Udzur bil Jahl Menurut Syaikh Utsaimin & Mengkompromikan Fatwa-fatwanya

Doktor Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Manshur Al Jarbu’ hafidzhullah

بسم الله الرحمن الرحيم

Mengkompromikan fatwa-fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah tentang hukum pelaku syirik besar

Pertama: Beberapa contoh fatwa-fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah yang secara tegas menyatakan kafirnya mu’ayyan (person) yang melakukan kesyirikan yang besar walau jahil.

1- Fadhilatus-Syaikh ditanya tentang seorang yang menjaga shalat dan puasa, lahiriyah keadaannya sebagai orang yang istiqamah, tapi dia memiliki perkumpulan disana dia menyeru Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Abdul Qadir, bagaimana hukum perbuatan orang ini?

Beliau menjawab; Apa yang disebutkan oleh penanya sangatlah menyedihkan hati. Karena orang ini yang sifatnya menjaga shalat dan puasa, dan lahiriyah keadaannya orang yang istiqamah, telah dipermainkan oleh setan. Dan setan telah menjadikannya keluar dari Islam dengan kesyirikan, disadari olehnya atau tidak. Karena perbuatannya menyeru selain Allah merupakan syirik besar yang mengusirnya dari Islam, apakah dia menyeru Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau selain beliau. [ Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (2/160)]

2- Dalam tafsir firman Allah Ta’aala;

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kamu sembah, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sungguh, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.”(Qs. Zukhruf: 26-27)

Beliau rahimahullah berkata; (kecuali (Allah) yang menciptakanku) dia (Ibrahim disini) menggabungkan antara nafi dan itsbat (meniadakan ibadah kepada selain Allah dan menetapkan ibadah hanya untuk Allah –penerj). Nafi ada pada perkataannya; (Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah). Sedangkan itsbat ada pada perkataannya; (kecuali (Allah) yang menciptakanku). Maka hal ini menunjukkan bahwa tauhid tidak terpenuhi kecuali dengan kufur (menolak) apa-apa (yang diibadahi –penerj) selain Allah dan beriman kepada Allah semata. (Maka barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah berarti dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat)(Qs. Al Baqarah; 286). Sedangkan mereka beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selainnya juga. Dan Ibrahim disini berkata (kecuali (Allah) yang menciptakanku). Dalam pengecualian hukum asalnya bersambung kecuali ada dalil yang menyelisihinya, tapi kendati begitu dia berlepas diri dari mereka.

Dan terdapat pada sebagian negeri Islam orang-orang yang shalat, berzakat, puasa dan haji tapi mereka juga pergi ke kuburan sujud dan ruku’ kepadanya. Mereka orang-orang kafir bukan ahli tauhid dan tidak diterima dari mereka ibadah apa pun. Dan ini diantara yang paling berbahaya atas masyarakat Islam. Karena melakukan kekufuran dengan (peribadatan –penerj) kepada selain Allah bagi mereka bukan apa-apa. Ini adalah kejahilan dari mereka dan kelalaian dari ulamanya. Karena orang awam hanya mengikuti orang alimnya. Tapi sebagian orang –kita berlindung kepada Allah- adalah ulama negara bukan ulama agama. [ Majmu’ Fatawa (9/139)]

3- Beliau rahimahullah ditanya; Apa nasib seorang muslim yang puasa, shalat dan zakat akan tetapi memiliki keyakinan terhadap para wali, yaitu yang dinamakan pada sebagian negeri-negeri Islam sebagai i’tiqad yang baik dan bahwa para wali bisa mencelakakan dan memberi manfaat.  Selain itu orang ini juga menyeru si wali dengan mengatakan; Wahai fulan untukmu ini dan itu, apabila anak perempuanku atau anak laki-lakiku diberi kesembuhan. Atau (ucapan), demi Allah wahai fulan…dan (ucapan) yang serupa dengan ini. Apa hukum yang demikian dan apa nasib si muslim pada kasus ini?

Beliau menjawab; Penamaan orang ini terhadap orang yang bernazar kepada kuburan dan para wali serta menyeru mereka, menamakan orang ini sebagai muslim merupakan kebodohan dari orang yang memberi nama. Karena pada hakikatnya, orang ini bukan orang Islam karena dia musyrik. Allah Ta’aala berfirman;

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb kalian berkata, mintalah kepada-Ku Aku akan penuhi. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku mereka akan memasuki neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Qs. Ghafir; 60)

Maka doa tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata, karena Dialah yang mengangkat kesulitan dan memberi kemanfaatan

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (Qs. An-Naml: 62)

Orang ini jikalau dia shalat, puasa dan berzakat sedangkan dia menyeru selain Allah dan beribadah kepada selain Dia dan bernadzar untuk selain Dia, maka dia musyrik Allah telah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya neraka, dan tidak ada bagi orang-orang dzalim seorang pun penolong. [Fatawa Nur ‘Alad Darb (16/21)]

Kedua: Telah terdapat dari Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah fatwa-fatwa yang menegaskan tidak ada pengkafiran kepada mu’ayyan (person) yang jahil yang melakukan kesyirikan yang besar sampai hujjah ditegakkan atas dia.

Seperti yang terdapat pada jawaban atas pertanyaan tentang udzur bil jahl (dispensasi hukum karena kebodohan)terkait perkara akidah. Beliau rahimahullah berkata;

Ikhtilaf dalam permasalahan udzur bil jahl (dispensasi hukum karena kebodohan), sama seperti permasalahan ikhtilaf fiqhiyah lainnya yang sifatnya ijtihadiyah, bahkan terkadang perselisihannya bersifat lafdziyah dalam beberapa keadaan pada penerapannya kepada person tertentu. Yakni semua sepakat bahwa perkataan ini kufur, atau perbuatan ini kufur, atau meninggalkan ini kufur. Tapi apakah hukum kafir melekat pada orang ini karena sudah terpenuhinya syarat-syarat dan tidak terdapat padanya penghalang? Atau hukum kafir tidak melekat kepadanya karena tidak terpenuhi beberapa syarat atau didapati beberapa penghalang!?

Hal ini karena kebodohan terhadap sebab-sebab kekafiran ada dua macam:

Pertama: kebodohan yang berasal dari orang non muslim atau orang yang tidak punya agama. Sedangkan tidak terpikirkan sama sekali olehnya bahwa disana ada agama yang menyelisihi apa yang dia lakukan. Maka orang seperti ini berlaku atasnya hukum yang sesuai dengan lahiriyahnya di dunia. Adapun di akhirat maka nasibnya terserah kepada Allah Ta’aala.

Kedua: kebodohan yang berasal dari orang yang beragama Islam, tapi dia hidup di atas perbuatan yang mengkafirkan ini. Sedangkan tidak pernah terbetik dalam pikirannya bahwa dia menyelisihi Islam dan tidak ada seseorang pun yang mengingatkannya dalam hal itu. Maka orang seperti ini berlaku atasnya hukum-hukum Islam sesuai lahiriyahnya. Adapun di akhirat maka nasibnya terserah kepada Allah Ta’aala. Dalil akan hal ini adalah Al Kitab, As-Sunnah dan perkataan-perkataan ahli ilmu. Dan diantara dalil dari Al Kitab adalah firman Allah Ta’aala;

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak mengazab (siapa pun) sampai Kami mengutus (kepadanya) seorang rasul.” (Qs. Al Israa’; 15) [Majmu’ Fatawa (2/130-131)]

Dan beliau rahimahullah memiliki fatwa-fatwa yang banyak yang serupa dengan ini, padanya terdapat pakem-pakem penting yang menjelaskan bahwa abstain dalam mengkafirkan person yang musyrik sampai tegak hujjah atasnya adalah dalam konteks ancaman atau wa’iid dan hukuman yang berupa adzab (di akhirat –penerj). Dalam hal ini beliau rahimahullah berdalil dengan firman Allah Ta’aala;

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak mengazab (siapa pun) sampai Kami mengutus (kepadanya) seorang rasul.” (Qs. Al Israa’; 15)

Maka tidak ada kontradiksi antara fatwa-fatwa beliau rahimahullah yang pertama tentang wajibnya meyakini kafirnya person yang melakukan kesyirikan yang besar dan yang semisalnya dari kekafiran-kekafiran yang jelas walaupun dia jahil, hujjah belum ditegakkan atasnya, dengan fatwa-fatwa beliau yang abstain dari mengkafirkannya. Karena disitu beliau rahimahullah menerangkan bahwa beliau abstain dari mengkafirkannya dan pelakunya disikapi dengan hukum Islam sesuai lahiriyahnya, dimana beliau berkata; “orang ini berlaku atasnya hukum yang sesuai dengan lahiriyahnya di dunia.” Sehingga tidak terangkat darinya hukum sesuai lahiriyahnya ini kecuali dengan putusan seorang hakim bahwa dia kafir dan murtad. Dan hukuman ini tidak berlaku kecuali setelah orang ini diminta bertaubat dan diberitahu dan penegakan hujjah. Karena ini termasuk ke dalam hukum-hukum ancaman atau wa’iid yang implikasinya adzab. Oleh karena itu pada akhir fatwa-fatwa tersebut Asy-Syaikh rahimahullah berdalil dengan firman Allah;

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak mengazab (siapa pun) sampai Kami mengutus (kepadanya) seorang rasul.” (Qs. Al Israa’; 15)

Dan hukum Islam dzahir (sesuai lahiriyah) yang diberikan kepada si musyrik dan munafik bukan berarti dia tidak kafir secara batin, bahkan dia kafir keluar dari Islam pada hakikatnya. Karena barangsiapa diketahui kemunafikannya dan kesyirikannya, maka diyakini demikian sebagaimana perkataan Al Imam Al Barbahari;

ولا يخرج أحد من أهل القبلة من الإسلام حتى يرد آية من كتاب الله أو يرد شيئا من آثار رسول الله أو يصلى لغير الله أو يذبح لغير الله. وإذا فعل شيئا من ذلك فقد وجب عليك أن تخرجه من الإسلام، وإذا لم يفعل شيئا من ذلك فهو مؤمن ومسلم بالإسم لا بالحقيقة

[Dan seorang ahli kiblat tidak keluar dari Islam sampai menolak sebuah ayat dari Kitabullah atau menolak sesuatu dari hadits-hadits Rasulullah, atau shalat kepada selain Allah, atau menyembelih untuk selain Allah. Maka apabila dia melakukan salah satu dari hal ini telah wajiblah atasmu untuk mengeluarkannya dari Islam. Dan apabila dia tidak melakukan salah satu dari hal ini maka lebelnya adalah mu’min dan muslim tapi bukan secara hakikat.] [Syarhus Sunnah, tahqiq Al Qahthani (hal 31), tahqia Ar-Raddadi (hal 81)]

Dan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah telah menerangkan hal ini pada ucapannya;

Dan diantara faidah ayat yang mulia ini, adalah isyarat bahwa yang menjadi ukuran dalam keimanan adalah hati, berdasarkan firman Allah Ta’aala:

مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِن قُلُوبُهُمْ

“Yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman.” (Qs. Al Maidah: 41)

Maka keimanan dengan lisan bukan merupakan iman, sampai berdiri diatas keimanan hati, karena jika tidak demikian (keimanan seperti ini) tidak berguna bagi pemiliknya.

Dan diantara faidah ayat yang mulia ini, bahwa keimanan tempatnya dihati, berdasarkan firman Allah “…padahal hati mereka belum beriman.” Akan tetapi jika ada yang mengatakan, bukankah kita diperintah untuk menilai seseorang sesuai lahirnya?! Kita jawab: tentu, kita diperintahkan dengan ini. Akan tetapi orang yang tampak kemunafikannya, sesungguhnya kami memperlakukan dia sesuai keadaannya, seperti jika dia menampakkan kemunafikan, kita tidak diam dari orang ini.

Adapun orang yang tidak diketahui kemunafikannya, maka kita tidak punya selain kondisi lahirnya, adapun batinnya kembali kepada Allah. Sama seperti jika kita melihat orang kafir, maka kita perlakukan dia dengan perlakuan kepada orang kafir dan tidak kita katakan bahwa kita tidak mengkafirkannya secara personal, sebagaimana masalah ini rancu pada sebagian penuntut ilmu sekarang. Mereka mengatakan; Jika kamu lihat orang tidak shalat, jangan kafirkan dia secara ta’yin (personal). Jika kamu lihat orang sujud kepada berhala, jangan kafirkan dia secara ta’yin (personal) karena bisa jadi hatinya tenang diatas keimanan!

Kita katakan kepadanya; ini salah besar! Kami menilai sesuai lahir. Jika kami dapati seseorang tidak shalat, kami katakan dengan tegas: orang ini kafir. Dan apabila kami lihat seseorang sujud kepada berhala, kami katakan: orang ini kafir, dan kami menta’yin dia dan kami tuntut dia dengan hukum-hukum Islam. Dan jika dia tidak tunduk, kami bunuh.

Adapun perkara akhirat, maka iya. Kami tidak mempersaksikan person mana pun dengan surga atau neraka, kecuali yang dipersaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, atau ada keterangannya dari Al Qur’an. [ Tafsir surat Al Maidah, kaset 14 side B]

Rincian seperti ini kita dapati juga pada fatwa Lajnah Ad-Da’imah no 4400 dibawah ketuanya saat itu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Berikut redaksinya;

[Semua orang yang beriman kepada risalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan semua yang beliau bawa dalam syariat Islam, apabila setelah itu sujud kepada selain Allah, wali atau penghuni kubur, atau syaikh tarikat maka dia kafir, murtad dari Islam, musyrik kepada Allah dengan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya dalam peribadahan. (Dia musyrik) walaupun saat sujudnya (kepada selain Allah –penerj) dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Ini karena dia telah melakukan perbuatan yang membatalkan syahadatnya berupa sujud kepada selain Allah. Tapi mungkin dia diberi udzur karena kejahilannya! Sehingga tidak dihukum sampai diberitahu dan ditegakkan atasnya hujjah. Kepadanya diberi penangguhan selama tiga hari sebagai udzur baginya untuk mengoreksi pendapatnya, dengan harapan dia bertaubat. Tapi jika dia bersikukuh diatas perbuatannya sujud kepada selain Allah setelah adanya keterangan maka dia dibunuh karena kemurtadannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

من بدل دينه فاقتلوه

“Barangsiapa menukar agamanya maka bunuhlah dia”

Maka keterangan dan penegakan hujjah adalah untuk memberikan penangguhan kepadanya sebelum diterapkan hukuman atasnya bukan untuk disebut kafir setelah adanya keterangan. Karena orang ini disebut kafir dengan sebab perbuatannya sujud kepada selain Allah, atau nadzarnya yang berupa taqarrub (kepada selain Allah), atau menyembelih sembelihan, kambing misalnya untuk selain Allah.

Al Kitab dan As-Sunnah telah menerangkan bahwa barangsiapa mati diatas kesyirikan dia tidak diampuni dan kekal di neraka berdasarkan firman Allah Ta’aala:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selain dari kesyirikan bagi siapa yang Allah kehendaki.” (Qs. An-Nisaa’; 48) 

Dan Allah berfirman;

مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَىٰ أَنفُسِهِم بِالْكُفْرِ أُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ

Tidaklah orang-orang musyrik itu akan meramaikan masjid-masjid Allah, mereka menyaksikan terhadap diri-diri mereka sendiri dengan kekufuran. Mereka itu gugur amalannya dan mereka kekal di neraka.” (Qs. At-Taubah; 17)

Semoga shalat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad, dan kepada para shahabat dan orang-orang yang mengikutinya.] [Fatawa Lajnah Da’imah (1/220) cetakan Ulin-Nuha]

Diantara pelajaran yang bisa dipetik dari fatwa ini:

1- Ulama Lajnah menerangkan bahwa hukum atasnya dengan kekafiran dan kondisinya yang kafir hakiki terjadi dengan sekedar dia melakukan kekufuran. Ini bisa dilihat pada ucapan mereka: “…dia kafir, murtad dari Islam…saat sujudnya (kepada selain Allah)…” Maka berdasarkan ini siapa saja yang mengetahui hakikat keadaan orang ini wajib atasnya meyakini kafir dan murtadnya orang ini. Tapi keyakinan ini bukan berarti seseorang bebas menghukumnya, karena hukum bunuh atasnya tergantung kepada keputusan hakim.

2- Ulama Lajnah menerangkan bahwa orang ini mungkin diberi udzur atau dispensasi atas kejahilannya, sehingga tidak diterapkan kepadanya hukuman. Dan bahwasanya hukum atas dia sebagai murtad dan dibunuh –yaitu hukum yang bersumber dari hakim yang berakibat penerapan hukum had atas suatu kemurtadan- tidak berlaku kecuali setelah diberi keterangan dan penegakan hujjah. Hal ini dan juga yang sebelumnya jelas pada ucapan mereka; “Maka keterangan dan penegakan hujjah adalah untuk memberikan penangguhan kepadanya sebelum diterapkan hukuman atasnya bukan untuk disebut kafir setelah adanya keterangan. Karena orang ini disebut kafir dengan sebab perbuatannya sujud kepada selain Allah, atau nadzarnya yang berupa taqarrub (kepada selain Allah), atau menyembelih sembelihan, kambing misalnya untuk selain Allah.” Wallahua’lam.

*Tulisan singkat ini sebagai pendahuluan bagi karya tulis khusus berjudul: “Al Qaul Al Wadhih fi Daf’i Al Iththirab ‘An Fatawa Ibni Utsaimin fi Hukmi Man Asyraka bi Rabbil ‘Aalamin.” Semoga Allah memberi taufik untuk merampungkannya.


بسم الله الرحمن الرحيم

BEBERAPA UCAPAN ULAMA YANG MENGINGKARI DAN MENCELA ORANG-ORANG YANG ABSTAIN DARI MENGKAFIRKAN ORANG MUSYRIK YANG JAHIL DAN MALAH MENGHUKUMINYA SEBAGAI MUSLIM DENGAN SYUBHAT BELUM TEGAK HUJJAH KARENA BELUM PAHAM DAN HILANG SYUBHAT DAN MEMBANGKANG ATAU INAD

Pertama: Mereka menerangkan bahwa pendapat hujjah tidak tegak kepada mu’ayyan/person tertentu kecuali dengan didapatinya pemahaman dan hilang syubhat serta jelasnya kebenaran di hadapannya dan membangkang adalah termasuk pendapat-pendapat sebagian ahli bid’ah seperti Al Jahidz dari pemuka Mu’tazilah. Dan pendapat ini termasuk perkataan yang kufur karena pelanggarannya terhadap petunjuk yang jelas dari Al Qur’an.

Ini kita dapati pada ucapan Ibnu Qudamah rahimahullah;

أما الذي ذهب إليه الجاحظ فباطل يقينا، وكفر بالله تعالى ورد عليه وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم. فإنا نعلم قطعا : أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر اليهود والنصارى بالإسلام واتباعه، وذمهم على إصرارهم، ونقاتل جميعهم ونقتل البالغ منهم. ونعلم أن المعاند العارف مما يقل، أنما الأكثر مقلدة اعتقدوا دين آبائهم تقليدان ولم يعرفوا معجزة الرسول وصدقه. والآيات الدالة في القرآن على هذا كثيرة….

[Adapun pendapat Al Jahidz adalah batil tanpa keraguan, dan merupakan kekufuran kepada Allah serta penolakan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Karena kita telah mengetahui dengan pasti bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memerintahkan orang-orang Yahudi dan Kristen untuk berislam dan menjadi pengikutnya. Dan beliau mencela mereka karena pembangkangannya. Kita memerangi mereka dan membunuh orang yang baligh dari mereka. Dan kita mengetahui bahwa orang yang sudah jelas baginya (kebenaran Islam) kemudian membangkang atau mu’anid (jumlah mereka) sedikit. Kebanyakan mereka para pembebek yang meyakini agama bapak moyangnya karena ikut-ikutan. Mereka tidak mengetahui mu’jizat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kebenaran (risalah)nya. Ayat-ayat yang menunjukkan akan hal ini di dalam Al Qur’an ada banyak sekali…”] [Raudhatun Nadhir (hal 362)]

Kedua: Mereka menerangkan bahwa pendapat yang mengatakan hujjah tidak tegak kepada mu’ayyan/person tertentu kecuali dengan tercapainya pemahaman dan hilang syubhat serta terangnya kebenaran dan membangkang, dan bahwa pengkafiran tidak bisa diberlakukan kecuali setelah tegaknya hujjah secara mutlak adalah diantara sangkaan-sangkaannya ahli bid’ah seperti Daud bin Jirjis Al Quburi An-Naqsyabandi.

Ini kita dapati pada perkataan Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman rahimahullah saat beliau mengisahkan tentang ucapan Daud bin Jirjis; “Dan termasuk ke dalam hal ini adalah penukilannya (Daud) yang kedua dari Syaikhul Islam tentang shalat di belakang ahli bid’ah dan bahwasanya beliau tidak mengkafirkan mereka. Dan bahwasanya suatu ucapan bisa merupakan kekufuran dan pelakunya dikafirkan secara mutlak dengan dikatakan; Barangsiapa mengucapkan ini maka dia kafir. Tapi person tertentu/mu’ayyan yang mengucapkan itu tidak dihukumi kafir sampai tegak kepadanya hujjah risaliyah, yang barangsiapa meninggalkannya dikafirkan…” [Minhajut-Ta’sis wat Taqdis fi Kasyf Syubuhat Daud bin Jirjis (hal 77)]

Ketiga; Mereka menerangkan bahwa orang yang abstain dari mengkafirkan orang yang melakukan kesyirikan besar yang jelas disebabkan karena jahil dan menilainya sebagai muslim, bahwa yang demikian ini berasal dari pondasi akidahnya yang meyakini bahwa kesyirikan tidak membatalkan pokok keislaman. Dan mereka menerangkan bahwa anggapan seperti ini berasal dari pendapat kelompok Murji’ah yang ekstrem atau ghuluw yang membela pendapat Jahm bin Shafwan, dan bahwasanya pendapatnya merupakan pendapat yang paling rusak seputar iman.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata;

ومن هنا يظهر خطأ قول جهم بن صفوان ومن اتبعه، حيث ظنوا أن الإيمان مجرد تصديق القلب وعلمه، لم يجعلوا أعمال القلب من الإيمان. وظنوا أنه قد يكون الإنسان مؤمنا كامل الإيمان بقلبه، وهو مع هذا يسب الله ورسوله، ويعادي الله ورسوله، ويعادي أولياء الله ويوالي أعداء الله، ويقتل الأنبياء، ويهدم المساجد، ويهين المصاحف، ويكرم الكفار غاية الكرامة، ويهين المؤمنين غاية الإهانة. قالوا: “وهذه كلها معاص لا تنافي الإيمان الذي في قلبه، بل بفعل هذا وهو في الباطن عند الله مؤمن” إلى أن قال: وهذا القول مع أنه أفسد قول قيل في الإيمان، فقد ذهب إليه كثير من أهل الكلام المرجئة.”

[Dari sini tampak kesalahan pendapat Jahm bin Shafwan dan pengikutnya. Dimana mereka menyangka bahwa keimanan hanya sekedar pembenaran hati dan mengetahuinya. Mereka tidak menjadikan amalan hati termasuk keimanan. Dan mereka menyangka bahwa bisa saja seseorang itu beriman dengan keimanan yang sempurna dengan hatinya, namun bersamaan dengan itu dia mencaci Allah dan rasul-Nya, memusuhi Allah dan rasul-Nya, memusuhi wali-wali Allah dan berloyal kepada musuh-musuh Allah, membunuh para nabi, menghancurkan masjid-masjid, menghinakan mushaf-mushaf Al Qur’an, memuliakan orang-orang kafir dengan pemuliaan yang tinggi dan menghinakan orang-orang yang beriman dengan serendah-rendahnya. Mereka berkata: Semua ini adalah maksiat tidak bertentangan dengan keimanan yang ada di dalam hati. Bahkan seseorang melakukan ini sedangkan di dalam hatinya disisi Allah dia beriman….-sampai pada perkataannya-…; Dan pendapat ini, meskipun merupakan pendapat paling jelek yang pernah diutarakan tentang keimanan, banyak dari ulama kalam dari kelompok Murji’ah berpegang dengannya] [Majmu’ Fatawa (7/188,189)]

Keempat: Mereka menerangkan bahwa membatasi pokok iman dan pembatalnya dari kekafiran-kekafiran hanya dalam perkara-perkara ilmiyah saja adalah; pendapat Al Jahm bin Shafwan dan para pembelanya dari orang-orang Murj’ah Ahli Kalam.

Telah berlalu pada ucapan Syaikhul Islam saat beliau menghikayatkan pendapat Murji’ah Ahli Kalam; “Dari sini tampak kesalahan pendapat Jahm bin Shafwan dan pengikutnya. Dimana mereka menyangka bahwa keimanan hanya sekedar pembenaran hati dan mengetahuinya. Mereka tidak menjadikan amalan hati termasuk keimanan.”

Kelima: Mereka menyebutkan bahwa sikap abstain dari mengkafirkan orang yang melakukan kesyirikan yang besar dan menilainya sebagai muslim disebabkan karena syubhat bahwa hujjah belum tegak atasnya adalah kejahilan.

Samahah Al Mufti Abdullah bin Abdul Latif dan saudaranya Ibrahim dan Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahumullah berkata pada fatwa mereka bersama; “Adapun ucapannya “kami katakan bahwa ucapan tersebut adalah kekufuran, dan kami tidak menghukumi kafir orang yang mengucapkannya” penerapan kaidah ini secara mutlak adalah kejahilan yang murni…” [Durarus Sanniyyah (10/436)]

Dan mereka berkata: “Maka ini merupakan pendalilan orang bodoh terhadap teks-teks Al Kitab dan As-Sunnah. Dia tidak tahu, bahkan tidak tahu kalau dirinya tidak tahu…”

Dan Samahah Al Mufti Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Berikut ini redaksi pertanyaannya;

“Sebagian orang sekarang menyebutkan bahwa barangsiapa mengucapkan ucapan kufur atau mengerjakan perbuatan kufur dia tidak dikafirkan sampai hujjah ditegakkan atasnya. Dan mereka memasukkan para penyembah kuburan dalam kaidah ini.”

Beliau menjawab; Ini diantara kejahilan mereka, ini diantara kejahilan mereka. Para penyembah kuburan kafir, Yahudi kafir, Kristen kafir. Tapi saat akan dibunuh dia dimintai taubat. Apabila dia bertaubat (dia bebas), kalau tidak dibunuh.” [Majmu’ Fatawa (2/133)]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata; “Penyebutan orang ini yang bernazar untuk kuburan dan para wali dan menyeru mereka, penyebutan terhadapnya sebagai “muslim” adalah kebodohan dari yang mengucapkannya. Pada hakikatnya orang ini bukan muslim, karena dia musyrik…” [Fatawa Nur ‘Alad-Darb (16/21)]

Keenam; Mereka menyebutkan bahwa keyakinan seperti ini adalah pengkaburan dan fitnah terhadap tauhid.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata; “Kemudian datang orang-orang yang mengelabui manusia dan memfitnah mereka dari tauhid (yang benar) dengan menyebutkan kutipan-kutipan dari ahli ilmu, (dia) menambah dan menguranginya, yang hasilnya adalah berdusta atas nama mereka. Kerena kutipan-kutipan itu berkenaan dengan orang-orang yang ada pada mereka keislaman dan agama, namun ada pada mereka ucapan-ucapan yang menjadikan sebagian ulama mengkafirkan mereka, dan sebagian lainnya mengambil sikap abstain dari mengkafirkan mereka sampai hujjah tegak atas mereka. Sebagian ulama itu tidak menggolongkan mereka ke dalam golongan musyrikin, melainkan ke dalam orang-orang fasik, sebagaimana yang akan kamu lihat pada ucapan Al ‘Allamah Ibnul Qayyim insyaallah Ta’aala.” [Durarus Sanniyyah (11/467)]

Ketujuh; Mereka menyebutkan bahwa sikap abstain dari mengkafirkan musyrik dengan alasan belum tegak hujjah atasnya adalah kekufuran. Dan orang yang mengambil sikap abstain itu memiliki syubhat yang menghalanginya dari mengkafirkan person orang musyrik. Ini bisa kita lihat pada fatwa Lajnah Da’imah (no. 11043); “Dari sini diketahui bahwasanya tidak boleh bagi sekelompok muwahhidin yang meyakini kafirnya penyembah kubur untuk mengkafirkan saudara-saudara mereka para muwahhidin yang mengambil sikap abstain dari mengkafirkan mereka sampai ditegakkan kepada mereka (penyembah kuburan) hujjah. Karena abstainnya mereka dari mengkafirkan penyembah kubur adalah karena adanya syubhat pada mereka, yaitu keyakinan mereka bahwa harus ada penegakan hujjah kepada para penyembah kubur sebelum mengkafirkan mereka. Lain halnya dengan orang-orang yang tidak ada syubhat akan kafirnya mereka, seperti orang Yahudi dan Kristen dan Komunis dan orang-orang seperti mereka. Orang-orang ini tidak ada syubhat akan kafirnya mereka dan kafirnya orang yang tidak mengkafirkan mereka…” [Fatawa Lajnah Da’imah (2/96)]

Kedelapan; Mereka menyebutkan bahwa orang yang bersikap abstain dari mengkafirkan person orang musyrik yang jahil adalah sesat, telah durhaka kepada Allah dan rasul-Nya dan keluar dari sabilul mu’minin.

Asy-Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Maka semua ulama telah mengkafirkan mereka dan tidak memberi udzur dengan sebab kebodohan, (tidak) seperti yang dikatakan sebagian orang-orang yang sesat “Sesungguhnya mereka diudzur karena mereka bodoh.” [Durarus Sanniyyah (10/405)]

Beliau katakan begitu setelah sebelumnya menjabarkan apa yang dilakukan oleh para penyembah kuburan berupa kesyirikan di sisi monumen-monumen mereka dan kuburan-kuburan yang mereka agungkan dengan berdoa, bernazar dan menyembelih serta minta keselamatan kepada selain Allah Ta’aala.

Dan beliau juga berkata; “Barangsiapa mengkhususkan ancaman itu hanya untuk orang yang membangkang atau mu’anid, lalu mengeluarkan orang jahil, dan mentakwil, dan muqallid (taklid) berarti dia telah durhaka kepada Allah dan rasul-Nya dan keluar dari sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman). Padahal pada ulama telah mengkhususkan bab hukum orang murtad bagi orang yang melakukan kesyirikan dan mereka tidak mengkhususkannya hanya untuk orang yang membangkang atau mu’anid.” [Durarus Sanniyyah (12/84,85)]

Kesembilan; Mereka menyebutkan bahwa tidak mengkafirkan musyrik adalah dalil akan butanya bashirah. Ini kita dapati pada fatwa bersama dari para imam; Asy-Syaikh Abdullah dan Asy-Syaikh Ibrahim, keduanya adalah anak dari Asy-Syaikh Abdullatif bin Abdurrahman, dan Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahumullah Ta’aala;

“Maka tidak diragukan akan kekafiran mereka dan kesesatan mereka kecuali bagi orang yang dikuasai hawa nafsunya dan Allah butakan mata hatinya (bashirah)…” [Durarus Sanniyyah (10/435)]

Kesepuluh; Mereka menyebutkan bahwa orang yang abstain dari mengkafirkan musyrik yang jahil tidak mengerti hakikat Islam. Ini kita dapati pada fatwa bersama para imam; Asy-Syaikh Abdullah dan Asy-Syaikh Ibrahim, keduanya anak dari Asy-Syaikh Abdullatif bin Abdurrahman, dan Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahumullah, dimana mereka berkata; “Orang ini tidak mengerti hakikat Islam dan tidak mencium semerbaknya meskipun dia menyandarkan diri kepadanya dan menyangka bahwa dia termasuk dari ahli Islam.” [Durarus Sanniyyah (10/435)]

Maka perkataan mereka “belum mengerti hakikat Islam” adalah sebagai penjelas atas ucapan ahli ilmu; bahwa dia bodoh. Maka kebodohannya akan hakikat Islam menjadikan dia menilai muslim orang yang mengerjakan pembatalnya.

Dan mereka mengatakan; “Dan adapun Al Jahmiyah dan para penyembah kuburan, mereka tidak dibela dengan teks-teks ini bahwa mereka tidak dikafirkan kecuali oleh orang yang tidak mengenal hakikat Islam dan ajaran yang Allah utus para nabi-Nya membawanya…” [Durarus Sanniyyah (10/435)]

Kesebelas; Mereka mengatakan bahwa orang yang abstain dari mengkafirkan orang musyrik yang jahil adalah orang yang agamanya telah tercemar.

Asy-Syaikh Ishaq bin Abdurrahman rahimahullah berkata, saat menjelaskan manhaj Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah; “Bahwa ini merupakan asli ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, -sampai kepada ucapannya-: “Dia dimintai bertaubat, apabila dia bertaubat (maka dilepas), dan jika tidak mau maka dibunuh dengan dipenggal kepalanya.” Beliau tidak menyebutkan; “Diberitahu” dan tidak pula mengatakan “Tidak kafir sampai diberitahu” seperti yang disangkakan oleh orang yang tidak memiliki ilmu dan orang yang tercemar pada pokok agamanya.” [Hukmu Takfir Al Mu’ayyan (hal 19)]

Beliau mengatakan ini saat menjabarkan alinea-alinea bantahan Asy-Syaikh Abdullatif bin Abdurrahman terhadap syubhat-syubhat Ibn Jirjis.


بسم الله الرحمن الرحيم

Sebagian ucapan ahli ilmu yang menerangkan tentang pokok ajaran Islam. Dan teks dari mereka bahwa orang yang belum mendatangkannya bukan orang Islam

Telah terdapat pada ajaran yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menunjukan bahwa; kufur kepada thaghut dan peribadahan kepada Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya merupakan syarat sahnya Islam, sebagaimana yang Allah firmankan;

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Maka barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Qs. Al Baqarah: 256)

Dan seperti yang terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam;

من وحد الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله

“Barangsiapa mentauhidkan Allah dan kufur kepada apa-apa yang diibadahi selain Allah, harta dan darahnya terlindungi. Dan perhitungannya disisi Allah.” Dan dalam riwayat yang lain; “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah.” [HR Muslim dalam kitab Al Iman (no 139,140)]

Dan yang menjadi dalil bahwa menunggalkan Allah dalam peribadahan dan menjauhi thaghut adalah syarat sahnya tauhid dan Islam adalah penyebutan “man syarthiyyah” (yang artinya barangsiapa, yang menunjukkan pensyaratan -penerj) pada firman-Nya “Barangsiapa kufur kepada thaghut” dan juga pada sabda Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam “Barangsiapa mentauhidkan Allah dan kufur kepada apa-apa yang diibadahi selain Allah, darah dan hartanya terlindungi. Dan perhitungannya disisi Allah.”

Penulis kitab Adhwa’ul Bayan berkata; “(Allah) mengisyaratkan bahwa seseorang tidak dinilai beriman sampai dia kufur kepada thaghut pada firman-Nya “Barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kuat”. Dan dipahami dari pensyaratan bahwa barangsiapa belum kufur kepada thaghut, belum dinilai berpegang dengan buhul tali yang sangat kuat. Dan demikian hakikatnya. Dan barangsiapa belum berpegang dengan buhul tali yang amat kuat maka dia berpisah dari keimanan. Karena keimanan kepada Allah itulah al urwatul wutsqa (buhul tali yang sangat kuat). Dan keimanan kepada thaghut mustahil berkumpul dengan keimanan kepada Allah. Karena kufur kepada thaghut merupakan syarat keimanan kepada Allah dan rukun darinya, sebagaimana hal ini terang pada firman-Nya; “Barangsiapa kufur kepada thaghut…” [Adhwa’ul Bayan (1/244)]

Beliau juga berkata; Maka kufur kepada thaghut yang Allah tegaskan bahwa Dia telah perintahkan kepadanya pada ayat ini merupakan syarat dalam keimanan sebagaimana Allah Ta’aala terangkan pada firman-Nya;

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ

“Maka barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang sangat kuat.” (Qs. Al Baqarah: 256) sehingga dapat dipahami darinya bahwa orang yang belum kufur kepada thaghut, belum dinilai telah berpegang dengan urwatul wutsqa. Dan barangsiapa belum berpengang dengannya dia terseret bersama dengan orang-orang yang binasa.” [Adhwa’ul Bayan (7/50)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata; “Dan peribadahan kepada Allah semata merupakan pokok agama. Dialah tauhid yang Allah utus para rasul dengan membawanya, dan Allah karenanya Allah turunkan kitab-kitab Nya. Allah Ta’aala berfirman;

وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَٰنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

“Dan tanyakanlah (olehmu wahai Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau, “Pernahkah Kami menjadikan selain Allah Yang Maha Pengasih sebagai ilah-ilah yang disembah?” (Qs. Zukhruf; 45)

Dan Allah berfirman;

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rasul (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (Qs. An-Nahl; 36)

Dan Allah berfirman;

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Qs. Al Anbiya’; 25) [Majmu Fatawa (3/397)]

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata;

وأيضا فإن التوحيد أصل الإيمان، وهو الكلام الفارق بين أهل الجنة وأهل النار، وهو ثمن الجنة، ولا يصح إسلام أحد إلا به

“Dan juga sesungguhnya tauhid adalah pokok keimanan, dialah ucapan pembeda antara penghuni surga dan penghuni neraka, dialah harga (yang pantas) untuk mendiami surga, dimana tidak sah iman seseorang  dengan meninggalkannya.” [Majmu Fatawa (24/235)]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata; “Islam adalah mentauhidkan Allah dan beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu baginya, dan beriman kepada rasul-Nya serta mengikuti ajaran yang ia bawa. Dan kapan seorang hamba belum mendatangkan ini maka dia bukan muslim. Kalau bukan kafir yang membangkang maka dia kafir yang jahil. Paling jeleknya kelompok ini kafir jahil yang bukan pembangkang. Tapi kondisi tidak adanya pembangkangan mereka bukan berarti mereka tidak kafir. Karena orang kafir adalah orang yang mengingkari pentauhidan kepada Allah Ta’aala, dan mendustakan rasul-rasul Nya apakah karena pembangkangan atau karena kebodohan atau karena ikut-ikutan kepada para pembangkang…” [Thariq Al Hijratain (hal 608)]

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata; “Dan ketahuilah bahwa tauhid dalam perkara ibadah adalah tujuan Allah menciptakan makhluk-Nya, menurunkan kitab-kitab Nya dan mengutus rasul-rasul Nya. Dia merupakan pokok agama yang tiada tercapai bagi seorang pun keislaman kecuali dengan mendatangkannya. Dan Allah tidak mengampuni orang-orang yang meninggalkannya dan menyekutukan Dia dengan selain-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’aala;

إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya bagi siapa yang Allah kehendaki.” (Qs. An-Nisaa; 48, 116) [Durarus Sanniyah (1/129)]

Beliau rahimahullah juga berkata; “Dan sekedar mendatangkan lafal syahadat tanpa memahami maknanya dan mengamalkan kandungannya tidak menjadikan seorang mukallaf muslim. Melainkan hal itu menjadi hujjah atas anak Adam, berbeda dengan orang yang menganggap bahwa keimanan adalah sekedar pengakuan seperti anggapan kelompok Al Karramiyah, atau keimanan sekedar pembenaran seperti anggapan kelompok Al Jahmiyah…” [Durarus Sanniyah (1/522)]

Dan Asy-Syaikh Abdullatif bin Abdurrahman rahimahumallah menerangkan pokok terpenting dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah; “Beliau rahimahullah telah menegaskan bahwa sekedar mendatangkan lafal syahadat dengan diikuti melanggar kandungannya berupa pokok-pokok yang tertuang, dan diikuti dengan kesyirikan yang besar dalam peribadahan, tidak menjadikan seorang mukallaf muslim. Karena maksud dari dua kalimat syahadat adalah hakikat amalan perbuatan yang mana keimanan tidak terpenuhi dengan meninggalkannya…” [Minhaj Ta’sis wat Taqdis (hal 6)]

Dan beliau rahimahullah juga berkata; “Dan semua yang memahami agama Allah mengetahui dengan ilmu yang darurat bahwa maksud dari dua kalimat syahadat adalah apa yang ditunjuki olehnya berupa hakikat dan maknanya, serta apa yang dikandung olehnya berupa ilmu dan amal. Dan adapun sekedar melafalkannya tanpa memahami maknanya dan meyakini hakikat keduanya ini tidak berguna bagi seorang hamba sama sekali dan tidak membersihkannya dari macam-macam kesyirikan dan cabang-cabangnya. Allah Ta’aala berfirman;

فاعلم أنه لا إله إلا الله

“Maka ketahuilah bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah.” (Qs. Muhammad; 19)

Dan Dia berfirman;

إلا من شهد بالحق وهم يعلمون

“Kecuali orang-orang yang mempersaksikan kebenaran dan mereka mengetahui.” (Qs. Az-Zukhruf; 86)

Maka beriman kepada makna dua kalimat syahadat dan tunduk kepadanya tiada terbayangkan dan tidak akan tercapai kecuali setelah memahami karena hukum atas sesuatu adalah hasil dari penggambaran yang utuh. Maka apabila seseorang belum mengetahui dan belum menangkap gambarannya maka dia seperti orang yang mengigau dan tidur dan seterusnya dari orang-orang yang tidak memahami apa yang dia ucapkan. Bahkan apabila seseorang memahaminya tapi tidak jujur dia tidak dinilai telah bersaksi dengannya, bahkan dia berbohong kendati dia mendatangkan gambaran keduanya (dua kalimat syahadat –penerj).” [Mishbahuz Zhalam (hal 161)]

Dan beliau rahimahullah berkata menerangkan maksud ucapan Al Imam Al Mujaddid saat berdalil dengan hadits: “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha Illallah dan dia kufur dengan apa-apa yang diibadahi selain Allah, harta dan darahnya terlindungi, dan perhitungannya ada disisi Allah.” HR Muslim dalam Kitab Al Iman (no 139, 400);

“Beliau berdalil dengan jumlah ma’thufah tsaniyah (dan dia kufur dengan apa-apa yang diibadahi selain Allah) bahwa kufur kepada thaghut dan apa-apa yang diibadahi selain Allah merupakan syarat dari darah dan hartanya terlindungi dan tidak ada perlindungan dengan sekedar ucapan dan mengetahui, bahkan tidak ada perlindungan dengan sekedar tidak beribadah kepada selain Allah sampai dia kufur kepada apa-apa yang diibadahi selain Allah. Dan kufur kepadanya adalah membencinya, meninggalkannya, menolaknya dan berlepas diri darinya dan mengenal kebatilannya. Ini semua di dalam Islam adalah keharusan. Allah Ta’aala berfirman; “Barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah…” (Qs. Al Baqarah; 256). Pada ayat ini Allah menggabungkan antara keimanan kepada Allah dan kufur kepada thaghut. Dan yang serupa dengan ini ada banyak di dalam Al Qur’an, seperti firman Allah Ta’aala tentang Ibrahim;

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kamu ibadahi, kecuali yang telah menciptakanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (Qs. Zukhruf: 26-27)

Ayat ini dan yang sebelumnya menunjukkan bahwa kufur kepada thaghut merupakan syarat yang keislaman tidak dicapai dengan meninggalkannya. Begitu pula hadits ini, dia seperti ayat-ayat tersebut. Karena keimanan kepada Allah adalah syahadat dengan “Laa ilaaha Illallah”, tapi kendati begitu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyandingkan dengannya kufur kepada thaghut dalam mencapai apa yang disebut dengan “berpegang dengan tali yang sangat kuat.” [Mishbahuz Zhalam (hal 266)]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata di dalam tafsir firman Allah Ta’aala;

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kamu ibadahi, kecuali yang telah menciptakanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. (Qs. Zukhruf: 26-27)

: “Kecuali (Allah) yang telah menciptakan aku” dia (Ibrahim disini) menggabungkan antara nafi dan itsbat (meniadakan ibadah kepada selain Allah dan menetapkan ibadah hanya untuk Allah –penerj). Nafi ada pada perkataannya; (Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah). Sedangkan itsbat ada pada perkataannya; (kecuali (Allah) yang menciptakanku). Maka hal ini menunjukkan bahwa tauhid tidak terpenuhi kecuali dengan kufur (menolak) apa-apa (yang diibadahi –penerj) selain Allah dan beriman kepada Allah semata. (Maka barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah berarti dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat)(Qs. Al Baqarah; 286). Sedangkan mereka beribadah kepada Allah dan beribadah kepada selainnya juga. Dan Ibrahim disini berkata (kecuali (Allah) yang menciptakanku). Dalam pengecualian hukum asalnya bersambung kecuali ada dalil yang menyelisihinya, tapi kendati begitu dia berlepas diri dari mereka.

Dan terdapat pada sebagian negeri Islam orang-orang yang shalat, berzakat, puasa dan haji tapi mereka juga pergi ke kuburan sujud dan ruku’ kepadanya. Mereka orang-orang kafir bukan ahli tauhid dan tidak diterima dari mereka ibadah apa pun. Dan ini diantara yang paling berbahaya atas masyarakat Islam. Karena melakukan kekufuran dengan (peribadatan –penerj) kepada selain Allah bagi mereka bukan apa-apa. Ini adalah kejahilan dari mereka dan kelalaian dari ulamanya. Karena orang awam hanya mengikuti orang alimnya. Tapi sebagian orang –kita berlindung kepada Allah- adalah ulama negara bukan ulama agama. [Majmu’ Fatawa (9/139)]

Tahqiq ucapan penulis;

“Seseorang Tidak diberi Udzur dengan Sebab Kejahilan”

Ucapan penulis; “maka seseorang tidak diberi udzur dengan sebab kejahilan” merupakan redaksi langsung bahwa tidak ada udzur karena kejahilan dalam persoalan pokok agama, dimana pelaku kesyirikan disebut musyrik, kafir meski jahil.

Adapun ucapan beliau yang bias dan samar yang terdapat pada sumber yang lain hendaknya dipahami dalam bingkai keterangannya yang tegas disini. Karena membawa ucapan alim kepada makna yang searah lebih beradab daripada mempertentangkannya.[1]

Diantara perkataan beliau yang samar dan dipertentangkan dengan ucapannya disini adalah ucapan beliau yang terdapat pada akhir risalah yang beliau tulis kepada penduduk Qashim;

“Kalau kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kuburan Abdul Qadir disebabkan kejahilan mereka dan tidak ada yang memperingatkan mereka, bagaimana kami bisa mengkafirkan orang yang tidak hijrah kepada kami dan tidak ikut mengkafirkan?!”[2]

Begitu juga ucapannya saat membela diri dari tuduhan mengkafirkan Ibnu Farid dan Ibnu Arabi,

“Kemudian tidak luput dari kalian bahwasanya telah sampai kepadaku, bahwa risalah Sulaiman bin Suhaim telah sampai kepada kalian, dan surat ini diterima dan dibenarkan oleh sebagian orang yang mengaku berilmu disisi kalian. Padahal Allah Maha Mengetahui bahwa orang ini membuat-buat kedustaan atas namaku  dari perkara-perkara yang tidak pernah aku katakan dan mayoritasnya tidak pernah terlintas dibenakku. Diantaranya: Bahwa aku menghapus kitab-kitab mazhab yang empat, dan bahwa aku mengatakan,,,,dan bahwa aku mengatakan,,,dan bahwa aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, dan bahwa aku mengkafirkan Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi, dan bahwa aku,,,dan bahwa aku,,,. Jawabanku tentang tuduhan-tuduhan ini, aku katakan: Maha Suci Engkau (Ya Allah) sesungguhnya ini merupakan kedustaan yang besar!”

Dari dua teks diatas mudah saja bagi seseorang untuk menarik kesimpulan -tanpa harus letih menuntut ilmu- bahwa Al Imam Al Mujaddid rahimahullah tidak mengkafirkan penyembah kubur yang jahil dengan ta’yin (personnya), bahkan orang yang berat kekufurannya sekalipun seperti Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi.[3]

Tapi apabila kita mau menelaah lebih jauh lagi sesungguhnya Al Imam Al Mujaddid rahimahullah memiliki ucapan lain yang bersebrangan dengan dua kutipan diatas. Saya bawakan dua diantaranya;

Pertama, beliau berkata dalam risalah ke delapan dari Ar-Rasail Asy-Syakhshiyyah;

“Maka ketika mereka melihatku mengajak orang-orang kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi mereka Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahwa tidak ada yang diibadahi kecuali Allah, dan bahwa barangsiapa beribadah kepada Abdul Qadir maka dia kafir dan Abdul Qadir berlepas diri darinya dan begitu pula orang-orang yang menyeru orang-orang shalih atau para wali atau memanggil mereka atau sujud kepada mereka atau bernazar untuk mereka atau memberikan kepada mereka salah satu dari macam-macam ibadah yang merupakan hak Allah semata atas segenap hamba-Nya,,,dstnya.”

Perhatikanlah ucapannya disini bagaimana beliau menetapkan bahwa orang yang beribadah kepada Abdul Qadir kafir, dimana pada kutipan sebelumnya beliau justru menolak mengkafirkannya! “Dan jika kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kuburan Abdul Qadir dikarenakan kejahilan mereka dan tidak ada yang memberitahu mereka.”

Ini berarti disatu tempat beliau mengkafirkan dan di tempat lain beliau tidak mengkafirkan. Dan menguatkan salah satu ucapan tersebut tanpa dalil adalah pemerkosaan terhadap teks-teks dan bentuk pemaksaan kehendak.

Kedua, tentang perkataan beliau tentang kafirnya Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi. Beliau berkata dalam risalah ke 28 dari kitab Ar-Rasaa’il Asy-Syakhshiyyah;

“Dan tuduhanmu bahwa kami mengkafirkan muslimin, “bagaimana kamu lakukan itu”, “bagaimana kamu lakukan ini”, sesungguhnya kami tidak mengkafirkan muslimin, tidak ada yang kami kafirkan kecuali musyrikin. Dan begitu pula diantara orang yang paling sesat para sufi di Ma’kal dan selainnya seperti anak Musa bin Jau’an dan Salamah bin Maani’ dan selain mereka berdua. Mereka mengikuti madzhab Ibnu Arabi dan Ibnul Faridh. Padahal ulama telah menyebutkan bahwa Ibnu Arabi diantara imamnya madzhab Al Ittihadiyah dan mereka lebih kafir dari Yahudi dan Kristen. Maka siapa saja yang tidak masuk kepada agama Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berlepas diri dari agama Al Ittihadiyah, maka ia kafir, berlepas diri dari Islam dan tidak sah shalat dibelakangnya dan tidak diterima kesaksiannya…”

Lihatlah bagaimana disatu tempat beliau membela diri dari tuduhan mengkafirkan Ibnul Faridh dan Ibnu Arabi dan ditempat ini justru mengkafirkan mereka dan mengkafirkan orang yang tidak berlepas diri dari agama Al Ittihadiyah!

Pertanyaannya apakah antara ucapan-ucapan ini kontradiktif atau yang satunya muhkam dan lainnya mutasyabih?

Sudah dimaklumi oleh penuntut ilmu bahwa menjadikan ucapan alim bertemu semuanya dan tidak mempertentangkannya lebih baik dan lebih beradab daripada mempertentangkannya. Berikut ini adalah keterangan pada ulama dalam mendudukkan ucapan Al Imam Al Mujaddid diatas.

Pertama, maksud ucapan beliau “…kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kubur Abdul Qadir…” adalah tidak terang-terangan mengkafirkan.[4] Dan tidak terang-terangan mengkafirkan bukan berarti tidak mengkafirkan dengan hati. Karena beliau meyakini kafirnya para penyembah berhala, namun beliau ingin menyampaikan dakwahnya secara bertahap.Karena di awal dakwahnya orang-orang banyak mengingkarinya. Sehingga tidak bijak terang-terangan mengkafirkan dalam kondisi ini.

Dalil atau bukti bahwa beliau berdakwah dengan bertahap adalah surat yang beliau kirim kepada Abdullah bin Isa dan anaknya Abdul Wahhab. Beliau berkata;

بل والله الذي لا إله إلا هو لو يعرف الناس الأمر على وجهه لأفتيت بحل دم ابن سحيم وأمثاله ووجوب قتله، كما أجمع على ذلك أهل العلم كلهم

“Bahkan demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, kalau manusia mengetahui perkara ini sebagaimana seharusnya, tentu aku sudah fatwakan halalnya darah Ibnu Suhaim dan orang-orang semisalnya dan wajibnya membunuh dia, sebagaimana ulama seluruhnya sepakat akan hal ini.”[5]

Tapi beliau tidak memfatwakan hal itu demi maslahat dakwah.

Artinya jika masyarakat ketika itu hidup diatas ajaran kesyirikan dan kekufuran dan semisalnya, bukan jalan yang bijak bagi seorang da’i untuk langsung mengkafirkan mereka terang-terangan. Tapi cukup ia meyakini murtadnya mereka, adapun terang-terangan seorang da’i harus menempuhnya secara bertahap sampai manusia terbiasa dengan dakwah ini.

Kedua, beliau tidak mengkafirkan mereka dalam rangka mudaarah (mengalah dalam urusan dunia) demi kemaslahatan dakwah.

Pada risalah ke 34 dari Ar-Rasa’il Asy-Syakhshiyyah beliau mengirim surat kepada Sulaiman bin Suhaim, ia berkata:

وقبل الجواب نذكر لك أنك أنت وأباك مصرحون بالكفر والشرك والنفاق، ولكن صائر لكم عند جماعة في معكال قصاصيب وأشباههم يعتقدون أنكم علماء، ونداريكم ودنا أن الله يهديكم ويهديهم.

“Dan sebelum menjawab, kami sebut dihadapanmu bahwa kamu dan bapakmu terang-terangan melakukan kekufuran dan kesyirikan dan kemunafikan. Akan tetapi kamu dimata orang-orang di Ma’kal Qashashib dan orang-orang semisal mereka, kamu diyakini sebagai ulama. Dan kami bermudaarah dengan kalian, semoga Allah menunjuki kalian dan mereka.”

Al Imam Al Mujaddid rahimahullah memandang ia perlu ber mudaarah (mengalah demi maslahat dakwah) meskipun lawannya telah terjatuh kepada kekufuran, kesyirikan dan nifak. Tapi ketika tampak olehnya bahwa lawannya membangkang, beliau pun menjelaskan dengan lisannya.

Ketiga, bahwa ucapan itu beliau ucapkan di awal dakwah apakah karena waktu itu dakwah masih lemah seperti yang saya sebutkan pada point pertama, atau karena perkara ini belum begitu jelas bagi beliau sehingga menyangka perkara ini ada khilaf. Karena beliau sendiri berproses menuju fase-fase kematangan tauhid. Beliau berkata pada risalah ke 28 dari Ar-Rasail Asy-Syakhshiyyah:

“…dan aku ceritakan tentang diriku, demi Allah Dzat Yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, aku telah menuntut ilmu dan orang yang mengenalku menyangka bahwa aku memiliki ilmu, padahal aku waktu itu tidak mengenal makna Laa ilaaha Illallah dan aku tidak mengenal agama Islam sebelum anugrah yang Allah curahkan padaku ini. Begitu pula guru-guruku, tidak seorang pun dari mereka yang mengetahui ini. Dan barangsiapa menyangka bahwa dari ulama alam bahwa ia mengetahui makna Laa ilaaha Illallah atau makna Islam sebelum ini atau menyangka dari guru-guruku bahwa ada seorang dari mereka yang mengetahui ini, maka ia telah berdusta dan berbuat kebohongan dan menipu manusia dan memuji dirinya dengan yang tidak pantas.”

Artinya ucapan beliau “…kami tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang berada diatas kuburan Abdul Qadir disebabkan kejahilan mereka dan tidak ada yang memberitahu mereka…”selain kemungkinannya karena dakwah saat itu lemah[6], atau perkataan ini dia ucapkan saat belum mencapai kematangannya, hal ini berbeda dengan yang terdapat pada kitab beliau Mufidul Mustafid fi Kufri Tarikit Tauhid dimana beliau dengan tegas menjelaskan kafirnya penyembah kuburan meski jahil dengan disertai dalil-dalil.

Keempat, para ulama dari garis keturunan penulis sendiri telah menerangkan maksud ucapan kakek mereka sebagaimana pada point ketiga bahwa “tidak mengkafirkan” artinya tidak langsung memerangi sampai diberitahu dulu.

Berkata Syaikh Abdullah dan Ibrahim bin Abdullahif dan Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahumullah;

“Adapun nukilan dari Syaikh Muhammad bahwa beliau tidak mengkafirkan orang-orang yang berada di sekitar kubah Al Kawwaz dan semisalnya. Dan bahwa beliau tidak mengkafirkannya sampai mendakwahinya dan hingga hujjah sampai kepadanya. Kami katakan; Benar! Karena sesungguhnya Syaikh tidak mengkafirkan manusia begitu saja kecuali setelah tegaknya hujjah dan didakwahi. Karena mereka pada saat itu berada pada masa fatrah dan ketidaktahuan akan ajaran kenabian. Karena itu beliau bilang “karena kejahilan mereka dan tidak ada yang memberitahu.”…dstnya.”[7]

Dan ulama sepakat bahwa ahli fatrah di dunia kafir dan di akhirat diuji kembali. Maka tidak mengkafirkan, tidak memerangi. Wallahu a’lam.

Kelima, diantara ulama ada yang dengan tegas mengatakan bahwa ucapan penulis “kami tidak mengkafirkan…” telah mengalami pengurangan atau penyelewengan.

Asy-Syaikh Al ‘Allamah Hamid Al Faqi rahimahullah pada catatan kaki terhadap kitab Mishbah Adz-Dzalam (hal 28) mengatakan;

“Pada ucapan ini dipastikan terdapat pengurangan atau penyelewengan. Karena kesimpulannya berakhir pada kekeliruan yang fatal bertentangan dengan teks-teks Al Kitab dan As-Sunnah. Apabila beliau tidak mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala lalu siapa yang kafir? Tidak diragukan bahwa ini bukan dakwah Islam, bukan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang terkenal di dalam Kitab At-Tauhid, Kasyf Syubuhat, Tsalatsatul Ushul dan kitab-kitab lainnya yang menerangkan bahwa tidak sah islam seseorang sampai dia mengetahui apa itu thaghut, mengkafirkannya, memusuhinya dan memusuhi orang-orang yang mengibadahinya…” dstnya.[8]

Wallahua’lam.


[1] Kami telah menulis persoalan ini dalam buku sendiri dengan judul “Hakikat Kesyirikan dan Persoalan Udzur bil Jahl”. Semoga Allah mudahkan merampungkannya.

[2] Durarus Sanniyyah (1/104).

[3] Sungguh kami telah dapati da’i mengaku salafi yang mengatakan, “Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak mengkafirkan Ibnu Arabi!” Ini diantara keajaiban abad ini.

[4] Kelompok anti takfir mengira bahwa mengkafirkan berarti mengumbar kata-kata “kafir”. Dugaan mereka ini berasal dari jeleknya pemahaman dan buruk sangkaterhadap sesama muslim. Karena tidak ada keharusan mengkafirkan berarti terang-terangan melontarkan kata-kata “kafir”. Meyakini kafirnya pelaku syirik besar sekalipun jahil adalah konsekwensi sebagai muslim, adapun melontarkan kata-kata “kafir” adalah sikap dakwah yang keperluannya tergantung maslahat. Karena diketahui orang Kristen sekalipun akan marah apabila dituduh kafir. Maka bukan hikmah dalam dakwah mengumbar kata-kata kafir, meskipun kita meyakini dalam hati orang tersebut telah kafir kepada Allah Ta’aala.

[5] Risalah ke 49 dari Ar-Rasa’il Asy-Syakhshiyyah

[6]Sebagaimana penjelasan Al ‘Allamah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Karena beliau berkata, “Sepertinya itu di awal dakwah.” [sumber: http://www.tauhidfirst.net/pandangan-syaikh-ibnu-baz-atas-klaim-bahwa-syaikh-muhammad-bin-abdul-wahhab-tidak-mengkafirkan-penyembah-kubur/]

Adapun Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menegaskan, “Itu karena tidak ada yang memberi tahu mereka. Syaikh tidak mengatakan tidak kafir sama sekali, tapi karena tidak ada yang memberi tahu mereka. Tapi sekarang, keterangan telah tersebar dimana-mana…dstnya.”

[Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=MJ-q3xARNq4]

Anda lihat dimanakah orang-orang yang mengklaim sebagai dai-dai tauhid disisi keterangan ulama rabbani ini?! Dengan lancang mereka menggembar-gemborkan pelaku syirik besar kalau jahil tidak kafir! Dan menisbatkan pendapat ini kepada Al Imam Al Mujaddid! Bahkan mereka para pendusta yang jahat.

[7] Durarus Sanniyah (11/430)

[8] Sumber; http://www.al-afak.com/showthread.php?t=7811

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *