyullah sekalipun tanpa tauhid, yakni menurut cara pandang mazhab mereka.

              Tidak diragukan bahwa cara pandang seperti ini adalah sasaran musuh-musuh agama Allah. Yaitu memalingkan pada dai dari menyeru kepada tauhidullah dan memperingatkan dari kesyirikan. Inilah fitnah dalam agama itu.

              Al ‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah telah mengingatkan (hal ini) di dalam bantahannya kepada penyeru kesesatan Daud bin Jirjis Al Quburi An-Naqsyabandi Al ‘Iraqi, ia berkata; “Kemudian datanglah orang yang mengelabui manusia dan memfitnah tauhid mereka dengan mengutip ucapan-ucapan ahli ilmu dan menambahkan serta mengurangi yang kesimpulannya adalah berdusta atasnama mereka. Padahal ucapan itu dilontarkan di tengah manusia yang ada pada mereka keislaman dan ketaatan. Beredar di tengah-tengah mereka mazhab-mazhab yang sebagian ahli ilmu mengkafirkan pelakunya disebabkan mazhab tersebut. Sementara sebagian lainnya memilih abstain dari mengkafirkan mereka sampai hujjah tegak atas mereka. Sebagian ulama tidak menyebut mereka tergolong ke dalam kelompok musyrikin, melainkan ke dalam golongan orang-orang fasik….”[3]


[1] Majallah Ad-Diraasaat Al ‘Aqadiyyah no 3, pembahasan Al Udzru bil Jahl…. Halaman 76

[2] Majallah Ad-Diraasaat Al ‘Aqadiyyah no 3, pembahasan Al Udzru bil Jahl…. Halaman 90

[3] Ad-Durar As-Sanniyyah fi Al Kutub An-Najdiyyah (11/467)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *