Hukum Meninggalkan Tauhid

Pada penjelasannya terhadap kitab Kasyf-Syubuhat Asy-Syaikh Shalih Alu Syaikh menerangkan tentang hukum orang yang meninggalkan tauhid, beliau berkata:

Meninggalkan tauhid kembali kepada salah satu dari dua sebab atau kedua-duanya sekaligus pada sebagian keadaan:

1- Jahil terhadapnya. Dan kejahilan ini bisa disebabkan karena tidak ada yang memberitahu. Dan bisa karena berpaling tidak mau tahu.

2- Menolak dan sombong. Yang kedua ini terdapat dari orang yang tahu dan telah tegak padanya hujjah.

Dan kedua sebab diatas sama-sama menjadikan pelakunya kafir. Barangsiapa tidak mendatangkan tauhid karena berpaling darinya dan jahil akannya, ia kafir. Dan barangsiapa tidak mendatangkan tauhid dan meninggalkan kesyirikan kepada Allah Ta’aala karena membangkang dan sombong, ia kafir.

Karena itu ulama berkata, kekufuran ada dua:

1- Kufur penolakan dan sombong, seperti yang terdapat pada firman Allah Ta’aala: ((Dan ingatlah ketika Kami katakan kepada para malaikat sujudlah kalian kepada Adam, maka mereka sujud kecuali Iblis membangkang dan sombong. Dan Iblis termasuk dari orang-orang kafir.)) (Qs. Al Baqarah: 34)

2- (Kufur) keberpalingan, seperti yang Allah Ta’aala firmankan: ((Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui kebenaran, maka mereka berpaling)) (Qs. Al Anbiya’: 24). Maka tidak semua orang kafir kafirnya karena membangkang dan sombong, bahkan bisa saja kufurnya disebabkan karena berpaling.

Oleh karena itu terdapat pada akhir Nawaqidul Islam yang ditulis oleh Imam Dakwah rahimahullah, pada pembatal kesepuluh: ((Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya)) tidak penting baginya mengetahui tauhid, tidak penting baginya mengetahui kesyirikan dan tidak penting baginya perkara-perkara ini. Dia berpaling dari agama Allah sama sekali.

Apabila telah jelas hal ini, disini (dikatakan: “kamu pun tahu) jahilnya mayoritas manusia terhadap perkara ini.” Ucapan ini dari sisi hukum terhadap realita. Adapun yang kami bicarakan adalah dari sisi pondasi masalah. Bahwa kekufuran bisa terjadi karena keberpalingan dan kejahilan. Dan bisa terjadi karena pembangkangan dan kesombongan. Dan (yang dimaksud) dari sisi realita artinya hukum terhadap orang-orang.

Karena orang yang melakukan kesyirikan dikatakan musyrik, apakah dia tahu (berilmu) atau tidak (jahil). Dan dalam menghukuminya kafir tidak sama. Apabila telah ditegakkan atasnya hujjah dari orang yang ahli agar hilang darinya syubhat dan dia menjadi paham akan batasan-batasan yang Allah turunkan kepada rasul-Nya dari perkara tauhid dan syirik. Lalu dia meninggalkan (tauhid) padahal hujjah telah tegak atasnya, maka dia kafir lahir dan batin. Adapun orang yang berpaling, dia diperlakukan secara lahir seperti perlakuan kepada orang kafir. Adapun batinnya kita tidak hukumi dengan kufur batin melainkan setelah hujjah ditegakkan atasnya.

Karena telah menjadi perkara yang baku ditengah ulama bahwa pelaku zina disebut “zaanin” (pezina), tapi (diakhirat) bisa diperhitungkan, bisa tidak. Karena apabila dia tahu akan haramnya zina kemudian dia berzina maka perbuatannya diperhitungkan. Tapi apabila dia baru masuk Islam kemudian berzina karena tidak tahu keharamannya, maka lebel pezina tetap ada padanya, tapi dia perbuatannya tidak diperhitungkan karena ketidaktahuannya. Ini adalah bentuk pengkompromian antara dalil-dalil yang ada dalam bab ini dari pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda.

Yaitu harus dibedakan dalam bab ini antara kufur lahir dengan kufur batin. Dan yang menjadi hukum asal adalah seseorang tidak dikafirkan kecuali setelah tegaknya hujjah atasnya, berdasarkan firman Allah Ta’aala: ((Dan Kami tidak mengazab sampai Kami utus seorang rasul)) Qs. Al Israa’: 15. Dan azab disini hanya berlaku setelah hujjah tegak atas seorang hamba, di dunia atau di akhirat. Tapi orang ini (pelaku kesyirikan) mungkin diperlakukan seperti perlakuan kepada orang kafir dalam rangka menjaga agama, tidak dimintakan untuknya ampunan, tidak berkurban untuknya, tidak dinikahi dan seterusnya dari hukum-hukum (terkait).

Maka perkataan para imam dakwah dalam perkara ini padanya terdapat rincian antara kufur lahir dan kufur batin. Dan dari sisi penerapan mereka memisahkan. Ketika menerangkan pondasi, mereka mengatakan: Ini kufur, apakah kufurnya karena berpaling dan jahil atau kufurnya karena menolak dan sombong. Dan saat penerapan terhadap person (mu’ayyan) mereka mencap kafir terhadap orang yang telah tegak atasnya hujjah risaliyah yang jelas dan gamblang. Adapun orang yang belum tegak atasnya hujjah terkadang mereka tidak mencapnya kafir, seperti ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab disalah satu tempat: ((Apabila kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas (kubur) Abdul Qadir dan berhala yang berada diatas kubur Ahmad Al Badawi dan yang semisalnya karena kejahilan mereka dan karena tidak ada orang yang memberitahu mereka)). Asy-Syaikh (Muhammad) tidak mengkafirkan penduduk Jubailah dan semisalnya dari orang-orang yang terdapat ditengah-tengah mereka sebagaian berhala-berhala, (dan ini) diawal dakwahnya. Karena belum sampainya hujjah yang cukup kepada mereka.

Dan sebagian ulama lainnya terkadang mencap mereka kafir, tapi maksudnya bahwa mereka diperlakukan dengan perlakuan terhadap orang kafir, dalam rangka menjaga agama dan menjaga syariat dan prinsip ittiba’ (ketundukan). Agar tidak seorang pun memintakan ampunan kepada orang musyrik, menyembelih kurban untuk orang musyrik, memberi kesetiaan kepada orang musyrik dan hukum-hukum lainnya.

Sumber: Syarah Kasyfus-Syubuhat, Syarah Syaikh Shalih Alu Syaikh (Hal 135-138). Cet. Darul Hijaz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *