Siapakah yang diberi Udzur karena Kejahilannya?

Berikut ini pernyataan resmi Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan seputar Al Udzru bil Jahl (apakah kejahilan merupakan sebab seseorang diberi toleransi) dalam perkara syirik besar yang beliau beri judul dengan “Al Jahlu wal Udzru bihi” dalam halaman website beliau:

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam. Dan shalawat serta salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad dan keluarganya dan para shahabatnya. Amma ba’du;

Telah banyak beredar dimasa ini pembicaraan seputar Udzur bil Jahl. Yang mana mengakibatkan manusia sikap menggampang-gampangkan agama. Dan jadilah masing-masing pihak (yang berselisih) membuat tulisan dan pembahasan sehingga timbul perdebatan dan sikap kesewenangan atas hak saudaranya.

(Padahal) jika perkara ini mereka kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah dan kepada para ulama, tentu akan hilanglah kesimpangsiuran dan tampak kebenaran, sebagaimana yang Allah firmankan;

(وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ) [النساء: 83]

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu). (QS. 4:83)

Dan kita pun tidak perlu disibukkan dengan tulisan-tulisan dan baths (ulasan) yang saling bertabrakan seputar ini yang membuat kegaduhan ilmu, padahal kita tidak butuh kepada itu semua.

Kejahilan adalah tidak adanya ilmu. Dahulu manusia sebelum diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berada kejahilan & kesesatan yang gelap. Ketika Allah mengutus rasul-Nya (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) dan menurunkan kitab-Nya (Al Qur’an), hilanglah jahiliyah yang umum, alhamdulillah.

(هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمْ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ) [الجمعة: 2]،

Allah Ta’aala berfirman; Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah.Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. 62:2)

Maka jahiliyah yang umum telah hilang dengan diutusnya beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Adapun jahiliyah yang khusus mungkin ada sebagian darinya pada sebagian orang. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata (kepada salah seorang shahabatnya); “Sesungguhnya ada padamu unsur jahiliyah”.

Dan kejahilan ada dua; jahil basith (ringan) & jahil murakkab.

Yang pertama (jahil basith) adalah orang yang sadar bahwa dirinya jahil lalu ia mencari tahu dan menerima arahan yang benar.

Adapun jahil murakkab adalah orang yang tidak menyadari bahwa dirinya jahil. Bahkan ia merasa berilmu, sehingga tidak menerima arahan yang benar. Dan yang kedua ini kejahilan yang paling jelek.

Maka kejahilan yang orangnya diberi udzur (toleransi) adalah kejahilan yang tidak mungkin hilang karena orangnya tinggal ditempat yang terputus dari dunia luar, tidak mendengar keterangan sama sekali dan tidak ada disekitarnya orang yang mengajarinya. Maka orang ini jika ia wafat dalam kondisi seperti ini maka ia termasuk ahli fatrah.

Allah Ta’aala berfirman;

(وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً) [الإسراء: 15]

Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. 17:15)

Sedangkan kejahilan yang orangnya tidak diberi udzur adalah kejahilan yang bisa hilang apabila ia berupaya menghilangkannya. Seperti orang yang mendengar atau membaca Al Qur’an dan dia orang Arab, mengerti bahasa Al Qur’an, maka orang ini tidak diberi udzur jika tetap berada diatas kejahilan. Karena Al Qur’an telah sampai kepadanya dengan bahasanya.

Allah Ta’aala berfirman;

(قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلْ اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأُنذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ) [الأنعام: 19]

Katakanlah:”Siapakah yang lebih kuat persaksiannya. Katakanlah:”Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan al-Qur’an ini dwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya). (QS. 6:19)

Maka orang yang telah sampai Al Qur’an kepadanya dan sampai kepadanya dakwah dan larangan dari kesyirikan yang besar, (orang ini) tidak diberi udzur apabila ia tetap terus berada diatas kesyirikan atau terus mengerjakan zina atau riba atau nikah dengan mahramnya atau makan bangkai atau babi atau minum khamr atau memakan harta manusia dengan cara-cara yang batil atau meninggalkan shalat, menahan zakat, tidak mau haji sedangkan ia mampu berhaji, karena ini merupakan perkara-perkara dhahirah / jelas dan keharaman atau kewajibannya pasti. Sedangkan (seseorang) diberi udzur karena jahil hanyalah dalam perkara-perkara khafiyah / samar sampai jelas atasnya hukumnya. Maka memberi udzur karena jahil perlu perincian:

Pertama; Memberi udzur karena jahil kepada orang yang dakwah belum sampai kepadanya, Al Qur’an belum sampai kepadanya, sehingga hukum atas orang ini adalah seperti ahli fatrah (orang yang hidup diantara dua masa kenabian, tidak mendapati nabi yang sebelumnya dan tidak pula nabi sesudahnya -pentj).

Kedua; Tidak memberi udzur kepada orang yang dakwah telah sampai kepadanya dan Al Qur’an telah sampai kepadanya dalam pelanggarannya terhadap perkara-perkara dhahirah / jelas seperti kesyirikan, dosa-dosa besar. Karena orang ini telah tegak atasnya hujjah dan telah sampai kepadanya risalah. Dan mungkin baginya untuk belajar dan bertanya kepada orang yang berilmu akan perkara yang mengusiknya. Orang ini juga mendengar Al Qur’an, kajian-kajian, ceramah-ceramah melalui berbagai media.

Ketiga; Seseorang diberi udzur karena jahil dalam perkara khafiyah / samar, yaitu perkara yang butuh kepada penjelasan sehingga jelas baginya hukum permasalahan. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;

إن الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس فمن اتقى الشبهات فقد ستبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يقع فيه ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه

Sesunggguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas dan diantara keduanya ada perkara-perkara yang samar / syubhat, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa meninggalkan yang syubhat / samar maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjatuh kepada yang syubhat maka ia telah terjatuh kepada yang haram seperti seorang penggembala yang menggembalakan (gembalaannya) disekitar pagar yang dikhawatirkan gembalaannya makan tanaman orang. Ketahuilah sesungguhnya setiap orang memiliki pagar dan ketahuilah bahwa pagar Allah adalah apa-apa yang haram.

Maka yang halal telah jelas kebolehannya dan yang haram telah jelas harus dihindari. Sedangkan yang diperselisihkan seseorang hendaknya abstain sampai hukumnya menjadi jelas dengan dia mencari tahu dan bertanya kepada orang yang berilmu.

Maka orang yang jahil/tidak tahu wajib baginya bertanya kepada orang yang berilmu. Ia tidak diberi udzur karena kejahilannya sedangkan disekitarnya ada orang yang mengajarinya.

Allah Ta’aala berfirman;

(فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ) [النحل: 13]

“Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.”

Maka wajib atas orang yang jahil untuk bertanya dan wajib atas orang yang berilmu untuk member penjelasan dan tidak diam. Allah Ta’aala berfirman;

(إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُوْلَئِكَ يَلْعَنُهُمْ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمْ اللاَّعِنُونَ* إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُوْلَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ) [البقرة: 159-160]

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Alkitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 2: 159-160)

Dan tidak boleh bagi orang yang sok pandai sedangkan kenyataannya jahil murakkab ikut berbicara dalam perkara ini tanpa ilmu.

Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih dan menganugrahkan kita keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad dan keluarga serta para shahabatnya.

Ditulis oleh:

Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Anggota Hai’at Kibar Ulama

20/3/1432 H

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *