Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, semoga Allah merahmatinya berkata menjelaskan sifat istiwa’; “Firman Allah الرحمن على العرش استوى disebutkan pada tujuh tempat (dari Al Qur’an)” kemudian beliau menyebutkan ayat-ayatnya satu persatu.
Tidak mungkin menilai mazhab seseorang tanpa melihat langsung kepada tulisan dan penjelasannya. Begitu pula mazhab Ibnu Taimiyah tentang istiwa’. Apabila telah diketahui mazhabnya baru setelahnya ditimbang dengan ucapan dan keterangan salaf apakah selaras atau menyelisihi. Inilah cara penilaian yang benar, bukan menghukuminya melalui perkataan musuh-musuhnya secara tendensius seperti yang dilakukan oleh penulis buku Klaim Dusta Salafi Wahabi tentang Akidah Salaf yang menuduh Ibnu Taimiyah, semoga Allah merahmatinya sebagai musyabbihah bahkan mujassimah atas dasar ucapan orang lain, diantaranya perkataan Dr. Shuhaib Saqqar tentang mazhab Ibnu Taimiyah yang dinukil penulis.
Pada halaman 9 buku Klaim Dusta.. penulis berkata; “Tetapi memahami ucapan-ucapan Imam Ibnu Taimiyyah, Dr. Shuhaib Saqqar menyimpulkan madzhab itsbat sebagai berikut; “Methode (itsbat) ini terbangun di atas menetapkan lafazh-lafazh yang memberi faham mentasybihkan Allah dan membilangnya sebagai sifat Allah Ta’aala…sebagaimana yang masyhur dari madzhab Ibn Taimiyyah rahimahullah.”
Pertama metode seperti ini keliru, seperti yang telah dijelaskan. Kedua, penulis telah keliru dalam menerjemahkan ucapan Dr. Shuhaib disini. Wallahua’lam apakah kekeliruan ini disengaja atau berasal dari keawamannya akan beberapa istilah dalam persoalan ini. Karena sebenarnya ucapan “mentasybihkan Allah” tidak ada pada perkataan Dr. Shuhaib Saqqar. Melainkan yang ia katakan adalah;
مبنى هذا المسلك على إثبات الألفاظ الموهمة المتشابهة وعدها من صفات الله تعالى…
Yang menurut kami lebih tepat diartikan; “Pondasi metode ini berdiri di atas penetapan (itsbat) lafal-lafal yang kurang jelas dan samar dan menggolongkannya ke dalam sifat-sifat Allah Ta’aala.”
Perbedaan antara perkataan Dr. Shuhaib dengan terjemahan versi penulis sangat jauh sekali, bahkan terjemahan penulis berindikasi kuat menggiring orang awam untuk langsung menjudge Ibnu Taimiyah sebagai musyabbihah berdasarkan perkataan Dr. Shuhaib, padahal hakikat ucapannya disini tidak demikian.
Lantas dimanakah kita bisa mengetahui mazhab Ibnu Taimiyah dalam persoalan ini? Pada pendahuluan kitab Al Washitiyah yang ditulis Ibnu Taimiyah kepada seorang qadhi yang datang dari Washith yang bertanya tentang akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Ibnu Taimiyah berkata menjelaskan pondasi keyakinannya dalam persoalan sifat-sifat Allah Ta’aala;
“…dan termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat yang Ia berikan kepada diri-Nya di dalam kitab-Nya yang mulia dan dengan sifat-sifat yang diberikan oleh Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tanpa tahrif dan tanpa ta’thil dan tanpa takyif dan tanpa tamtsil.
Bahkan mereka beriman bahwa Allah “tidak serupa dengan sesuatu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”. Mereka tidak menafikan dari Allah satu pun sifat yang Dia berikan kepada diri-Nya, tidak mentahrif kalimat dari tempat-tempatnya, dan tidak melakukan ilhad pada nama-nama Allah dan ayat-ayat Nya, atau mentakyif dan mempermisalkan sifat-sifat Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Karena Dia subhanahu tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang menandingi-Nya, menyetarai-Nya. Dia tidak bisa dikiyaskan dengan makhluk-Nya subhanahu wa Ta’aala.”
Melalui uraian ini diketahui bahwa mazhab Ibnu Taimiyah dalam persoalan sifat, termasuk dalam hal ini sifat istiwa’ adalah sebagai berikut;
1- Beriman kepada sifat-sifat Allah adalah termasuk ke dalam keimanan kepada Allah
2- Sumber penetapan sifat-sifat Allah adalah ayat dan hadits yang shahih
3- Dalam mengimani sifat-sifat Allah Ahlussunnah wal Jama’ah menjauhi 4 perkata; tajrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.
4- Ahlussunnah wal Jama’ah menetapkan nas-nas sifat dengan makna lahirnya
Maka disimpulkan disini bahwa Ibnu Taimiyah menetapkan sifat istiwa’ karena Allah Ta’aala menetapkannya. Disamping itu ia mengartikan sifat ini sesuai makna lahirnya tanpa tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil sebagaimana perkataannya. Sedangkan menurut bahasa Arab istiwa’ artinya adalah; “ala”, “irtafa’a”, sha’ida” dan “istaqarra”, yang berarti; naik/menuju dan tinggal/berada. Karena itu dalam Fatawa Al Hamawiyah Al Kubra (219-221) ia (Ibnu Taimiyah) berkata;
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam penyampai amanat dari Allah, ia telah menyampaikan kepada ummatnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala di atas arsy, dan bahwa Dia di atas langit sebagaimana Allah telah jadikan keyakinan ini fitrah semua ummat, arab dan ajamnya, dimasa jahiliyah dan Islam, kecuali orang-orang yang fitrahnya telah diselewengkan oleh setan-setan.
Kemudian terdapat ucapan kaum salaf dalam hal ini yang jika dihimpun mencapai ratusan bahkan ribuan.
Dan tidak terdapat satu huruf pun dalam Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keterangan yang menyelisihi hal ini baik nas maupun dhahir.
Tidak pernah dinukil dari seorang pun dari pendahulu ummat ini (salaf) baik para shahabat maupun tabi’in dan para imam-imam agama yang menemui zaman tersebarnya hawa nafsu dan perselisihan.
Kemudian tidak ada seorang pun dari mereka mengatakan bahwa Allah tidak di langit, tidak berada di atas arsy, atau mengatakan bahwa dzat-Nya di mana-mana, atau semua tempat baginya sama saja, atau Dia tidak berada di dalam alam atau di luarnya, tidak bersambung (dengan alam) atau berlepas (darinya). Dan bahwa tidak boleh menunjuk dengan jarinya ke langit dan ucapan-ucapan yang semisalnya…dstnya.” (Fatawa Al Hamawiyah Al Kubra 219-221)
Setelah kita mengetahui hal ini, lantas apakah pandangan ini merupakan mazhab Ibnu Taimiyah seorang atau sebenarnya inilah mazhab Salaf dan Ibnu Taimiyah hanya menukilnya saja?
Diantara ulama yang menghimpun ucapan salaf seputar persoalan ini adalah;
1- Adz-Dzahabi dalam Al Uluw lil ‘Aliy Al Ghaffar
2- Al Imam Ahmad menyebutkan dalam kitabnya Ar-Rad ‘Ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyah bab yang menerangkan pengingkaran Jahmiyah bahwa Allah berada di atas arsy-Nya.
3- Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Al Ikhtilaf fil Lafdz wa Ar-Rad ‘Ala Al Musyabbihah wal Jahmiyah membantah penafsiran istawa menjadi istawla
4- Al Imam Abu Sa’id Ad-Darimi dalam kitabnya Ar-Rad ‘Ala Al Jahmiyah juga membuat sebuah bab tentang istiwa
Bahkan Al Imam Abul Hasan Al Asy’ari dalam kitabnya Risalah ‘ila Ahli Ats-Tsagr berkata;
“Dan mereka sepakat (ijma’) bahwa Dia (Allah) di atas langit, di atas arsy bukan di bumi.” Kemudian beliau membawakan ayat-ayat yang menjadi dalil dalam hal ini. Kemudian setelah mengutip firman Allah الرحمن على العرش استوى “Ar-Rahman di atas arsy beristiwa’” ia berkata; “dan bukan maksud dari istiwa’ Allah di atas arsy artinya istila (istawla) seperti yang dikatakan oleh ahli qadr.” (Asy-Syarh wal Ibanah ‘Ala Ushul As-Sunnah wa Ad-Diyanah, Ibnu Baththah, hasyiyah 208-209)
Perkataan-perkataan para imam salaf selaras dan tidak bertentangan dengan taqrir Ibnu Taimiyah tentang sifat istiwa’
1- Al Imam Abu Hanifah
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhi, penulis Al Fiqh Al Akbar, ia berkata; “Aku bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang mengatakan bahwa dia tidak mengetahui Rabnya, apakah di langit atau di bumi. Abu Hanifah berkata; Dia telah kafir. Karena Allah Ta’aala berfirman; الرحمن على العرش استوى “Ar-Rahman beristiwa’ di atas arsy-Nya” sedangkan arsy-Nya di atas langit-langit ciptaan-Nya. Aku katakan; Sesungguhnya orang ini mengatakan; Aku sependapat Dia beristiwa’ di atas arsy-Nya, tapi katanya dia tidak tahu apakah arsy di langit atau di bumi. Abu Hanifah berkata; Apabila dia mengingkari arsy di langit dia telah kafir.
Dalam kesempatan lain ia juga mengatakan; “Barangsiapa mengingkari bahwa Allah Azza wa Jalla di langit dia telah kafir.”
2- Al Imam Al Auza’i
Abu Abdillah Al Hakim meriwayatkan dari Al Auza’i, bahwa ia berkata; “Dahulu kami dan para tabi’in masih banyak mengatakan; Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla di atas arsy-Nya. Dan kami beriman dengan sifat-sifat Allah yang diterangkan oleh As-Sunnah.”
Abu Ishaq Ats-Tsa’labi berkata; Al Auza’i suatu hari ditanya tentang firman Allah Ta’aala الرحمن على العرش استوى “Ar-Rahman beristiwa’ di atas arsy-Nya”, ia berkata; Dia berada di atas arsy-Nya sebagaimana sifat yang Dia terangkan sendiri.”
3- Muqatil bin Hayyan
Muqatil bin Hayyan berkata tentang firman Allah; “Tidak ada bisik-bisik dari tiga orang melainkan Dia yang keempat dari mereka” yakni; Dia (Allah) di atas arsy-Nya sedangkan ilmunya bersama mereka.”
4- Al Imam Malik
Ia berkata; “Allah di langit dan ilmu-Nya disemua tempat. Tidak ada satu tempat pun yang luput dari ilmu-Nya.”
5- Hammad bin Zaid Al Bashri
Sulaiman bin Harb berkata; Aku mendengar Hammad bin Zaid berkata; “Yang mereka inginkan hanya berputar-putar pada perkataan tidak ada di langit satu pun ilah.” Yang dimaksud mereka disini adalah Jahmiyah.
Adz-Dzahabi berkata; Perkataan kaum salaf dan imam-imam As-Sunnah dan bahkan para shahabat, Allah, rasul-Nya dan orang-orang beriman adalah bahwa Allah di lagit dan bahwa Allah di atas arsy dan bahwa Allah di atas langit-langit ciptaan-Nya dan bahwa Dia turun ke langit dunia. Alasan mereka dalam hal ini adalah nas-nas dan atsar-atsar.
Sedangkan perkataan orang-orang Jahmiyah; Bahwa Allah Ta’aala di semua tempat. Maha tinggi Allah dari ucapan mereka, bahkan Dia bersama kita dimana pun kita berada dengan ilmu-Nya.
Sedangkan ahli kalam belakangan mengatakan; Allah tidak di langit, tidak ada di atas arsy, tidak di atas langit-langit, tidak di bumi, tidak di dalam alam, tidak di luarnya, Dia tidak terlepas dari makhluk-Nya dan tidak bersambung dengan mereka!
6- Abdullah bin Al Mubarak
Telah benar riwayatnya dari Ali bin Hasan bin Syaqiq ia berkata; Aku bilang kepada Abdullah bin Al Mubarak; Bagaimana kita mengenal Rab kita Azza wa Jalla? Beliau menjawab; “Di langit ke tujuh di atas arsy-Nya. Dan kami tidak mengatakan seperti yang orang-orang Jahmiyah katakan; bahwa Dia disini, di bumi.
7- Abbad bin Al ‘Awwam
Ia berkata; Aku berbicara dengan Bisyr Al Mirrisiy dan para pengikutnya, dan aku dapati bahwa pendapat mereka bermuara kepada keyakinan bahwa tidak ada di langit suatu apa pun. Aku berpendapat mereka jangan dinikahi dan jangan diwarisi.” Mukhtashar Al ‘Uluw