Menyorot Pandangan Tengku Zulkarnain Tentang Iman

Kemarin pagi saya dikagetkan dengan sebuah tulisan yang dikirimkan seorang teman melalui whatsapp. Tulisan ini dibuat oleh seseorang yang cukup ditokohkan, yaitu tentang permasalahan iman. Pada tulisan itu penulisnya mengkritik orang-orang yang menurutnya telah melakukan kesalahan dalam persoalan iman dengan menjadikan amalan sebagai syarat sah keimanan. Namun pada kritikannya itu penulis tidak menempuh jalan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menjelaskan hakikat iman, tapi sebaliknya malah membahayakan ummat dengan menambah kerancuan dan pengkaburan. Dan yang paling berbahaya menurut saya adalah penegasannya bahwa keimanan cukup dengan ucapan dan keyakinan. Adapun amalan perbuatan selain syahadatain tidak berpengaruh terhadap keabsahan iman selagi seseorang tidak melakukan kesyirikan atau kemurtadan!!

Dan agar tidak dituduh mengada-ada kami kutip perkataan penulis disini seperlunya;

Ia berkata menjelaskan ucapan Imam Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, “Tegasnya, dalam pandangan mereka, walaupun amal itu sendiri adalah bagian dari iman, tetapi bukan syarat bagi sahnya iman seseorang. Kalaupun ada tuntutan perlu ada amal dulu agar iman menjadi sah, tentu yang dimaksudkan amal disini adalah ‘amalan lidah’ ketika mengucapkan syahadat itu, bukan amalan lain!”

Ia juga mengatakan, “Selanjutnya, dalam akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah diyakini pula bahwa perbuatan dosa tidak menyebabkan iman seseorang menjadi batal. Artinya, orang tersebut akan tetap dalam golongan orang beriman walaupun telah berbuat banyak dosa, bahkan jika berbuat dosa besar sekalipun. Kecuali dosa syirik dan murtad saja yang akan menyebabkan iman seseorang batal dan butuh pembaharuan lagi.”

Tanggapan saya terhadap perkataan ini sebagai berikut;

Iman Menurut Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Para ulama salaf sepakat bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan (amal). Ucapan hati dan lisan, dan perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Dari definisi ini mereka memasukkan amalan/perbuatan kedalam pengertian iman dan sebagai bagian dari iman. Kemudian disamping itu mereka juga mengatakan bahwa keimanan seseorang tidak sah dengan hanya mencukupkan satu bagian dari tiga bagian iman saja tanpa mendatangkan yang lainnya semuanya. Demikian yang kami dapati dari perkataan Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (w. 204 H). Beliau rahimahullah berkata;

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون : الإيمان قول وعمل ونية لا يجزئ واحد من الثلاث إلا بالآخر

Para shahabat dan tabi’in setelahnya dan orang-orang yang kami temui sepakat mengatakan; “Iman adalah ucapan dan perbuatan dan niat, tidak sah salah satu dari ketiga bagian ini tanpa disertai yang lainnya.” Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah (5/957) no. 1593. Cetakan ke delapan Daar Thaybah.

Menurut teks ucapan Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ini keimanan tidak dianggap sah hanya dengan ucapan saja tanpa diikuti dengan perbuatan  dan niat (keyakinan), atau hanya dengan perbuatan saja tanpa ucapan dan niat dan begitu seterusnya sampai seseorang mendatangkan ketiga-tiganya.

Dari sini terlihat teranglah perbedaan penulis dengan Al Imam Asy-Syafi’i dalam pendefinisian hakikat iman.

Point lainnya penulis mengatakan bahwa dimasukkannya amalan ke dalam pengertian iman adalah amalan lisan bukan anggota badan. Ia berkata; Kalaupun ada tuntutan perlu ada amal dulu agar iman menjadi sah, tentu yang dimaksudkan amal disini adalah ‘amalan lidah’ ketika mengucapkan syahadat itu, bukan amalan lain!”

Padahal salaf seluruhnya memasukkan (menggolongkan) perbuatan/amalan sebagai bagian dari iman, perbuatan lisan dan anggota badan. Sedangkan diatas terang-terangan penulis justru mengeluarkan perbuatan anggota badan dari hakikat iman.

Berikut saya kutip beberapa perkataan ulama terdahulu yang berbicara tentang iman menurut akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, agar jelas dihadapan pembaca perbedaan iman menurut penulis dengan iman menurut ulama salaf.

Perbuatan/amalan adalah rukun dan bagian yang tidak terpisah dari iman

1- Al Imam Al Muzani rahimahullah (w. 264 H) murid Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata;

والإيمان قول وعمل وهما سيان ونظامان وقرينان، لا نفرق بينهما، لا إيمان إلا بعمل، ولا عمل إلا بإيمان

“Dan iman adalah ucapan dan perbuatan/amalan. Keduanya merupakan dua bagian dan bangunan dan saling bersandingan. Kami tidak memisahkan antara keduanya. Tidak ada iman kecuali dengan perbuatan/amalan. Dan tidak ada perbuatan kecuali dengan iman.” Syarah Sunnah Al Muzani (halaman 83) Cetakan pertama Maktabah Daar Al Minhaj, tahun 1430 H

2- Al Imam Ibnu Abi Hatim Ar-Razi rahimahullah (w. 327 H) berkata;

“Saya bertanya kepada bapakku (Al Imam Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah) (w. 277 H) dan (Al Imam) Abu Zur’ah (w. 264 H) tentang mazhab-mazhab Ahlussunnah berkenaan dengan pokok-pokok agama dan yang mereka berdua dapati dari para ulama di semua negeri dan apa yang mereka berdua yakini tentang persoalan ini. Kedua mereka berkata;

أدركنا العلماء في جميع الأمصار حجازا وعراقا ومصرا وشاما ويمنا فكان من مذهبهم أن الإيمان قول وعمل يزد وينقص

“Kami dapati para ulama di semua negeri Hijaz, Iraq, Mesir, Syam, Yaman semua berpendapat bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan/amalan, bertambah dan berkurang.”  Ushul As-Sunnah wa’tiqadud-Diin, halaman 131 Cetakan Dar Al Kotob Al Ilmiyah

 

Perbuatan/amalan mencakup perbuatan lisan dan perbuatan anggota badan

3- Al Imam Abu Bakr Al Aajurry rahimahullah (w. 360 H) berkata;

اعلموا رحمنا الله تعالى وإياكم: أن الذي عليه علماء المسلمين أن الإيمان واجب على جميع الخلق، وهو تصديق بالقلب، وإقرار باللسان، وعمل بالجوارح.ثم اعلموا أنه لا تجزيء المعرفة بالقلب والتصديق إلا أن يكون معه الإيمان باللسان نطقا، ولا تجزيء معرفة بالقلب ونطق باللسان حتى يكون عمل بالجوارح، فإذا كملت فيه هذه الثلاث الخصال كان مؤمنا. دل على ذلك الكتاب والسنة وقول علماء المسلمين

“Ketahuilah, semoga Allah merahmati kita; Yang menjadi pegangan ulama muslimin adalah bahwa keimanan itu wajib atas setiap makhluk. Yaitu membenarkan dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Kemudian ketahuilah bahwa pengenalan dengan hati dan pembenaran tidak mencukupi (tidak sah) kecuali apabila disertai dengan keimanan dengan lisan yaitu mengucapkan (syahadatain). Dan pengenalan hati serta pengucapan lisan tidak mencukupi (tidak sah) sampai diiringi dengan perbuatan/amalan anggota badan. Kapan ketiga bagian ini terpenuhi maka dia orang beriman. Dalil akan hal ini Al Kitab dan As-Sunnah dan ucapan ulama muslimin.” Asy-Syari’ah (2/611) cetakan kedua 1420 H, Daar Al Wathan.

Maka jelaslah bahwa perbuatan/amalan yang merupakan tuntutan iman menurut Ahlussunnah wal Jama’ah bukan semata-mata perbuatan lisan seperti yang disangkakan penulis, tapi juga mencakup perbuatan anggota badan disamping mengucapkan syahadatain. Inilah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sejak generasi pertama para salafusshalih hingga zaman kita sekarang bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan/amalan. Ucapan hati dan lisan, dan perbuatan hati, lisan dan anggota badan.

Karena itu lima abad setelah berlalu generasi salaf tepatnya pada abad ke delapan hijriyah, Ahmad bin Abdul Halim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) menegaskan kembali akidah salafusshalih dalam persoalan iman. Beliau berkata;

ومن أصول أهل السنة والجماعة أن الدين والإيمان قول وعمل، قول القلب واللسان وعمل القلب واللسان والجوارح

“Dan diantara pokok-pokok (ajaran) Ahlussunnah bahwa agama dan iman adalah ucapan dan perbuatan/amalan. Ucapan hati dan lisan, dan perbuatan hati, lisan dan anggota badan.” Al Aqidah Al Washitiyah (halaman 234) Cetakan kedua tahun 2007, Maktabah Ibnu Taimiyah, Yaman.

Lalu pada abad ke 12 hijriyah, yaitu empat abad setelah zaman Ibnu Taimiyah, Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kembali menegaskan akidah seperti yang telah ditegaskan oleh para pendahulunya dari ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan beliau menukil ijma’ ummat bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan/amalan. Beliau berkata;

لا خلاف بين الأمة أن التوحيد : لابد أن يكون بالقلب ، الذي هو العلم ؛ واللسان الذي هو القول ، والعمل الذي هو تنفيذ الأوامر والنواهي ، فإن أخل بشيء من هذا ، لم يكن الرجل مسلما. فإن أقر بالتوحيد ، ولم يعمل به ، فهو كافر معاند ، كفرعون وإبليس. وإن عمل بالتوحيد ظاهراً ، وهو لا يعتقده باطناً ، فهو منافق خالصاً ، أشر من الكافر والله أعلم.

“Tidak ada perbedaan diantara ummat bahwa tauhid harus terdapat di dalam hati yaitu mengilmui (memahami), dan lisan yaitu mengucapkan, dan perbuatan/amalan yaitu mengaplikasikan perintah-perintah dan larangan-larangan. Maka apabila melalaikan salah satunya, seseorang belum muslim. Dan apabila menerima tauhid tapi tidak mengerjakannya maka dia kafir mu’aanid (yang membangkang) seperti Fir’aun dan Iblis. Dan apabila dia mengerjakan tauhid secara lahir, dan batinnya tidak meyakininya maka dia seorang munafik murni, keadaannya lebih jelek dari orang kafir. Wallahua’lam.Ad-Durar As-Sanniyyah (2/124)

Maka setelah uraian singkat ini marilah kita berpikir. Masih pantaskah setelah berlalu 12 abad usia ummat Islam dimana mereka telah sepakat berada diatas akidah ini, kemudian muncul di abad ke 15 seseorang yang menisbatkan kepada Ahlussunnah wal Jama’ah akidah yang tidak dikenal sama sekali sebelumnya oleh mereka dahulu dan sekarang?! Mengeluarkan perbuatan anggota badan dari hakikat iman?! Tidak cukupkah seseorang menjadi pengikut saja selagi diatas kebenaran daripada memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin tapi diatas kesesatan?!

 

Benarkah syahadatain tidak cukup dalam menetapkan keislaman seseorang?

Persoalan lain yang menjadi sorotan kami adalah tuduhan penulis terhadap pihak yang mengatakan “perbuatan adalah syarat sah keimanan”. Penulis menuduh mereka tidak menerima keislaman orang yang mengucapkan syahadatain apabila belum beramal!

Padahal bukan suatu yang tersembunyi bagi penulis apabila ingin berhati-hati dan meneliti kembali bahwa ucapan “perbuatan adalah syarat sah keimanan” bukan berarti seseorang yang mengucapkan syahadat tidak diterima keislamannya alias masih kafir sampai dia beramal, sebagaimana yang penulis tuduhkan. Karena sejauh yang kami ketahui, hampir tidak ada satu kelompok dalam Islam hatta yang sesat sekalipun, berpendapat demikian. Kecuali yang didapati dari kelompok Syi’ah Rafidhah yang menambahkan disamping syahadatain pengakuan Ali Radhiyallahu ‘Anhu adalah waliyullah! Dan itu pun bukan perbuatan anggota badan! Maka ini adalah keganjilan lain yang terdapat pada tulisan tersebut.

Penulis mengatakan; “Mereka menempatkan amal sebagai syarat sahnya iman seseorang. Artinya, jika seseorang sudah mengucapkan kalimah syahadat dan mengakuinya dengan hati, tetap saja orang tersebut kafir karena imannya belum sah. Demikian menurut faham baru dari segelintir umat Islam tersebut. Radio, buku, majalah, dan rekaman ceramah mereka sangat gencar mempropagandakan ajaran baru ini, bahkan dengan mengatasnamakan faham Ahulussunnah Wal Jama’ah pula. Betapa berbahayanya faham ini…….!”

Karena itu saya minta penulis untuk menyebutkan siapa yang dimaksud telah membawa ajaran baru ini di Ibukota dan disebarkan melalui radio, buku, majalah dan rekaman-rekaman ceramah? Atau sebenarnya kelompok ini hanya khayalan penulis guna meluapkan kebenciannya kepada kesepakatan ummat Islam dalam persoalan iman, dimana penulis bersebrangan dengannya seperti yang telah kami urai diatas.

Karena apabila benar yang penulis katakan, kelompok ini jelas telah menganut paham yang sangat berbahaya, mereka tidak menerima keislaman orang yang mengucapkan kalimat syahadat!! Wajib bagi MUI sebagai benteng akidah ummat Islam di negeri ini, yang mana penulis merupakan salah satu anggotanya, untuk mengeluarkan fatwa peringatan agar menjauhi kelompok ini. Tapi sejak tulisan tersebut dipublikasikan pada tahun 2010 sampai sekarang tahun 2018 tidak kami dapati peringatan MUI terhadap akidah yang sangat berbahaya ini kecuali dari pribadi penulis seorang. Pertanyaannya ada apa?!

Karena itu kuat dugaan kami bahwa penulis sebenarnya keliru memahami statemen “perbuatan adalah syarat sah keimanan”, dengan mengartikan kepada dugaan yang jauh panggang dari api; “…jika seseorang sudah mengucapkan kalimah syahadat dan mengakuinya dengan hati, tetap saja orang tersebut kafir karena imannya belum sah.”

Karena sejauh yang kami pelajari, yang dimaksud dengan statemen tersebut adalah tidak sah disisi Allah keimanan seseorang yang tidak beramal sama sekali sampai dia mati, sedangkan dia mengetahui perintah dan larangan Allah disamping adanya kemampuan dan kesempatan yang dia miliki untuk beramal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Fatawa (7/616) mengatakan;

ومن الممتنع أن يكون الرجل مؤمنا إيمانا ثابتا في قلبه بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام والحج ويعيش دهره لا يسجد لله سجدة ، ولا يصوم رمضان ، ولا يؤدي لله زكاة ، ولا يحج إلى بيته، فهذا ممتنع ، ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقة ، لا مع إيمان صحيح

“Dan mustahil seseorang beriman dengan keimanan yang terdapat di dalam hatinya bahwa Allah mewajibkan atasnya mengerjakan shalat, menunaikan zakat, berpuasa dan haji kemudian dia hidup sepanjang usianya namun tidak sujud kepada Allah walau sekali, tidak puasa Ramadhan, tidak menunaikan zakat, tidak pergi haji ke Baitullah. Ini mustahil bahkan tidak terbayangkan ada yang seperti ini kecuali terdapat padanya kemunafikan di dalam hati dan kezindikan, dan kekosongan (hati) dari iman yang shahih.”

Adapun dalil-dalil yang penulis bawakan dalam mendukung pendapatnya menurut kami bersumber dari kelemahannya dalam membahas persoalan ini. Karena seperti misalnya kisah Nabi yang menawarkan syahadat kepada pamannya, begitu pula kisah islamnya Raja Najasyi, dan saya tambahkan disini seperti kisah Usamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan syahadat kemudian Nabi mengingkarinya padahal dia belum beramal dan kisah Nabi yang menawarkan kepada anak Yahudi agar masuk Islam saat diperkirakan anak ini sebentar lagi wafat. Kisah-kisah ini semua dan yang semisal dengannya sama sekali bukan dalil yang menguatkan pendapat penulis bahwa keimanan cukup dengan pengakuan dan lisan karena dia diluar topik persoalan. Kisah-kisah itu semua berbicara tentang orang yang tidak sempat beramal selain mengucapkan syahadatain. Dan orang yang tidak sempat beramal selain syahadatain kemudian mati, maka dia muslim. Sedangkan yang dibahas dalam persoalan ini adalah tentang orang yang mengucapkan syahadat dan punya kesempatan untuk beramal, namun dia memilih tidak beramal hingga kematian merengutnya. Apakah iman orang seperti ini sah? Berdasarkan uraian yang telah lalu, Ahlussunnah wal Jama’ah menilai orang ini tidak beriman disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahua’lam.

Maka kalau bukan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang ditegaskan oleh penulis, lantas akidah siapakah yang mengatakan orang yang tidak beramal sama sekali dengan anggota badan tetap  dianggap muslim selagi masih mengakui kewajiban-kewajibannya?

Al Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah (w. 238 H) berkata;

غلت المرجئة حتى صار من قولهم: إن قوما يقولون من ترك الصلوات المكتوبات وصوم رمضان والزكاة والحج وعامة الفرائض من غير جحود لها: إنا لا نكفره، يرجأ أمره إلى الله بعد، إذ هو مقرـ فهؤلاء لا شك فيهم ـ يعني : في أنهم مرجئة!

“Murji’ah telah kelewatan sampai-sampai diantara ucapan mereka bahwa suatu kaum mengatakan barangsiapa meninggalkan shalat yang wajib, puasa Ramadhan, zakat dan haji serta semua kewajiban-kewajiban tanpa mengingkari kewajibannya; Kami tidak mengkafirkannya. Urusannya dikembalikan kepada Allah, karena dia mengakui (wajibnya). Mereka ini adalah orang-orang yang tidak diragukan!”

Ibnu Rajab (w. 736 H) berkata; “Bahwa merekalah Murji’ah!” Fathul Bari, Syarh Shahih Al Bukhari libni Rajab Al Hanbali (1/21)

Semoga dengan uraian ini penulis bisa mengoreksi kembali pemahamannya dan pembaca yang terlanjur membenarkan tulisannya dapat kembali kepada akidah yang benar tentang hakikat iman mencocoki akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipegang para ulama dahulu dan sekarang. Amin

Wallahua’lam bis-Shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *