Seringkali seorang penuntut ilmu mendapati pendapat yang berbeda dari yang ia yakini. Kemudian lahirlah semangatnya untuk meluruskan. Namun disebabkan kurangnya pengalaman dan minimnya pengetahuan, bukan kebaikan yang didapatkan justru ketergelinciran yang dia dapati. Diantaranya adalah semangat membantah kesalahan seorang alim yang menurutnya keliru. Hal ini jika tidak dihiasi dengan adab justru dapat melahirkan kerusakan yang lebih besar dari kebaikan yang dicari. Bagaimanakah tuntunan adab dalam perkara ini? Dibawah ini penjelasan Asy-Syaikh Ubaid Al Jabiri hafizahullah dalam salah satu sesi tanya-jawab yang berjudul Al Haddul Fashil Baina Mu’amalati Ahlissunnah wa Ahlil Batil.
Tanya: Apakah ketika seorang alim dari ulama kibar keliru, boleh atau diizinkan bagi seorang pemuda untuk membantah kekeliruannya, atau harus yang membantahnya seorang alim yang selevel? Dimana sebagian pemuda bersikap lancang membantah fatwa sebagian ulama yang mana fatwa ini terkadang riskan apabila dilihat dari tinjauan syariat. Namun si alim ini memfatwakannya karena melihat sisi darurat, atau ada hikmat yang ia tangkap, barakallahufiik. Mohon arahannya, semoga Allah membalasmu.
Jawab: Segala puji hanya milik Allah Rab semesta alam. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah penolong orang-orang shalih dan Rab bagi orang-orang baik. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Penghulu anak Adam seluruhnya. Semoga shalawat Allah tercurah kepada beliau dan keluarganya serta para shahabatnya yang baik lagi suci. Dan semoga keselamatan tercurah atas mereka sampai hari akhir nanti, amma ba’du;
Apa yang anda tanyakan dilihat dari dua sisi, sebagaimana juga harus dilihat kepada person yang mengucapkan ucapan keliru itu juga dari dua sisi. Begitulah Ahlussunnah melihat kepada pelanggaran dan orang yang melanggar.
Pelanggaran tidak lepas dari dua keadaan:
1- Pelanggaran dalam perkara yang bukan ranah ijtihad, baik dalam perkara pokok agama / ushuluddin atau cabangnya / furu’ . Karena banyaknya nash-nash dari Al Qur’an dan As-Sunnah dalam perkara tersebut. Dan disepakati oleh imam-imam (ijma’) atau ijma’nya hukmi, dan orang yang melanggar ini tidak ada padanya nash-nash yang menguatkan pendapatnya.
2- Pelanggaran yang terjadi dalam ranah ijtihad, atau nashnya memiliki banyak kemungkinan.
Jenis yang pertama: yaitu pelanggaran pada bukan ranah ijtihad. Sesungguhnya perselisihan dalam masalah ini tidak dibenarkan sama sekali. Siapa yang melanggar dalam perkara ini dibantah kekeliruannya, siapa pun dia.
Kemudian orang yang melanggar / mukhalif tidak lepas dari dua macam manusia;
Seorang pembela sunnah. Manusia mengenalnya sebagai orang yang istiqamah di atas sunnah, membela sunnah dan Ahlussunnah, sebagaimana dikenal juga darinya perhatiannya yang besar kepada ummat.
Orang seperti ini kekeliruannya tidak boleh diikuti, namun kehormatannya tetap dijaga. Meskipun kita membantah kekeliruannya, kita tetap beradab kepadanya, kita jaga kemuliaannya. Tidak boleh kita mencela dia seperti mencela seorang mubtadi’ yang sesat. Yang demikian ini dalam rangka menghormati anugrah yang telah Allah berikan kepada dia berupa keutamaan yang lebih dan agungnya kedudukan dan kepemimpinan dalam agama. Maka kita menjaga ini semua.
Jika kita lihat kepada banyak para imam yang berada diatas sunnah, orang-orang menjadi saksi akan hal ini saat kehidupan mereka, dan begitu pula kita berharap setelah kematian mereka, insyaallah Ta’aala, terdapat pada mereka kekeliruan-kekeliruan dan ketergelinciran. Lalu para ulama sezaman menyanggah mereka, begitu pula ulama setelahnya sambil tetap menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka dan tidak lancang kepada mereka dengan kata-kata yang tajam.
Atau orang yang melanggar ini / mukhalif yaitu yang melakukan pelanggaran dalam perkara yang bukan ranah ijtihad, bisa jadi karena pembangkangan dan sombong dari kebenaran, berjalan mengikuti hawa nafsu. Orang ini tidak ada kehormatan baginya disisi Ahlussunnah. Ahlussunnah membantah pendapatnya dan mencelanya dan mensifatinya dengan kebid’ahan dan kesesatan dan memperingatkan ummat darinya dan menggunakan kata-kata keras kepadanya.
Kecuali apabila mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dari kebaikan yang diharapkan. Ketika itu mereka mencukupkan diri dengan membantah kekeliruannya saja dan berhati-hati darinya. Dan keadaan ini apabila si mubtadi’ sesat itu di negeri tersebut memiliki pengaruh dan posisi yang kuat. Seperti apabila dia seorang mufti negara atau seorang menteri, seperti menteri urusan wakaf atau menteri hukum dan keadilan, atau dia termasuk orang dekat istana, atau ulama yang dipercaya oleh negara, dan kita lemah. Maka kami tidak mensifatinya dengan sedikitpun dari sifat-sifat tadi. Kami katakan: Ini kekeliruan, Syaikh fulan telah keliru dalam perkara ini, kita tidak bisa menerima ini darinya, yang menjadi ukuran adalah dalil. Sedangkan dalil yang ada pada kami menyelisihi pendapatnya.
Dan wajib sebuah bantahan itu ilmiyah, bersandar kepada Al Kitab dan As-Sunnah sesuai pemahaman salafusshalih. Tidak menggunakan ungkapan dan kata-kata yang tajam, dimana orang yang mendengar merasa risih dan lari darinya serta meninggalkan kebenaran yang ada pada kita atau pada kalian. Karena mereka mendengar kata-kata yang tidak pada tempatnya dan tidak layak diucapkan oleh seorang penuntut ilmu. Karena bantahan yang bersandar kepada Al Kitab dan As-Sunnah dan pemahaman salafusshalih, dimana kebenaran ditampakkan disitu, kebatilan dipatahkan, orang yang adil akan menerimanya dan tidak akan menolaknya meskipun dia mencintai orang yang melanggar ini. Dan ini mujarab, barakallahufikum. Perhatikanlah hal ini.
Jenis kedua dari pelanggaran; yaitu pelanggaran dalam ranah ijtihad.
Kamu jelaskan pandanganmu sesuai yang kuat menurutmu dan jangan mencela pihak yang bersebrangan dan jangan menyuruh orang lain menjauhinya / tahdzir. Jangan kamu sifati dia sebagai mubtadi’ sesat atau menyimpang. Tapi katakan; yang benar bagiku ini!
Sebagai contoh, perkara tertib dalam wudhu’. Jumhur ulama menganggapnya wajib. Diantaranya Imam Ahmad dan murid-muridnya rahimahumullah. Sedangkan Hanafiyah dan ulama lain yang sependapat dengan mereka mengatakan tidak wajib. Maka kita membantah Hanafiyah tanpa mencelanya, tanpa bahasa yang keras. Kita katakan: yang kuat bagi kami (ini). Atau, yang paling kuat dari dua pendapat adalah: wajib.
Contoh lain; Orang yang meninggalkan shalat karena malas. Jumhur ulama berpendapat orang ini fasik, dimintai taubat. Apabila dia bertaubat, (dilepas). Jika tidak maka dibunuh sebagai had atasnya. Dan hukum atasnya seperti hukum atas orang-orang fasik lainnya; dimandikan, dikafani, dishalatkan, dimintai ampunan dan dikubur di pekuburan muslimin. Dan hartanya diwariskan kepada keluarganya yang muslim. Dan ini juga pendapat Zuhri, Malik dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad dan selain mereka.
Sedangkan riwayat kedua dari Imam Ahmad dan ini juga pendapat para imam peneliti, diantara mereka Asy-Syaikh Abdul Aziz Al Imam Al Atsariy Al Mujtahid rahimahullah dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Al Imam Al Faqih, seorang peneliti ulung, ahli ijtihad rahimahullah (mereka) berpendapat orang ini kafir dan dimintai taubat, apabila dia bertaubat (dia dilepas). Kalau tidak, maka dibunuh sebagai orang murtad. Dari sini maka dia tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, tidak didoakan. Dan hartanya tidak diwariskan kepada keluarganya yang muslim. Hartanya menjadi fai’ dimana pemerintah membelanjakannya untuk keperluan umum yang bermanfaat untuk muslimin.
Apabila kita perhatikan keadaan dua kelompok dari para imam ini rahimahumullah, anda tidak mendapati pihak yang menganggap pelakunya fasik menuduh pihak yang pelakunya kafir sebagai Khawarij. Dan begitu pula kamu tidak dapati pihak yang menganggap pelakunya kafir menuduh pihak yang menganggap pelakunya fasik bahwa mereka Murji’ah. Kenapa? Karena masing-masing memiliki dalil yang kuat yang menjadi pondasi pendapatnya.
Tinggal saya katakan:
Alim yang mulia ini yang telah keliru dalam perkara yang menurutmu (sebaliknya) lebih kuat. Saya berpandangan orang alim ini dinasihati dan diterangkan kepadanya kesalahan dia. Apabila dia tidak menerima dari kalian angkat perkaranya kepada ulama yang lebih besar dari kalian dan dari dia. Mereka akan menasihati dia dan menerangkan kepadanya dan kelak sunnah akan mengembalikannya insyaallah.
Albani rahimahullah dan para imam muslimin, Ahlussunnah dan orang-orang yang ditunjuki rahimahumullah berpendapat bahwa wajah wanita bukan aurat. Boleh bagi wanita menyingkapnya. Sedangkan Syaikh Abdul Aziz rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berpandangan berbeda. Tapi mereka tidak mencelanya (Syaikh Albani). Dan para ulama membantah Syaikh Nashir (Albani) rahimahullah tanpa melontarkan celaan dan kata-kata buruk kepadanya.
Begitu juga beliau rahimahullah berpendapat haramnya emas melingkar dan mengungkapkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Sedangkan ulama yang telah aku sebutkan dan selain mereka, mereka tidak mencelanya. Mereka mengatakan; Syaikh Nashir Albani keliru dalam masalah ini. Yang benar adalah ini. Demikianlah barakallahufik, ulama saling hormat-menghormati diantara mereka.
Dan telah aku jelaskan kepada kalian sebelum ini timbangan yang aku ketahui dari ucapan imam-imam kita dan ulama kita dalam perkara pelanggaran dan orang yang melanggar. Maka perhatikanlah hal ini karena perkaranya tidak sama.