Diantara bacaan shalawat yang populer di tengah masyarakat sejak lama adalah “Shalawat Nariyah”. Banyak orang-orang yang mengamalkannya dan menilainya sebagai bagian dari shalawat yang utama, namun tidak sedikit juga yang melarangnya dan menganggap isinya bertentangan dengan sendi-sendi ibadah di dalam Islam.
Sebelum kami dudukkan permasalahan ini sesuai ilmu yang sampai kepada kami, perlu diketahui bahwa masing-masing pihak yang berselisih telah sepakat akan hal-hal berikut:
1- Membaca shalawat kepada Nabi adalah dianjurkan dan mengandung banyak fadhilah & keutamaan.
2- Hanya Allah semata yang bisa mengabulkan doa, menolong hamba-Nya dan lain sebagainya dari pokok-pokok rububiyah Allah.
Berdasarkan ini maka tidak relevan menuduh pihak yang melarangnya sebagai pihak yang anti shalawat, atau sebaliknya menuduh pihak yang membolehkannya telah musyrik dalam rububiyah.
Pengarangnya
Mengutip dari KH Ma’ruf Khozin, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim dan Anggota LBM PWNU Jatim pengarangnya adalah Syekh Ahmad At-Tazi Al-Maghribi (Maroko). Karena itu di negerinya ia lebih dikenal dengan nama “Shalawat Taziyah” sebagai penyandaran kepada pengarangnya. [Menjawab Penggugat Shalawat Nariyah, http://www.nu.or.id/post/read/72195/menjawab-penggugat-shalawat-nariyah]
Selain itu ia disebut juga dengan “Shalawat Tafrijiyah” mengikuti sebuah ucapan di dalamnya “tanfariju.”
Dan beberapa sumber yang tidak diketahui validitasnya menyebutkan bahwa shalawat ini sejak lama sudah diamalkan oleh para wali & orang-orang shalih. Bahkan sebagiannya ada yang menisbatkan kepada Al Imam Al Qurtubi bahwa beliau menganjurkannya. Wallahua’lam.
Tawassul dengan nabi
Kesimpulan argument pihak yang melarangnya:
1- Shalawat ini tidak diajarkan oleh Nabi
2- Terdapat padanya sanjungan yang berlebihan
3- Terkandung di dalamnya perbuatan tawassul dengan Nabi.
Tuduhan paling ekstrem terhadap shalawat ini adalah syirik besar! Alasannya di dalamnya terdapat penyandaran rububiyah kepada selain Allah!! Yaitu pada bagian:
تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج و تنال به الرغائب
Yang artinya:
Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas dengan Nabi Muhammad (تنحل به العقد)
Segala bencana bisa tersingkap dengan Nabi Muhammad (وتنفرج به الكرب)
Segala kebutuhan bisa terkabulkan dengan Nabi Muhammad (وتقضى به الحوائج)
Segala keinginan bisa didapatkan dengan Nabi Muhammad (و تنال به الرغائب)
Tapi sebagaimana telah disampaikan di depan, bahwa tuduhan syirik seperti ini tidak tepat. Karena shalawat ini dibuka dengan ucapan “Allahumma” yang artinya: Ya Allah! Sehingga jelas bahwa yang dimaksud adalah minta kepada Allah dengan bertawassul kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan inilah yang diyakini pihak yang membolehkan.
Menukil dari As-Subki Imam Muhammad Hasyim Asy’ari rahimahullah menjelaskan hal ini; “Dalam hal ini, kita tidak boleh memohon kepada selain Allah. Kita juga tidak berdoa kecuali kepada-Nya..” Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Al Asy’ari, An-Nuur Al Mubin fi Mahabbah Sayyid Al Mursalin, hal 70-71.
Dan sebuah artikel pada situs nu.or.id yang membahas masalah ini menyimpulkan;
“Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya dimiliki Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah, dengan susunan redaksi shalawat yang tidak sembrono. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan kata bihi yang berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul.” Mahbib Khoiron, Shalawat Nariyah, Tuduhan Syirik dan Ilmu Saraf Dasar. [http://www.nu.or.id/post/read/72205/shalawat-nariyah-tuduhan-syirik-dan-ilmu-sharaf-dasar]
Dari sini kita perlu mengetahui apa hukum tawassul dengan nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?
Tawassul dengan nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada tiga macam:
1- Tawassul dengan beriman dengannya, mencintainya, dan mengikuti sunnahnya.
2- Tawassul dengan minta doanya disaat masih hidup.
3- Tawassul dengan nama (dzat) & kedudukannya di sisi Allah.
Dari tiga jenis tawassul ini perselisihan terjadi pada jenis yang ketiga yaitu antara pihak yang membolehkan seperti Izzuddin Ibn Abdussalam, dengan pihak yang melarangnya seperti Imam Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah. Dan disana ada pendapat ketiga yaitu membolehkan tawassul dengan nabi dan selain nabi dari para shalihin, pendapat ini dibela oleh Asy-Syaukani dalam Tuhfatudz-Dzakirin.
Yang paling kuat dijadikan dalil oleh pihak yang membolehkan tawassul dengan nabi [apakah dengan dzatnya atau dengan kedudukannya, baik dimasa hidup beliau atau sesudah wafatnya] adalah “hadits Al A’ma”, yaitu kisah orang buta yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam minta didoakan.
Diriwayatkan dari Utsman bin Hunaif, bahwa ada seorang buta yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Mintalah kepada Allah agar dia memulihkan pengelihatanku!” Nabi berkata: “Jika kamu mau aku doakan kamu, tapi jika kamu mau aku tunda doa itu dan itu lebih baik bagimu.” Si buta ini berkata: Bahkan doakan saya! Lalu nabi menyuruhnya untuk berwudhu dan membaguskan wudhunya dan shalat dua rakaat dan berdoa dengan doa berikut:
اللهم إني أسألك ، وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة ، يا محمد إني توجهتُ بك إلى ربي في حاجتي هذه ، فتقضى لي ، اللهم فشفّعه فيَّ وشفّعني فيه) . قال : ففعل الرجل فبرأ .
“Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepada-Mu. Dan aku menghadap kepada-Mu dengan nabi-Mu Muhammad, nabi yang penyayang. Wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepada Rabku dengan kamu untuk hajatku ini agar hajatku dipenuhi. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku dan kabulkanlah hajatku berkat syafaatnya.” Lalu dibacalah doa ini olehnya dan sembuh. HR. Ahmad dengan sanad yang shahih.
Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini adalah bukti yang menguatkan pendapat mereka. Tapi barangsiapa memperhatikan dengan baik, tampak olehnya bahwa sebenarnya ia justru dalil yang menguatkan jenis tawassul yang disepakati yaitu tawassul dengan doa orang shalih berdasarkan alasan berikut:
1- Si buta datang kepada nabi minta di doakan. Ia berkata kepada beliau, “Mintalah kepada Allah agar dia memulihkan pengelihatanku!” Karena untuk apa si buta bersusah payah mendatangi Rasulullah sedangkan cukup baginya duduk dirumahnya dan bertawassul dengan dzat atau kedudukan beliau Alaihis Shalaatu Wassalam.
2- Bahwa nabi berjanji mendoakannya, yaitu pada ucapannya “Jika kamu mau aku doakan kamu, tapi jika kamu mau aku tunda doa itu dan itu lebih baik bagimu.” Dan ingkar janji bukan sifat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
3- Keteguhan si buta untuk minta di doakan, yaitu pada ucapannya, “Bahkan doakan saya!”
4- Nabi mengajarinya untuk membaca, “Allahumma fa syaffi’hu fiyya.” Yang artinya; Ya Allah, terimalah syafaatnya (nabi) kepadaku” dan syafaat menurut bahasa adalah doa. [Lihat Lisanul Arab 8/184]
5- Bahwa nabi mengajari si buta untuk membaca, “Fa Syaffi’ni fiihi.” Yang artinya; Kabulkanlah doaku dengan Engkau menerima syafaat nabi-Mu untukku.
Berdasarkan uraian ini maka ucapan si buta, “Dan aku menghadap kepada-Mu dengan nabi-Mu Muhammad…” maksudnya adalah “Aku menghadap kepada-Mu dengan (doa) nabi-Mu Muhammad…” atau dengan kata lain ada kata yang tersembunyi (mahzuf) disitu, yaitu; doa. Dan gaya bahasa seperti ini bukan hal baru dalam bahasa Arab. Di dalam Al Qur’an (Yunus: 82) Allah berfirman; “Dan tanyakanlah kepada “al qaryah”…” atau desa sedangkan maksudnya adalah “penduduk desa”.
Kesimpulannya, tidak ada dalil bagi pihak yang membolehkan tawassul dengan nama/dzat atau dengan kedudukan nabi pada hadits Al A’ma ini karena hadits ini paling jauhnya adalah dalil bagi jenis tawassul yang syar’i yaitu tawassul dengan doa orang shalih yang masih hidup. Maka apabila tidak ada dalil bagi yang membolehkan tawassul dengan nama/dzat atau kedudukan pada hadits ini berarti bacaan pada Shalawat Nariyah ;
Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas dengan Nabi Muhammad (تنحل به العقد)
Segala bencana bisa tersingkap dengan Nabi Muhammad (وتنفرج به الكرب)
Segala kebutuhan bisa terkabulkan dengan Nabi Muhammad (وتقضى به الحوائج)
Segala keinginan bisa didapatkan dengan Nabi Muhammad (و تنال به الرغائب)
Adalah termasuk jenis tawassul yang muhdats atau baru disamping pujian yang berlebihan kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Penutup
Telah diketahui bahwa perselisihan terjadi pada tawassul jenis ketiga. Dan menurut kaidah fikih keluar dari perbedaan adalah dianjurkan/mustahab. Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub, MA berkata; “Maka sebagai ganti dari mengatakan; “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan Muhammad,” lebih baik kita mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan mencintai Muhammad.” Redaksi ini tidak mengundang perbedaan pendapat, karena mencintai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallamadalah termasuk ibadah. [Titik Temu Wahabi-NU, hal 68]
Wallahua’lam.