6 Pelajaran dari Sirah Nabawiyah

Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: Perhatikanlah dengan baik! -semoga Allah merahmatimu- enam kisah dari sirah nabawiyah. Dan pahamilah dengan pemahaman yang benar. Semoga Allah memahamkanmu agama para nabi untuk kamu ikuti dan agama musyrikin untuk kamu tinggalkan. Karena banyak orang yang mengaku beragama dan tergolong muwahhidin (ahli tauhid), namun tidak memahami enam perkara ini sebagaimana mestinya.

 

PERTAMA: KISAH TURUNNYA WAHYU KEPADA RASULULLAH

Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Padanya terdapat (keterangan) bahwa ayat pertama yang dengannya Allah utus nabi Muhammad (sebagai rasul) adalah:

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ * قُمْ فَأَنْذِرْ

“Wahai orang yang berselimut, bangun dan berilah peringatan.”

 

Sampai pada firman-Nya:

وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ

“Dan karena Rabmu, bersabarlah.”

 

Maka jika kamu tahu bahwa mereka melakukan banyak pelanggaran yang mereka ketahui sebagai kedzaliman dan kesewenangan seperti zina. Dan kamu tahu juga bahwa (disamping itu) mereka melakukan banyak ibadah yang dengannya mereka mendekatkan diri kepada Allah, seperti haji, umrah dan bersedekah kepada orang-orang miskin, berbuat ihsan kepada mereka dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun (ibadah) yang paling agung menurut mereka adalah kesyirikan. Kesyirikan ini menurut mereka (ibadah) yang paling baik. Mereka lakukan ini dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah seperti yang Allah ceritakan tentang mereka, bahwa mereka mengatakan:

ما نعبدهم إلا ليقربونا إلى الله زلفى

“Kami tidak beribadah kepada mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Qs. Az-Zumar: 3)

 

Dan mereka mengatakan:

هؤلاء شفعاؤنا عند الله

“Mereka adalah perantara-perantara kami disisi Allah.” (Qs. Yunus: 18)

 

Dan mereka mengatakan:

 

فَرِيقاً هَدَى وَفَرِيقاً حَقَّ عَلَيْهِمُ الضَّلالَةُ إِنَّهُمُ اتَّخَذُوا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ

 

“Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Qs. Al A’raf: 30)

 

 

Maka yang pertama kali Allah perintahkan (nabi-Nya) adalah memberi peringatan darinya (adalah kesyirikan ini), sebelum peringatan dari zina, mencuri dan kedzaliman lainnya.

 

Dan kamu telah mengetahui, bahwa diantara mereka ada yang bergantung kepada berhala. Dan diantara mereka ada yang bergantung kepada malaikat dan wali dari bani Adam. Dan mereka mengatakan; Tidak ada yang kami inginkan dari mereka selain syafaat mereka! Tapi kendati begitu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memulai dakwah dengan memberi peringatan dari kesyirikan (ini) yaitu pada ayat pertama yang dengannya Allah utus nabi-Nya. Jika kamu memahami perkara ini, sungguh alangkah bahagianya kamu!

 

Apalagi jika kamu mengetahui bahwa tidak ada sesudah perkara ini yang lebih mulia dari perkara shalat lima waktu. (Padahal ia) belum diwajibkan kecuali pada malam Isra’ pada tahun kesepuluh setelah pemboikotan dan (setelah) wafatnya Abu Thalib dan (setelah berlalu) dua tahun dari peristiwa hijrah ke Habasyah.

 

Maka jika kamu telah mengetahui bahwa peristiwa-peristiwa ini semua serta permusuhan yang dahsyat, semua itu adalah karena perkara ini sebelum diwajibkannya shalat, kamu sangat diharapkan sudah memahami perkara ini.

 

KEDUA: KEWAJIBAN MEMUSUHI MUSYRIKIN

 

Kedua: Bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bangkit memperingatkan kaumnya dari kesyirikan dan memerintahkan mereka kepada obatnya yaitu tauhid, mereka tidak membenci ajakan itu dan menganggapnya sebagai hal yang baik. Bahkan mereka berpikir untuk masuk ke dalam Islam. Sampai akhirnya beliau terang-terangan dihadapan mereka mencela agama mereka dan mencap ulama-ulama mereka sebagai orang-orang yang bodoh. Maka saat itulah musyrikin mulai memancangkan permusuhan kepada beliau dan para shahabatnya. Mereka berkata: (Muhammad) mencela keyakinan kami dan mencaci agama dan tuhan-tuhan kami.

 

Padahal diketahui bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mencaci Isa, atau ibunya dan tidak pula (mencaci) para malaikat dan orang-orang shalih. Namun ketika beliau menjelaskan kepada mereka bahwa mereka itu tidak boleh dipanggil,  tidak bisa memberi manfaat dan tidak mencelakakan, mereka anggap penjelasan itu sebagai celaan.

 

Maka jika kamu telah mengerti perkara ini, kamu pun tahu bahwa Islam dan agama seseorang tidak menjadi lurus meski pun dia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kesyirikan, kecuali dengan memancangkan permusuhan kepada musyrikin dan terang-terangan menampakkan permusuhan dan kebencian kepada mereka, sebagaimana yang Allah firmankan:

 لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ . . . الآية

 

“Kalian tidak akan dapati satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, (mereka) berkasihsayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya walaupun yang memusuhi Allah dan rasul-Nya ini adalah bapak-bapak mereka sendiri…))

 

Maka jika engkau telah paham perkara ini dengan pemahaman yang baik, kamu pun menyadari bahwa mayoritas orang-orang yang mengaku beragama tidak mengetahui hal ini.

 

Kalau bukan begitu, maka apa yang memaksa muslimin untuk bersabar diatas beragam penyiksaan, penawanan, pemukulan, (sampai) hijrah ke Habasyah?! Padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah manusia yang sangat penyayang. Dan beliau tidak mendapati rukhshah (keringanan) bagi para shahabatnya. Dimana andaikan ada keringanan dalam perkara ini, tentu beliau telah berikan kepada mereka. Apalagi Allah telah menurunkan firman-Nya;

 

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ

 

“Dan diantara manusia ada yang mengatakan kami beriman. Lalu ketika dia disakiti dijalan Allah, dia menjadikan cobaan manusia seperti azab Allah.”

 

Apabila ayat ini berkenaan tentang orang yang mencocoki musyrikin dengan lisannya karena disakiti dijalan Allah, maka bagaimana dengan orang yang keadaannya tidak sampai demikian?!

 

 

KETIGA: KISAH GHARANIQ

 

Ketiga: Kisah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang membaca surat An-Najm dihadapan mereka. Maka ketika beliau sampai (kepada firman-Nya):

 

أفرءيتم اللات والعزى

 

“Tidakkah kalian perhatikan (perihal) Latta dan Uzza.”

 

Syaithan menyisipkan pada bacaan beliau ucapan:

 

تلك الغرانيق العلى وإن شفاعتهن لترتجى

 

Itulah gharaniq yang tinggi dan sesungguhnya syafaat mereka benar diharapkan.

 

Maka mereka menyangka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengucapkannya, lalu mereka menjadi bergembira karenanya dengan kegembiraan yang sangat. Mereka mengatakan: Inilah yang kami inginkan –atau ucapan yang serupa dengannya-, kami tahu bahwa hanya Allah Ta’aala yang memberi manfaat dan mencelakakan, tidak ada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi mereka pemberi syafaat kepada kami disisi-Nya. Maka ketika sampai (ayat) sujud, Nabi pun sujud dan mereka pun sujud bersama dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

 

Lalu menyebarlah berita bahwa telah terjadi kesepakatan dengan Nabi, hingga sampai (berita ini) kepada para shahabat yang berada di Habasyah dan mereka pulang.

 

Tapi ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingkari hal ini, musyrikin kembali memusuhinya dengan lebih keras lagi. Dan ketika dikatakan kepada beliau: Sesungguhnya engkau telah mengucapkan ucapan itu. Nabi pun takut kepada Allah dengan ketakutan yang sangat, sampai akhirnya Allah turunkan firman-Nya;

 

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimaksud oleh syaitan itu.” (Qs. Al Hajj: 52)

 

Maka barangsiapa memahami kisah ini, kemudian (masih) ragu akan ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan tidak bisa membedakannya dengan ajaran musyrikin, Allah jauhkan dia. Terlebih lagi jika ia mengetahui bahwa perkataan:

 

 تلك الغرانيق العلى  

Itulah Gharaniq yang tinggi, adalah: malaikat.

 

 

KEEMPAT: KISAH ABU THALIB

 

Keempat: Kisah Abu Thalib, barangsiapa memahaminya dengan pemahaman yang baik dan memperhatikan pengakuannya terhadap tauhid dan (bahwa ia) ikut memotivasi manusia untuk menerimanya serta (ikut) menjelek-jelekkan akal musyrikin. Disamping itu ia juga bersukacita jika ada orang yang masuk Islam dan meninggalkan kesyirikan. Kemudian (selain itu) ia menghabiskan umurnya, hartanya dan keluarganya dalam membela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sampai wafat. Dan kesabarannya diatas penderitaan yang besar dan permusuhan yang kejam. Tapi karena ia tidak ikut masuk ke dalam Islam, tidak berlepas diri dari agamanya yang pertama, ia bukan orang Islam. Padahal ia menyampaikan alasannya, bahwa dengan masuk Islam berarti (ia telah) mencela ayahnya Abdul Muththalib, keluarga Hasyim dan selain mereka dari sesepuh-sesepuhnya.

 

Kemudian karena kekerabatannya (dengan Rasulullah) dan pembelaannya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memohonkan ampunan untuknya. Maka Allah turunkan firman-Nya:

 

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى  مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

 

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. (Qs. At-Taubah: 113)

 

Lebih jelasnya: bahwa jika diketahui (ada) seseorang dari penduduk Bashrah atau Al Ahsa’ yang mencintai agama dan mencintai muslimin dan orang-orang menyangkanya termasuk dari muslimin, padahal ia tidak menolong Islam dengan tangan dan hartanya dan ia tidak memiliki alasan seperti halnya Abu Thalib, maka barangsiapa memahami kisah Abu Thalib ini dan memahami realitas mayoritas orang yang mengaku beragama, jelaslah olehnya jalan petunjuk dari jalan kesesatan. Jelaslah olehnya buruknya pemahaman. Hanya kepada Allah kita mohon pertolongan.

 

KELIMA: KISAH HIJRAH

 

Kelima: Kisah hijrah, padanya terdapat faidah-faidah dan pelajaran yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang yang membacanya. Tapi maksud kami sekarang adalah satu perkara darinya. Yaitu, bahwa diantara shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada yang tidak berhijrah, tanpa ada keraguan terhadap (kebenaran) Islam akan tetapi disebabkan karena kecintaan kepada keluarga, harta dan kampung halaman.

 

Maka ketika musyrikin berangkat (perang) ke Badar, mereka ikut bersama musyrikin dalam keadaan tidak suka. Sehingga sebagian mereka terbunuh dengan tombak dan yang menombak tidak mengenali mereka. Dan ketika shahabat mendengar siapa yang terbunuh, bahwa yang terbunuh adalah fulan dan fulan, para shahabat merasa berat dan berkata: Kita telah membunuh teman-teman kita. Maka Allah turunkan firman-Nya;

 

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيراً  * إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلاً) * فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوّاً غَفُوراًرحيما . .. الآيات

 

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka menjawab:”Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata:”Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (Qs. An-Nisaa’:  97 – 99)

 

Barangsiapa memperhatikan kisah mereka dan memperhatikan ucapan para shahabat: “Kita telah membunuh teman-teman kita” ia pun tahu bahwa jika sampai kepada mereka (para shahabat) perihal orang-orang di Makkah seputar ucapan mencaci agama Allah atau ucapan memuji agama musyrikin, tentu para shahabat tidak akan mengatakan; “Kami telah membunuh teman-teman kami”. Karena Allah telah terangkan kepada mereka dan mereka ketika itu ada di Makkah, sebelum hijrah bahwa yang demikian itu adalah kekufuran setelah iman. Yaitu dalam firman-Nya;

 

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْأِيمَانِ

 

“Barangsiapa kufur kepada Allah setelah keimanannya, kecuali orang yang dipaksa dan hatinya tenang diatas keimanan.”

 

Dan lebih dahsyat dari ini semua, adalah apa yang telah lalu dari firman Allah Ta’aala tentang mereka. Karena sesungguhnya para malaikat berkata kepada mereka: Ada dalam keadaan seperti apa kalian?. Malaikat tidak mengatakan: Bagaimana keimanan kalian.” Dan ketika mereka mengatakan: Kami orang-orang tertindas dimuka bumi. Malaikat tidak mengatakan: Kalian dusta! seperti ketika Allah dan para malaikat berkata kepada orang yang berjihad ketika ia mengatakan: “Aku berjihad di jalan-Mu sampai aku terbunuh.” Maka Allah berkata: Kamu berdusta! Dan malaikat berkata: Kamu berdusta! Bahkan kamu terbunuh agar dikatakan “pemberani”. Dan begitu juga dikatakan kepada orang yang berilmu dan orang yang bersedekah, Kamu berdusta! Bahkan kamu belajar agar kamu dikatakan “orang berilmu”. Dan kamu sedekah agar kamu dibilang “dermawan”.

 

Adapun orang-orang ini, para malaikat tidak mendustakan, melainkan menjawab perkataan mereka dengan ucapannya,

 

أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيراً

 

“Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”

 

Dan semakin memperjelas perkara ini bagi orang bodoh dan pintar adalah ayat sesudahnya. Yaitu firman Allah Ta’aala:

 

إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلاً

 

“…kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).”

 

Perkara ini jelas sekali, karena orang-orang yang tidak terkena ancaman (ayat ini) tidak ada kesamaran pada mereka. Akan tetapi orang yang mencari ilmu tidak sama dengan orang yang tidak mencarinya. Bahkan Allah berkata tentang orang-orang yang seperti ini sifatnya;

 

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَرْجِعُونَ

 

“(Mereka) tuli, bisu, buta maka mareka tidak kembali.”

 

Barangsiapa memahami perkara ini dan perkara sebelumnya, ia bisa memahami perkataan Al Hasan Al Bashri: “Iman itu bukan hiasan dan bukan angan-angan, melainkan apa yang terdapat di dalam hati dan dibenarkan dengan perbuatan.”

 

Yang demikian itu karena Allah telah berfirman;

 

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

 

“Kepada-Nya naik ucapan yang baik dan amalan shalih mengangkatnya.”

 

KEENAM: KISAH RIDDAH

Keenam: Kisah riddah setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Barangsiapa mendengarnya, tidak tinggal di hatinya seberat biji sawi dari syubhat syaithan-syaithan yang mereka namakan dengan (sebutan) : “ulama”.  

 

Yaitu ucapan mereka: Ini kesyirikan, tapi mereka mengucapkan “Laa ilaaha Illallah” dan barangsiapa mengucapkannya tidak menjadi kafir dengan sebab apa pun!

 

Dan lebih besar dan dahsyat dari ini adalah pengakuan mereka bahwa tidak terdapat pada orang-orang badui itu satu pun syi’ar keislaman, tapi mereka mengucapkan “Laa ilaaha Illallah”. Sehingga dengan sebab syahadat ini mereka ahli Islam. Islam melindungi harta dan darah mereka. Padahal mereka mengakui bahwa orang-orang badui telah meninggalkan Islam seluruhnya. Dan mereka tahu bahwa orang-orang badui itu mengingkari hari kebangkitan dan mengolok-olok orang-orang yang beriman dengannya, (mereka) mengolok-olok syariat-syariat (Islam) dan memuliakan agama leluhur mereka yang bertentangan dengan ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun bersamaan dengan ini semua, syaithan-syaithan yang jahil dan membangkang ini secara tegas menyatakan: Sesungguhnya orang-orang badui adalah muslimun, walaupun terdapat pada mereka pelanggaran itu semua, karena mereka mengucapkan; “Laa ilaaha Illallah”.

 

(Padahal) konsekwensi ucapan mereka (ini) berarti orang-orang Yahudi adalah muslimun, karena mereka juga mengucapkan “Laa ilaaha Illallah”. Dan juga kekufuran mereka lebih dahsyat dari kekufuran Yahudi berlipat-lipat. Yang saya maksud orang-orang badui yang telah saya sebutkan sifatnya.

 

Dan yang memperjelas hal ini dari kisah riddah adalah bahwa para murtaddin (dimasa itu) murtad dengan sebab yang berbeda-beda.

 

Diantara mereka ada yang (murtad karena) mendustakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kembali kepada peribadatan kepada berhala. Mereka mengatakan: Kalau benar (Muhammad) nabi, dia tidak akan mati!

 

Dan diantara mereka ada yang tetap diatas dua kalimat syahadat, tapi mengakui Musailamah nabi. Mereka mengira bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengikutsertakan dia dalam kenabian. Dan juga karena Musailamah membawa saksi-saksi palsu yang memberi kesaksian bahwa dia seorang nabi. Lalu banyak orang yang membenarkan saksi-saksi itu.

 

Kendati begitu ulama sepakat bahwa mereka (ini) murtad, walau mereka jahil (bodoh) akan hal ini. Dan barangsiapa ragu akan kemurtadan mereka maka ia kafir.

 

Maka jika kamu tahu ulama telah sepakat bahwa orang-orang yang mendustakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kembali kepada peribadahan terhadap berhala dan mencaci Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan orang-orang yang mengakui kenabian Musailamah (kedudukan mereka) sama, walau tetap berada diatas (nilai-nilai) keislaman lainnya.

 

Dan diantara mereka ada yang mengakui syahadatain dan membenarkan Thulaihah bin Khuwailid Al Asadi yang mengaku sebagai nabi. Dan diantara mereka ada yang membenarkan Al Ansi dari Shan’a. Tentang mereka semua ulama telah sepakat bahwa mereka adalah murtaddun. Dan diantara mereka ada (yang melakukan) jenis-jenis (kemurtadan) lainnya.

 

Yang terakhir adalah Al Fuja’ah As-Sulami, ketika ia datang menemui Abu Bakr dan mengatakan bahwa ia ingin memerangi murtaddin dan minta kepada Abu Bakr untuk mempersenjatainya. Maka diberikan kepadanya senjata dan kendaraan. Lalu ia mengganggu muslim dan kafir, mengambil harta-harta mereka.

 

Kemudian Abu Bakr mempersiapkan balatentara memerangi orang ini. Maka saat ia merasakan (kedatangan) pasukan (Abu Bakr), ia berkata kepada amir (pasukan ini): Kamu amirnya Abu Bakr dan aku amirnya dia (juga). Dan aku tidak kafir. Lalu amir ini berkata: Kalau kamu benar, lemparkan senjata! Lalu ia pun melemparkannya. Lalu ia dikirim menghadap Abu Bakr. Dan Abu Bakr memerintahkan untuk membakar orang ini hidup-hidup dengan api.

 

Maka jika seperti ini hukum para shahabat tentang orang ini, padahal dia mengakui rukun-rukun Islam yang lima. Maka apa menurutmu tentang orang yang tidak mengakui Islam selain satu kalimat (saja)?! Dia hanya mengucapkan “Laa ilaaha Illallah” dengan lisannya, ditambah lagi terang-terangan mendustakan maknanya, terang-terangan berlepas diri dari agama Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan dari Kitabullah?!

 

Mereka mengatakan: ini agama orang kota, sedangkan agama kita warisan leluhur. Kemudian para pembangkang jahil itu mengatakan: Sesungguhnya mereka itu muslimun! Walaupun mereka terang-terangan melakukan pelanggaran itu semua, selagi mereka mengucapkan “Laa ilaaha Illallah”! Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang besar!!

 

Dan alangkah indah apa yang diucapkan salah seorang penduduk badui, saat ia datang kepada kami dan mendengar sedikit tentang Islam. Ia berkata: Saya bersaksi bahwa kami –maksudnya penduduk badui- adalah kafir. Dan saya bersaksi bahwa muthawwi (ustadz/da’i) yang mengatakan kami muslimun bahwa ia telah kafir!

 

الإمام محمد بن عبد الوهاب .

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *