Beliau adalah Al Imam Al Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Masyraf At-Tamimi An-Najdi. Lahir di sebuah perkampungan Uyainah sebelah utara Riyadh, disitulah kabilahnya tinggal.
Beliau tumbuh di lingkungan ilmu. Ayahnya seorang hakim agung, dan kakeknya –Sulaiman- adalah seorang mufti dan rujukan para ulama. Dan paman-pamannya semuanya ulama.
Beliau belajar dari ayah dan paman-pamannya sejak kecil. Bahkan sebelum usianya mencapai sepuluh tahun ia berhasil menamatkan hafalan Al Qur’an. Beliau belajar dan menghafalkan Al Qur’an langsung dari sang ayah. Disamping itu ia juga membaca kitab-kitab tafsir dan hadits hingga memiliki keilmuan yang mumpuni sejak kecil. Sehingga sang ayah dan para ulama disana takjub dengan kepandaian dan keahliannya. Sampai dikisahkan bahwa ia terlibat diskusi dalam persoalan-persoalan ilmiyah dan para ulama disana mendapat faidah dari diskusi-diskusinya. Orang-orang mengakui keunggulannya sejak belia.
Kemudian beliau tidak merasa cukup dengan ilmu yang dimilikinya meskipun ketika itu sudah memuaskan. Tapi sudah menjadi tabiat ilmu, semakin dicari semakin terasa kurang. Maka beliau memutuskan untuk pergi mencari ilmu.
Beliau meninggalkan keluarga dan negerinya untuk pergi haji. Kemudian (dari Makkah) beliau menuju Madinah untuk bertemu dengan para ulama di Masjid Nabawi (belajar dari mereka). Diantara yang spesial adalah Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif, seorang imam dalam ilmu fikih dan ushul. Asy-Syaikh Abdullah berasal dari Najd tepatnya di Majma’ah, Sudair. Begitu pula anak beliau yang bernama Ibrahim bin Abdillah penulis kitab Al Adzbul Al Fa’idh Syarh Alfiyah Al Fara’id. Di sana beliau juga bertemu dengan Al Muhaddits Asy-Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi dan menerima ijazah periwayatan kutubus sittah darinya. Kemudian setelah itu beliau kembali ke negerinya.
Dari negerinya beliau kembali mengadakan rihlah (kedua). (Kali ini) ke Al Ahsa’, timur Najd. Dimana di negeri itu terdapat ulama madzhab Hanbali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi. Beliau belajar dari mereka semua, khususnya ulama hanbali diantaranya Muhammad bin Fairuz dan Abdul Wahhab bin Fairuz. Beliau belajar dari mereka ilmu fikih. Selain kepada mereka beliau juga belajar dari Abdullah bin Abdul Lathif Al Ahsa’i.
Dari Al Ahsa’ beliau melanjutkan perjalanannya ke Iraq, khususnya Bashrah. Ketika itu Bashrah dihuni banyak ulama hadits dan fikih. Beliau belajar dari mereka, tapi secara khusus beliau berguru kepada Asy-Syaikh Muhammad Al Majmu’i dan selainnya.
Dan setiap kali beliau mendapati karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim beliau menyalinnya dengan tangannya. Sehingga beliau berhasil menyalin banyak dari kitab-kitab di Al Ahsa’i dan Bashrah dan terkumpul padanya kitab-kitab yang cukup banyak.
Beliau juga ingin pergi ke Syam, karena disana banyak terdapat ulama khususnya dari mazhab Hanbali dan ahlul hadits. Tapi setelah beliau berjalan menuju Syam ia mengalami kesulitan di perjalanan dan kehabisan bekal hingga kelaparan dan kehausan, dan hampir mati di jalan. Kalian tahu bagaimana beratnya kondisi pada waktu itu dan jauhnya perjalanan. Akhirnya beliau kembali lagi ke Bashrah dan membatalkan perjalanannya ke Syam. Kemudian setelah itu beliau pulang ke Najd, yaitu setelah berbekal dengan ilmu dan mendapatkan banyak kitab disamping kitab-kitab yang sudah ada di negerinya.
Setelah sampai di negerinya beliau mulai berdakwah, melakukan perbaikan-perbaikan, menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Beliau tidak rela hanya berpangku tangan dan meninggalkan manusia sebagaimana adanya, bahkan beliau ingin ilmunya tersebar, berdakwah ke jalan Allah.
Beliau mulai memperhatikan masyarakatnya dan mendapati kerusakan yang tersebar ditengah-tengah mereka dan juga kesyirikan yang banyak. Maka karena digerakkan oleh kecemburuannya terhadap agama Allah dan rasa sayangnya kepada muslimin, beliau memandang bahwa tidak halal baginya berpangku tangan dalam kondisi masyarakat yang seperti itu.
Pada masa itu konsentrasi ulama Najd kepada bidang fikih, dan dalam perkara akidah mereka mengikuti ajaran ulama kalam dari mazhab Asy’ariyah dan selain mereka. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap akidah salaf. Dan seperti itu juga keadaan para ulama di Syam, Mesir dan selainnya dari semua pelosok negeri. Akidah yang tersebar ketika itu disana adalah akidah Asy’ariyyah, selain banyak dari mereka yang rusak akidah uluhiyahnya. Adapun akidah salaf, sedikit sekali dari mereka yang memberikan perhatian kepadanya. Keadaan mereka didominasi oleh khurafat, bid’ah dan kesyirikan dalam ibadah yang tertuang dalam praktek peribadahan kepada kuburan-kuburan. Seperti inilah kondisi ilmiyah mereka saat itu.
Adapun politik, kondisi masyarakat ketika itu sangat centang perenang, berpecah belah. Mereka tidak memiliki negara yang menyatukan mereka. Masing-masing kampung memiliki pemimpin sendiri-sendiri. Uyainah punya amir sendiri, Dir’iyyah punya amir sendiri, Riyadh punya amir sendiri, dan sampai kampung-kampung kecil masing-masing mereka punya amir sendiri-sendiri. Ditambah lagi diantara negeri-negeri tersebut terlibat peperangan dan saling rampok, dan begitu pula keadaan orang-orang baduinya.
Dari sisi politik Najd selalu kacau dan tercerai berai. Penduduknya saling bunuh dan tidak ada kepastian hukum. Sampai-sampai sesama penduduk negeri yang sama saling bunuh dan berperang.
Disamping itu terdapat disana peribadatan kepada kuburan-kuburan dan istighatsah kepada orang-orang yang telah mati. Diantaranya adalah kuburan seorang sahabat Nabi, Zaid bin Al Khattab Radhiyallahu ‘Anhu yang gugur bersama mujahidin lainnya saat memerangi Musailamah Al Kadzdzab. Dahulu orang-orang minta pertolongan dan keselamatan melalui kuburan ini. Dan diatas kuburan Zaid terdapat sebuah kubah, para peziarah berbondong-bondong datang kesana dari negeri-negeri yang jauh karena popularitasnya yang membahana kala itu.
Selain itu ada juga pohon-pohon kurma dan pohon lainnya yang mereka yakini (dengan keyakinan-keyakinan yang rusak) dan mereka jadikan sebagai sarana mencari berkah. Bahkan di tengah-tengah mereka didapati ajaran-ajaran sesat seperti sufiyah dan wihdatul wujud di Riyadh dan Al Kharaj.
Seperti inilah dahulu kondisi keagamaan mereka. Dan para ulama ketika itu lebih memilih diam di hadapan fenomena yang memilukan ini. Dan celakanya sebagian mereka justru ikut mempromosikan ajaran-ajaran khurafat dan mendukungnya.
Maka ketika Asy-Syaikh rahimahullah melihat kondisi muslimin (yang seperti ini) beliau memulai dakwahnya ke jalan Allah Azza wa Jalla, beliau bangkit mengajak manusia kepada agama Allah. Beliau mengajarkan mereka tauhid dan mengingkari kesyirikan-kesyirikan dan khurafat-khurafat (yang tersebar) dan beliau menanamkan manhaj salafus shalih sehingga terkumpul bersamanya murid-murid dari Dir’iyyah dan Uyainah dari orang-orang yang Allah kehendaki padanya kebaikan.
Disamping itu beliau menghubungi amir Uyainah (Utsman bin Mu’ammar) dan menawarkan kepadanya dakwah (tauhid). Maka ia pun menerimanya dan menjanjikan kepada Asy-Syaikh pembelaan –dan ini terjadi pada awal dakwah-. Lalu Amir Utsman menghancurkan kubah yang berada diatas kuburan Zaid bin Al Khattab atas permintaan Asy-Syaikh. Karena yang bisa menghancurkannya hanya yang memiliki kekuasaan. Adapun person masyarakat tidak bisa.
Kemudian datang seorang perempuan kepada Asy-Syaikh mengaku berzina dan minta kepada Asy-Syaikh agar ditegakkan atasnya hukum had. Lalu Asy-Syaikh menolak sampai perempuan itu mengulangi permintaannya, seperti dahulu Al Ghamidiyah Radhiyallahu ‘Anha di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Karena permintaan yang berulang itu Asy-Syaikh menegakkan atas perempuan ini hukum had dan merajamnya.
Maka tersebarlah kabar berita ini hingga didengar oleh amir Al Ahsa’ bahwa beliau menghancurkan kubah dan merajam perempuan. Amir Al Ahsa’ akhirnya mengirim utusan kepada amir Uyainah mengatakan; “Usir orang ini atau kami putus bantuan yang selama ini kami berikan kepadamu!” Menerima ancaman ini amir Uyainah mendatangi Asy-Syaikh dan menceritakan perihal ancaman itu dan berkata, “Saya tidak sanggup menghadapi mereka.” Kemudian Asy-Syaikh menenangkannya dan menjanjikan kepadanya kebaikan, Asy-Syaikh mendorongnya untuk tawakkal kepada Allah dan bahwasanya rezeki di tangan Allah, dan mengingatkan bahwa ini adalah akidah tauhid, barangsiapa menegakkannya Allah akan membantu dan menolongnya. Tapi amir Uyainah tetap pada pendiriannya meminta Asy-Syaikh untuk meninggalkan negerinya.
Maka saat menjelang dhuhur Asy-Syaikh keluar dari Uyainah pergi menuju Dir’iyyah. Disana ada salah seorang murid terbaik beliau yang bernama Ibnu Suwailim. Maka pergilah beliau kesana seorang diri dengan kipas ditangannya sambil berjalan kaki sambil terus mengulang-ulangi bacaan firman Allah,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, Allah berikan untuknya jalan keluar. Dan Allah beri rezeki kepadanya dari arah yang tiada dia sangka.” (Qs. At-Thalaq; 2-3)
Setelah sampai di rumah muridnya di Dir’iyyah, si murid merasa ketakutan dan mengalami kegalauan dengan kedatangan gurunya. Karena dia mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan keselamatan gurunya dari masyarakat. Karena mereka sangat membenci Asy-Syaikh. Kemudian Asy-Syaikh menenangkannya dan berkata, “Jangan pikirkan apa-apa. Tawakkallah kepada Allah Azza wa Jalla. Dia akan menolong siapa yang menolong agama-Nya”
Dan dalam kondisi yang demikian ternyata kedatangan Asy-Syaikh ke Dir’iyyah diketahui oleh istri amir Dir’iyyah. Perempuan yang shalihah ini menawarkan kepada suaminya Al Amir Muhammad bin Su’ud untuk menolong Asy-Syaikh. Ia memberitahukan kepadanya bahwa Asy-Syaikh ini adalah nikmat yang Allah kirim kepadanya. Ia memotivasinya agar segera menyambut anugrah Allah ini. Istri yang shalihah ini akhirnya berhasil menenangkan suaminya dan memasukkan ke dalam hatinya kecintaan kepada dakwah dan kecintaan kepada Asy-Syaikh yang alim ini. Ia berkata kepada istrinya, “Saya persilahkan dia datang kemari.” Istrinya berkata, “Bahkan pergilah kamu menemuinya. Karena kalau kamu utus seseorang memintanya untuk datang, orang-orang akan mengira kamu menangkapnya. Tapi kalau kamu datang sendiri menemuinya ini berarti kamu telah memuliakan dia dan sekaligus sebagai kemuliaan juga bagimu.”
Lalu pergilah Al Amir Muhammad bin Su’ud menemui Asy-Syaikh, dia menyalaminya dan menanyakan maksud kedatangannya. Asy-Syaikh menjelaskan kepada Al Amir Muhammad bahwa ia tidak punya apa-apa selain dakwah para rasul Shalawatullah wasalaamuhu ‘Alaihim, yaitu dakwah kepada kalimat tauhid, Laa ilaaha Illallah. Lalu Asy-Syaikh menerangkan maknanya dan menjelaskan bahwa inilah akidah para rasul.
Lalu Al Amir berkata, “Saya akan dukung dan bela kamu.” Asy-Syaikh menjawab, “Allah akan berikan kepadamu kemuliaan dan kekuasaan. Karena barangsiapa menegakkan kalimat Laa ilaaha Illlalah ini Allah akan menjadikannya berkuasa.” Al Amir berkata, “Tapi aku ada syarat.” “Apa itu?” Tanya Asy-Syaikh. “Kamu membiarkanku dan apa-apa yang aku ambil dari orang-orang.” Asy-Syaikh menjawab, “Semoga Allah mencukupkanmu dari hal ini dan membukakan untukmu pintu rezeki dari sisi-Nya.” Lalu keduanya berpisah dan selanjutnya Asy-Syaikh mulai berdakwah dan Al ‘Amir mendukungnya, hingga orang-orang mulai berdatangan untuk belajar di Dir’iyyah dan jadilah Asy-Syaikh memiliki kedudukan terhormat disana. Beliau mengimami shalat, bertindak sebagai mufti dan qadhi sekaligus. Sehingga mulailah terbentuk kepemimpinan tauhid di Dir’iyyah sejak saat itu.
Kemudian beliau mulai melayangkan surat-surat ke negeri-negeri sekitar dan kampung-kampung menyeru mereka kepada jalan Allah dan mengajak mereka menerima akidah tauhid ini dan meninggalkan segala macam kebid’ahan dan khurafat. Sehingga ada dari mereka yang menerima dan bergabung tanpa jihad, tanpa perang dan diantara mereka ada yang menolak dan membangkang sehingga tentara-tentara tauhid memeranginya di bawah kepemimpinan Al Amir Muhammad bin Su’ud dan arahan dari Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka memerangi orang-orang yang membangkang dan menolak. Sampai akhirnya pengaruh dakwah mulai tersebar ke seluruh penjuru Najd dan negeri-negeri sekitar. Mereka menyatakan bergabung, sampai penguasa Uyainah yang sebelumnya pernah membela Asy-Syaikh juga bergabung di bawah kepemimpinan penguasa Dir’iyyah. Riyadh takluk dan masuk ke dalam kekuasaan Dir’iyyah setelah perang yang panjang. Dan kekuasaan dakwah terus meluas hingga menyentuh Al Kharaj dan daerah sekitarnya, ke utara dan selatan hingga mendekati perbatasan Syam bagian selatan dan perbatasan Yaman bagian utara, dari laut merah hingga ke teluk arab bagian timur. Seluruhnya masuk ke dalam wilayah kekuasaan Dir’iyyah, kota-kota dan gurunnya.
Allah Azza wa Jalla telah menganugrahkan kepada penduduk Dir’iyyah kebaikan yang banyak, rezki, kekayaan dan hasil alam yang melimpah. Perekonomian tumbuh dengan ilmu agama dan ketahanan dengan sebab keberkahan dakwah salafiyah yang merupakan hakikat dakwah para rasul Alaihimus Salam.
Mukaddimah Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan terhadap kitab syarh Kasyf Syubuhat