PILAH-PILIH ULAMA

Pertanyaan:

Bolehkah bagi orang awam minta fatwa dan mengikuti pendapat-pendapat sembarang ulama, atau wajib atasnya minta fatwa ulama negeri dimana dia tinggal saja?

 

Jawab:

Segala puji hanya milik Allah. Manusia ada tiga jenis golongan;

Pertama, orang alim yang ahli ijtihad. Yaitu orang yang memiliki kemampuan dalam mengistimbath (menggali) hukum-hukum dari teks-teks Al Kitab dan As-Sunnah secara langsung. Orang ini tidak boleh baginya taklid kepada seorang pun dari ulama. Melainkan yang wajib adalah mengikuti hasil kesimpulan ijtihadnya apakah mencocoki ulama zamannya atau menyelisihi mereka.

Kedua, seorang penuntut ilmu yang mumpuni dalam menggali ilmu hingga dia memiliki kemampuan untuk memilih yang terkuat antara pendapat-pendapat para ulama meskipun dia tidak sampai kepada tingkatan ahli ijtihad. Orang ini tidak wajib baginya untuk taklid kepada seorang pun ulama, melainkan dia membandingkan antara pendapat-pendapat para ulama dan membandiingkan dalil-dalilnya kemudian mengikuti pendapat yang menurutnya paling kuat.

Ketiga, orang awam yang tidak memiliki sedikit pun bekal ilmu syar’i yang menjadikannya pantas dalam memilih yang terkuat antara pendapat-pendapat ulama (tarjih). Mereka tidak bisa menggali hukum-hukum dari teks-teks Al Kitab dan As-Sunnah. Dan tidak mampu untuk men-tarjih diantara pendapat-pendapat para ulama. Oleh Karen itu yang wajib atas mereka adalah bertanya kepada ulama dan mengikuti pendapat mereka. Allah Ta’aala berfirman; “Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ulama) apabila kalian tidak mengetahui.” (Qs. An-Nahl; 43)

Dan wajib atas mereka taklid kepada ulama zamannya, bahkan ulama negerinya agar mereka tidak diberi kebebasan memilih dari pendapat-pendapat ulama yang sesuai dengan seleranya, sedangkan kondisinya mereka tidak memiliki keahlian dalam tarjih, sehingga (dikhawatirkan) mereka memilih pendapat yang paling ringan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Kondisi ini akan menimbulkan banyak pertentangan dan perselisihan dan manusia akan meninggalkan hukum-hukum agama sedikit demi sedikit.

Para ulama telah menjelaskan ketiga jenis golongan ini. Tentang dua jenis pertama At-Thufi dalam Mukhtashar Ar-Raudhah (3/629) berkata; “Seorang ahli ijtihad apabila dia berijtihad dan kuat dugaannya bahwa hukum (persoalan tersebut) adalah ini, tidak boleh baginya taklid kepada orang lain. Dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Adapun orang yang belum berijtihad dalam hukum tapi dia memiliki kemampuan mengenalinya sendiri dengan kekuatan yang mendekati perbuatan karena dia seorang ahli ijtihad, tidak boleh baginya taklid kepada orang lain juga secara mutlak. Tidak kepada yang lebih tinggi ilmunya dari dia atau selainnya, dari kalangan shahabat Radhiyallahu ‘Anhum atau orang lain.”

Adapun jenis ketiga adalah orang awam. Telah dijelaskan dalam Tanqih Al Fatawi Al Hamidiyah (7/431) sesuai penomoran Syamilah; “Faidah; Tugas orang awam adalah berpegang dengan pendapat para fuqaha’ dan mengikuti mereka pada pendapat dan perbuatan mereka…tidak ada kebebasan bagi orang awam memilih pendapat-pendapat terdahulu. Tapi boleh baginya memilih pendapat-pendapat ulama zamannya apabila mereka setara dalam keilmuan, kejujuran dan amanah. Dan barangsiapa mengalami suatu peristiwa lalu ulama zamannya menunjukinya kepada pendapat-pendapat para shahabat, tidak boleh bagi orang jahil untuk mengambil salah satunya sampai orang alim memilihkan untuknya (sebuah pendapat) sesuai dalil.”

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata;

Manusia berbeda-beda, diantara mereka ada yang telah sampai kepada tingkatan ijtihad, dan diantara mereka ada yang tidak sampai. Dan diantara mereka ada ahli ijtihad pada satu persoalan disamping persoalan-persoalan lainnya. Disitu dia mendudukkan dan mengulasnya, dan mengenali kebenaran pada persoalan itu disamping orang lain. Dan diantara manusia ada yang tidak mengetahui apa-apa.

Maka orang awam mazhab mereka adalah mazhab ulamanya. Oleh karena itu apabila ada orang berkata kepada kita; “Saya merokok, karena di negeri Islam yang lain ada ulama yang membolehkannya. Dan saya bebas taklid kepada siapa saja.” Kita bilang kepadanya; “Ini tidak boleh, karena kewajibanmu adalah taklid. Dan yang paling berhak kamu ikuti adalah ulamamu. Kalau kamu taklid kepada ulama di luar negerimu itu akan mengakibatkan kekacauan dalam urusan yang tidak ada padanya dalil syar’i.

Dan kalau seseorang bilah bahwa dia akan mencukur jenggotnya, karena ulama dunia ada yang membolehkannya. Kita katakan: “Tidak boleh, karena kewajibanmu adalah taklid, jangan menyelisihi ulamamu.”

Apabila ada yang bilang; Saya akan thawaf di kuburan orang-orang shalih, karena ada ulama yang membolehkannya. Atau dia bilang, saya ingin bertawassul melalui mereka kepada Allah, atau ucapan lainnya yang semisal. Kita bilang; “Ini tidak dibolehkan, karena orang awam wajib mengikuti ulama negerinya yang dia percayai.”

Hal ini telah disebutkan oleh guru kami Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, beliau bilang; “Orang awam tidak boleh taklid kepada ulama dari luar negerinya. Karena hal ini akan mengakibatkan kericuhan dan pertentangan. Kalau seseorang bilang, “Saya tidak berwudhu karena (makan) daging unta, disebabkan ada dari ulama dunia yang tidak mewajibkan wudhu karena makan daging unta.” Kita bilang kepadanya; “Tidak boleh, wajib atasmu untuk berwudhu karena ini mazhab ulamamu dan kamu taklid kepada mereka.”

Beliau juga berkata; Adapun orang awam, mereka dituntut mengikuti ulama negeri mereka agar tidak tercerai berai. Karena apabila kita bilang kepada orang awam; pendapat siapa pun yang kamu dapati, kamu bebas mengikutinya, maka ummat ini tidak akan menjadi ummat yang satu. Oleh karena itu guru kami Asy-Syaikh Aburrahman bin Sa’diy rahimahullah berkata; “Orang awam berada diatas mazhab ulama mereka.” Misalnya, disini di Kerajaan Arab Saudi wajib atas wanita menutupi wajahnya. Maka kita mengharuskan wanita-wanita kita dengan kewajiban ini. Sekalipun ada seorang perempuan yang berkata; “Saya ikut mazhab fulan dan membuka wajah menurutnya boleh.” Kita bilang; “Tidak boleh bagimu melakukan itu, karena kamu awam, kamu tidak sampai ke tingkatan ahli ijtihad. Kamu ingin mengikuti pendapat ini hanya karena itu lebih ringan saja. Dan mencari-cari keringanan adalah haram.” Adapun apabila seorang alim yang berijtihad dan ijtihadnya mengantarkan dia kepada pendapat bahwa boleh bagi wanita membuka wajah dan dia bilang; “Istriku saya biarkan membuka wajahnya.” Kita bilang; Silahkan. Tapi jangan buka wajahnya di negeri orang-orang yang menutup wajah mereka. Dia dilarang dari hal ini, karena itu akan merusak orang lain, dan karena persoalan ini ada kesepakatan bahwa menutup wajah adalah yang yang paling utama. Maka apabila menutup wajah adalah yang lebih utama kemudian jika kami mengharuskan itu kepadanya, kami bukan mengharuskan dia dengan suatu yang haram menurut mazhabnya tapi kami mengharuskan dia dengan suatu yang lebih utama menurut mazhabnya. Dan alasan lain, agar orang lain di negeri yang wanitanya menutup wajah tidak mengikuti dia sehingga yang terjadi adalah perpecahan dan tercerai berainya persatuan. Adapun apabila dia pulang ke negerinya kami tidak mengharuskan dia mengikuti pendapat kami selagi persoalannya ijtihadiyah dan tunduk kepada teori dan dalil-dalil dan perbandingan. Liqa’at Bab Al Maftuh (19/32)

Wallahua’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *