KEDUDUKAN HADITS MALIK AD-DAAR

Polemik mengenai hukum tawassul dengan meminta do’a kepada mayit hangat dibicarakan sejak dahulu hingga sekarang. Diantara dalil pihak yang membolehkan adalah kisah Malik Ad-Daar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (6/356). Berikut lafal hadits tersebut dengan sanadnya:

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ مَالِكِ الدَّارِ، قَالَ: وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ ، قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْط فِي زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا، فَأَتَي الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ:” ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِتْهُ السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسقِيُّونَ وَقُلْ لَهُ: عَلَيْكَ الْكَيْسُ، عَلَيْكَ الْكَيْسُ ” ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ لَا آلُو إِلَّا مَا عَجَزْت عَنْهُ).

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Al-Mushannaf : telah mengabarkan pada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Malik Ad-Dar yang dahulu merupakan seorang penjaga yang ditugasi oleh Umar untuk menjaga makanan dia berkata: “Suatu Ketika, orang-orang ditimpa panceklik pada zaman ‘Umar. Maka datanglah seseorang ke kuburan nabi SAW lalu ia berkata “Wahai Rasulullah, mintalah hujan untuk untuk umatmu karena sesungguhnya mereka hampir binasa. Lalu lelaki itu pun didatangi Nabi dalam mimpinya lalu berkata: “Datangilah ‘Umar lalu bacakan untuknya salam dariku dan beritahu ia bahwa kalian akan diberi hujan dan katakan padanya “Hendaknya kamu cermat, cermat!””. Lalu lelaki itu pun mendatangi ‘Umar dan mengabarinya. Lalu ‘Umar pun menangis dan berkata  “Ya Rabb, aku tidak akan menunda sesuatu kecuali yang tidak kumampui”  

Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi [44/356] melalui jalur Abu Shalih. Dan diriwayatkan juga oleh Al Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwah [7/47]. Dan diriwayatkan juga oleh Imam Al-Bukhari dalam At-Tarikhul Kabir [7/304] tanpa menyebutkan kisah datangnya si lelaki ke kubur nabi dan meminta kepadanya.

Atsar ini memiliki banyak kecacatan (illat):

  1. Malik ad-Dar adalah seorang yang majhul (tidak dikenal)

Malik Ad-Dar adalah: Malik bin ‘Iyadh Maula ‘Umar. Dia meriwayatkan hadits dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhuma . dan orang yang mengambil hadits darinya hanyalah Abu Shalih As-Samman. Demikian yang disebutkan oleh Imam Abu Hatim dalam Al-Jarh wat-Ta’dil karya anaknya. Dan demikian pula yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari dalam At-Tarikhul Kabir serta Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqat. Para ulama tidak menyebut orang yang meriwayatkan darinya kecuali Abu Shalih.

Dan tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibban yang sudah terkenal mentsiqahkan orang-orang yang majhul.

Berkata Al-Hafizh Al-Mundziri dalam At-Targhib At-Tarhib [2/29] setelah membawakan sebuah atsar yang pada sanadnya terdapat Malik Ad-Dar: “Atsar ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dan semua perawinya sampai Malik Ad-Dar adalah orang-orang yang tsiqah dan terkenal. Tapi, Malik Ad-Dar aku tidak mengenalinya.”

Dengan ini, jelaslah bahwa Malik Ad-Dar adalah orang yang tidak dikenali ‘Adalah (kesholihan) dan Dhabth (kekuatan ilmu) nya sebagimana yang juga disebutkan oleh Syaikh Al-Albani.[1]

2. Al-A’masy meriwayatkan atsar ini dengan lafal عن (dari) padahal beliau merupakan seorang mudallis. Sedangkan seorang mudallis tidak diterima haditsnya kecuali jika ia meriwayatkan dengan lafal حدثنا (telah menceritakan kepada kami) atau أخبرنا (telah mengabarkan pada kami) dan yang semisalnya bukan hanya meriwayatkan dengan lafal عن (dari) atau قال (telah berkata) dan yang sejenisnya sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu Mushthalah Hadits.

Al-Imam Ibnu Ma’in berkata Mengenai sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-A’masy dari abu Shalih As-Samman dari Abu Hurairah:

الإمام ضَامِنٌ والمُؤذِّنُ مُؤتَمَن

“Imam adalah penjamin dan Muadzin adalah orang yang diberikan kepercayaan”

Dia berkata: “Al-A’masy tidak pernah mendangar hadits ini dari Abu Shalih”.[2]

3. Tidak diketahui bahwa Abu Shalih pernah mendengar ataupun bertemu dengan Malik Ad-Dar. Sedangkan atsar ini, diriwayatkan oleh Abu Shalih dari Malik Ad-Dar hanya dengan menyebut عن  (dari). Sehingga, ada kemungkinan bahwa sanadnya terputus disini.

4. Pelaku kisah ini merupakan seorang yang Majhul (yang dikenal) dan tidak diketahui siapa namanya. Kalau seperti ini keadaannya, maka bagaimana bisa perbuatannya dicontoh padahal masih ada para shahabat senior?

Adapun pernyataan Al-Ghumari bahwa orang tersebut adalah Bilal bin Al-Harts Al-Muzani salah seorang shahabat nabi seperti yang dibawakan oleh Saif dalam kitab Al-Futuh, sebenarnya itu merupakan kebohongan dan kesalahan besar. Karena orang yang bernama Saif ini, telah dinyatakan sangat dha’if olehpara ulama hadits.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Saif bin ‘Umar Adh-Dhabbi Al-Asidi terkadang disebut At-Tamimi, penulis kitab Al-Futuh war Riddah dan kitab lainnya” kemudian Adz-Dzahabi mambawakan pernyataan Jarh (kritik) dari para Imam:

“Berkata Abu Dawud: “Dia (Saif bin Umar) bukanlah siapa-siapa”.

berkata Abu Hatim: “(Saif) Matruk[3]”,

berkata Ibnu Hibban: “Dia (Saif) tertuduh sebagai zindiq[4]”,

berkata Ibnu ‘Adi: “kebanyakan haditsnya adalah munkar[5]”,

berkata Ibnu Numair: “Saif suka memalsukan hadits”. -selesai nukilan dari  Adz-Dzahabi-

Dengan ini, kita ketahui bahwa orang dalam kisah tersebut bukanlah seorang shahabat. Karena Saif, orang yang menyatakan bahwa orang tersebut adalah shahabat, tidak bisa dipercaya bahkan dia Matruk dan tertuduh pemalsu hadits. Ditambah lagi, para ulama yang terpercaya tidak ada yang mengenalnya. Maka, bagaimana bisa seorang laki-laki yang tidak dikenali oleh para ulama bisa dianggap sebagai seorang shahabat hanya karena perkataan orang yang lemah, bahkan tertuduh pemalsu hadits?

Berkata Sayyid Al-Ghabasyi: “Adapun perkataan Al-Ghumari: “sesungguhnya jika orang ini bukan Bilal, maka dia pasti adalah seorang tabi’in. Dan hujjahnya ada pada sikap Umar yang menyetujuinya. Dimana Umar tidak mengingkari perbuatan orang tersebut”, perkataan ini merupakan perkataan. Karena perkataannya ini dibangun diatas anggapan bahwa kisah ini shahih, padahal kisah ini tidak shahih karena Malik Ad-Dar adalah seorang majhul sebagaimana yang telah kami sebutkan. Lagi pula, tidak ada dalam kisah itu keterangan bahwa ia mengabarkan Umar tentang perbuatan dia datang ke kubur. Bisa jadi ia hanya mengabarkan tentang mimpinya saja. Dalam kisah itu, nabi berkata “datangilah Umar lalu bacakan untuknya salam dariku dan beritahu ia bahwa orang-orang akan diberi hujan….”  kalau begitu, dari mana dia tahu bahwa  Umar tidak mengingkari hal tersebut? karena sesuatu yang tidak disebutkan bukan bukti bahwa sesuatu tersebut tidak ada.”[6]

Berkata Syaikh Abdul Lathif Ar-Rawi : “Bagaimana bisa, dianggap shahih sebuah atsar yang diriwayatkan oleh seorang mudallis dari mudallis dari majhul dari orang yang tidak diketahui namanya dan hanya bermimpi? ”[7]

5. Adapun perkataan Ibnu Hajar “Sanadnya shahih dari Riwayat Abu Shalih A-Samman”, bukanlah penshahihan untuk semua sanadnya. Melainkan ini hanya penshahihan untuk para perawi sanad yang ada di bawah Malik Ad-Dar.

Berkata Syaikh Shalih Alu-Syaikh: “Al-Hafizh Ibnu Hajar yang cerdas tidak menshahihkan sanadnya secara mutlak seperti yang disangka oleh penulis Shahibul Mafahim, tapi Ibnu Hajar hanya berkata: “Dengan sanad yang shahih dari Riwayat Abu Shalih As-Samman dari Malik Ad-Dar” maknanya, Al-Hafizh (Ibnu Hajar) hanya menshahihkan sanadnya sampai Abu Shalih As-Samman… maka bedakanlah antara perkataannya ini dengan apabila dia berkata “Dengan sanad yang shahih bahwa Malik Ad-Dar berkata…”

Dengan ini, jelaslah bahwa perkataan Ibnu Hajar ini tidak mengahalangi adanya dua kecacatan yang telah berlalu penjelasannya. Pertama: bahwa Malik Ad-Dar Majhul, kedua: adanya kemungkinan terputusnya sanad antara Abu Shalih Dzakwan (As-Samman) dengan Malik Ad-Dar….. sehingga, jelaslah kelemahan atsar ini”[8] -selesai nukilan perkataan Syaikh Sholih-

Berkata Syaikh Al-Albani: hal ini (dhaifnya atsar Malik Ad-Dar) tidak bertentangan dengan perkataan Al-Hafizh “dengan sanad yang shohih dari Riwayat Abu Sholih As-Samman” karena kami katakan bahwa ini bukanlah teks tegas yang menshahihkan seluruh sanad, akan tetapi hanya sampai Abu Shalih saja. Kalau bukan seperti itu, tentulah beliau tidak menyebut sanad dari Abu Shalih tapi ia akan langsung menyatakan sedari awal: “dari Malik Ad-Dar……. Dengan sanad yang shahih” sebenarnya beliau sengaja seperti itu untuk membuat pembaca menyadari bahwa disini (Malik Ad-Dar) ada sesuatu yang harus dicek”[9]

6. Adapun anggapan sebagian orang bahwa Ibnu Katsir menshahihkan atsar ini, maka hal itu keliru.

Berkata Syaikh Sholih Alu Syaikh: “Ibnu Katsir hanya menshahihkan sanad sesuai dengan metodenya dalam mentsiqahkan orang-orang yang majhul ari kalangan tabi’in. sebagaiman ahal itu diketahui oleh siapapuun yang menelusuri metodenya dalam kitab tafsir dan kitab lainnya.”[10]

Berkata Syaikh Abdul Lathif Ar-Rawi: “Adapun anggapan bahwa Ibnu Katsir telah menshahihkan atsar ini, adalah anggapan yang batil. Karena Ibnu Katsir hanya berkata “sanadnya shahih” bukan mengatakan “hadits shahih” seperti kebiasaannya dalam berbagai tulisannya. Hal ini merupakan isyarat bahwa Malik Ad-Dar adalah orang yang lemah karena tidak dikenali. Selain itu, membawakan Riwayat-riwayat yang terdapat tabi’in-tabi’in tua walaupun majhul dan tidak dikenali Namanya selama tidak di-jarh memanglah bagian dari kebiasaan Ibnu Katsir.

Perbuatan Ibnu Katsir ini menyelisihi metode para imam yang hafizh dan peneliti ilmu hadits. Karena tidak ada hubungannya antara masuknya seseorang dalam era tabi’in dengan keshalihan atau kekuatan hafalannya. Berapa banyak orang-orang  zindiq, pemalsu, dan pendusta hadits yang hidup di era ini? Bersamaan dengan itu, para ulama salaf tetap melemahkan dan menjelaskan keadaan mereka.

Kemudian dijawab juga, bahwa Al-Hafizh Ibnu Katsir berada diatas madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta termasuk murid-murid Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah yang telah menyerang para penyembah kubur dengan bantahan-bantahannya yang membakar (hati mereka). Bahkan Ibnu Katsir telah meringkas sebuah kitab karya Ibnu Taimiyah yang termasuk kitab beliau yang paling bagus dalam membantah para penyembah kubur dan paling dibenci oleh mereka. Yaitu kitab al-Istighatsah fi Ar-radd ‘ala Al-Bakri” yang telah diringkas oleh Ibnu Katsir dan kitab tersebut masih ada dalam bentuk manuskrip maupun cetak. Dalam kitab tersebut terdapat bantahan untuk mayoritas syubhat-syubhat Al-Quburi Al-Bakri dan orang-orang yang sejalan dengannya. Setelah ini, bagaimana bisa kesyirikan ini dinisbatkan kepada Ibnu Katsir!? Allahulmusta’an[11]

Dengan demikian, jelaslah betapa lemahnya hadits/atsar Malik Ad-Dar yang dielu-elukan oleh musyrikin para penyembah kubur seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Lathif Ar-Rawi : “Bagaimana bisa, dianggap shahih sebuah atsar yang diriwayatkan oleh seorang mudallis dari mudallis dari majhul dari orang yang tidak diketahui namanya dan hanya bermimpi?”.

Sebenarnya, tidak ada bagi musyrikin satu dalil satu pun untuk membenarkan perbuatan mereka. semua dalil yang mereka bawa hanyalah ayat-ayat yang mutasyabih, atau hadits dan atsar yang lemah, atau mimpi dan cerita takhayul yang tidak bisa dijadikan sandaran dalam beragama.

Wallahu A’lam

oleh: Abu Muddakir Hafizhahullah (siswa kelas XII Pesantren Tahfizh Sahabat Teladan)


[1] At-Tawassul hal 118

[2] Jami’ut Tahshil karya al-‘Allai hal.188-189

[3] Matruk artinya orang yang haditsnya ditinggalkan. Dalam ilmu Jarh wat Ta’dil, seseorang biasanya dikatakan matruk jika ia adalah seseorang yang disepakati ulama untuk ditinggalkan haditsnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ahmad bin Shalih rahimahullah

[4] Zindiq adalah orang yang menampakkan islam namun menyembunyikan kekufuran alias munafiq. Sebagian ulama mengartikannya sebagai orang yang tidak peduli pada agama.

[5] Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang dha’if dan haditsnya itu menyelisihi hadits-hadist para perawi yang tsiqah. Al-HafizhIbnu Hajar Al-Asqolani mengurutkan kedudukan hadits munkar sebagai tingkatan hadits terlemah ke-3 setelah hadits maudhu’ dan matruk.

[6] Al-Fawaid Al-Jalilah hal. 49

[7] Al-‘Ilam bit Tandid Al-Mubin hal. 234

[8] Hadzihi mafahimuna hal. 63

[9] At-Tawassul hal. 118

[10] Hadzihi Mafahimuna [hal: 63]

[11] Al-I’lam bit Tandid Al-Mubin hal 233

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *